Ilustrasi: Pilar-pilar keadilan yang menopang sebuah sistem hukum.
Dalam setiap sistem hukum pidana yang beradab, terdapat prinsip-prinsip dasar yang menjadi pondasi dan panduan dalam penegakan keadilan. Prinsip-prinsip ini tidak hanya memastikan bahwa tindakan yang salah dapat dikenali dan dihukum, tetapi juga melindungi hak-hak individu dari kesewenang-wenangan. Di Indonesia, seperti di banyak negara lainnya, 3 asas hukum pidana yang fundamental menjadi tulang punggung sistem ini. Memahami ketiga asas ini sangat krusial bagi siapa pun yang ingin mendalami seluk-beluk hukum pidana, baik sebagai praktisi, akademisi, maupun masyarakat umum.
Asas legalitas adalah prinsip paling mendasar dalam hukum pidana. Frasa Latin "Nullum crimen, nulla poena sine praevia lege poenali" secara harfiah berarti "tidak ada perbuatan yang dapat dihukum kecuali ada aturan pidana tertulis yang mendahuluinya." Ini berarti bahwa suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dan dapat dikenakan sanksi pidana jika ada undang-undang yang secara jelas telah mengatur bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana sebelum perbuatan itu dilakukan. Konsekuensinya, tidak boleh ada hakim atau aparat penegak hukum lain yang menghukum seseorang berdasarkan perbuatan yang belum diatur dalam undang-undang, sekalipun perbuatan tersebut dianggap melanggar moral atau norma sosial.
Asas ini memiliki dua aspek penting. Pertama, legalitas materiil yang menekankan bahwarumusan tindak pidana dan sanksi pidananya harus jelas, terang, dan tegas dalam undang-undang. Kedua, legalitas formil yang berarti bahwa pembentukan undang-undang pidana harus melalui prosedur yang ditentukan oleh hukum, yaitu melalui badan legislatif yang berwenang. Keberadaan asas legalitas menjamin kepastian hukum bagi masyarakat. Individu mengetahui batasan-batasan perilaku yang diperbolehkan dan dilarang, sehingga mereka dapat bertindak sesuai dengan hukum dan menghindari konsekuensi pidana.
Asas tiada pidana tanpa kesalahan, atau dalam bahasa Latin sering disebut "Geen Straf zonder Schuld," menekankan bahwa seseorang hanya dapat dihukum jika perbuatannya dilakukan dengan unsur kesalahan. Kesalahan dalam konteks hukum pidana dapat berupa kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa). Tanpa adanya unsur kesalahan, meskipun perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur formal suatu tindak pidana yang diatur dalam undang-undang, pelaku tidak dapat dijatuhi pidana.
Prinsip ini merupakan perwujudan dari keadilan yang substansial. Tujuannya adalah untuk mencegah penghukuman terhadap individu yang secara objektif telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang, namun secara subjektif tidak memiliki niat jahat atau tidak dapat dipersalahkan atas kelalaiannya. Misalnya, jika seseorang secara tidak sengaja menabrak pejalan kaki karena rem mobilnya blong akibat cacat produksi yang tidak mungkin ia ketahui, maka ia mungkin tidak dapat dianggap bersalah atas kelalaian.
Dalam penerapannya, pembuktian adanya unsur kesalahan menjadi krusial bagi jaksa penuntut umum. Jika jaksa gagal membuktikan adanya kesengajaan atau kelalaian pada diri terdakwa, maka terdakwa harus dibebaskan dari tuntutan pidana, meskipun perbuatan fisik yang dilarang telah terjadi. Asas ini menjaga agar hukum pidana tidak menjadi alat represif yang menghukum orang tanpa dasar moral yang kuat.
Asas teritorial menyatakan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku bagi semua orang dan semua perbuatan yang terjadi di dalam wilayah kekuasaan negara tersebut, tanpa memandang kewarganegaraan pelaku maupun korban. Wilayah kekuasaan ini mencakup daratan, perairan, serta ruang udara di atasnya. Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia merupakan contoh penerapan asas ini, yang menyatakan bahwa undang-undang pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia.
Asas teritorial merupakan wujud dari kedaulatan negara atas wilayahnya. Setiap negara memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga ketertiban dan keamanan di dalam batas-batas negaranya. Oleh karena itu, penegakan hukum pidana di wilayah tersebut menjadi tanggung jawab negara yang bersangkutan. Prinsip ini juga mempermudah proses pembuktian dan penegakan hukum, karena aparat penegak hukum dapat bertindak secara efektif di yurisdiksi mereka sendiri. Dalam praktiknya, asas teritorial juga sering diperluas mencakup kapal berbendera Indonesia yang sedang berlayar di laut bebas atau pesawat udara Indonesia yang sedang terbang di udara internasional.
Meskipun demikian, penerapan asas teritorial terkadang dapat menimbulkan kompleksitas, terutama dalam kasus-kasus lintas negara. Untuk menangani hal tersebut, hukum pidana internasional juga mengenal asas-asas lain seperti asas personalitas (berlaku bagi warga negara di mana pun ia berada), asas pasifitas (berlaku bagi setiap orang terhadap warga negara tertentu), dan asas universalitas (berlaku bagi kejahatan internasional tertentu di mana pun terjadinya). Namun, asas teritorial tetap menjadi asas utama yang menjadi dasar diberlakukannya hukum pidana suatu negara.
Ketiga asas hukum pidana ini—legalitas, tiada pidana tanpa kesalahan, dan teritorial—menjadi pilar fundamental yang memastikan bahwa sistem peradilan pidana berjalan secara adil, proporsional, dan melindungi hak-hak fundamental individu. Memahami makna dan penerapan dari masing-masing asas ini adalah langkah awal yang penting dalam memahami kompleksitas dan esensi dari hukum pidana itu sendiri.