Pahami 7 Asas Perjanjian: Fondasi Kesepakatan yang Kuat

Kesepakatan Bersama

Ilustrasi tiga lingkaran yang saling terhubung, melambangkan kolaborasi dan kesepakatan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap kali terlibat dalam berbagai bentuk kesepakatan, baik secara sadar maupun tidak. Mulai dari membeli barang di toko, menggunakan layanan internet, hingga transaksi bisnis yang kompleks, semuanya berakar pada prinsip-prinsip perjanjian. Perjanjian, dalam konteks hukum, adalah suatu peristiwa di mana satu orang mengikatkan dirinya kepada satu orang lain, atau di mana dua orang saling mengikatkan diri satu sama lain. Namun, agar sebuah perjanjian memiliki kekuatan hukum dan terhindar dari potensi sengketa, terdapat beberapa asas fundamental yang harus dipenuhi. Memahami 7 asas perjanjian ini bukan hanya penting bagi para profesional hukum, tetapi juga bagi setiap individu agar dapat membuat keputusan yang bijak dan terlindungi.

Apa Saja 7 Asas Perjanjian?

Sistem hukum pada umumnya mengakui dan menegakkan beberapa asas pokok yang menjadi landasan sahnya sebuah perjanjian. Meskipun nomenklatur atau urutan penyajiannya dapat sedikit berbeda antar sistem hukum, esensi dari asas-asas ini bersifat universal. Berikut adalah penjabaran dari 7 asas perjanjian yang paling krusial:

  1. Asas Konsensualisme (Kesepakatan Bebas)

    Asas ini menekankan bahwa perjanjian pada dasarnya lahir dari adanya kata sepakat (konsensus) antara para pihak yang membuatnya. Kesepakatan ini harus dicapai secara bebas, tanpa paksaan, kekhilafan (kesalahan yang nyata), atau penipuan. Apabila kesepakatan tersebut tercapai karena adanya unsur paksaan, kekhilafan, atau penipuan, maka perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Fleksibilitas ini memungkinkan para pihak untuk menyesuaikan isi perjanjian sesuai dengan kebutuhan mereka, selama tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

  2. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)

    Merupakan turunan dari asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak memberikan ruang bagi para pihak untuk menentukan sendiri apakah mereka ingin membuat atau tidak membuat perjanjian, siapa yang akan menjadi pihak dalam perjanjian tersebut, serta menentukan isi dan bentuk perjanjian yang mereka kehendaki. Setiap orang bebas untuk memilih dengan siapa ia akan mengadakan perikatan dan bentuk perikatan apa yang ia kehendaki, baik yang diatur dalam undang-undang maupun yang tidak. Namun, kebebasan ini tidak mutlak; ia tetap dibatasi oleh ketentuan hukum yang berlaku.

  3. Asas Pacta Sunt Servanda (Perjanjian Mengikat Para Pihak)

    Asas ini merupakan jantung dari kekuatan mengikat sebuah perjanjian. Pacta sunt servanda berarti bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Dengan kata lain, para pihak wajib memenuhi segala sesuatu yang telah mereka sepakati dalam perjanjian. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali atau diubah secara sepihak oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang atau kesepakatan para pihak itu sendiri. Asas ini menjamin kepastian hukum dan kepercayaan dalam hubungan kontraktual.

  4. Asas Itikad Baik (Good Faith)

    Setiap pelaksanaan perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Asas ini menuntut para pihak untuk bertindak jujur, adil, dan tidak menyembunyikan informasi yang relevan yang dapat merugikan pihak lain. Pelaksanaan perjanjian tidak hanya mencakup apa yang secara eksplisit tertulis, tetapi juga apa yang secara wajar dapat diharapkan berdasarkan kebiasaan dan keadilan. Pelanggaran terhadap asas itikad baik dapat berujung pada tuntutan ganti rugi.

  5. Asas Kepribadian (Personality)

    Perjanjian pada dasarnya hanya mengikat para pihak yang membuatnya. Artinya, perjanjian tidak menciptakan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga yang tidak terlibat langsung dalam pembuatan perjanjian tersebut. Hal ini berbeda dengan undang-undang yang berlaku umum. Namun, terdapat pengecualian, misalnya dalam kasus pewarisan, di mana hak dan kewajiban pewaris dapat beralih kepada ahli warisnya.

  6. Asas Keseimbangan (Balance)

    Meskipun kebebasan berkontrak diakui, asas keseimbangan menekankan pentingnya kesetaraan antara hak dan kewajiban para pihak. Perjanjian yang terlalu timpang atau membebani salah satu pihak secara tidak proporsional dapat menimbulkan masalah. Dalam beberapa kasus, pengadilan dapat melakukan intervensi untuk menyeimbangkan kembali hak dan kewajiban jika ditemukan adanya ketidakseimbangan yang ekstrem atau eksploitatif.

  7. Asas Kepatuhan pada Hukum (Legality)

    Isi dan tujuan dari setiap perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Suatu perjanjian yang dibuat untuk tujuan ilegal, seperti untuk melakukan kejahatan, akan dianggap batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat sama sekali. Asas ini memastikan bahwa aktivitas kontraktual tetap berada dalam koridor hukum yang berlaku dan tidak merusak tatanan sosial.

Memahami ketujuh asas perjanjian ini adalah langkah awal yang krusial bagi siapa saja yang ingin menjalin kesepakatan yang kuat, sah, dan menguntungkan. Dengan berpegang teguh pada asas-asas ini, para pihak dapat membangun hubungan kontraktual yang didasari oleh kejujuran, keadilan, dan kepastian hukum, serta meminimalkan risiko perselisihan di kemudian hari.

🏠 Homepage