Memahami Arah Kabah: Jantung Spiritual Umat Islam
Di jantung kehidupan spiritual setiap Muslim, terdapat sebuah konsep yang fundamental dan menyatukan: arah Kabah. Dikenal juga sebagai kiblat, arah ini bukan sekadar penunjuk geografis. Ia adalah tali spiritual yang menghubungkan lebih dari satu miliar jiwa di seluruh dunia dalam satu orientasi suci saat mereka beribadah. Setiap hari, lima kali sehari, umat Islam dari berbagai benua, budaya, dan bahasa, menghadapkan wajah dan hati mereka ke satu titik pusat di kota Mekkah. Fenomena global yang luar biasa ini melampaui batas-batas fisik, menciptakan sebuah harmoni universal yang tak tertandingi. Memahami arah Kabah berarti menyelami esensi kepatuhan, persatuan, dan sejarah panjang peradaban Islam itu sendiri. Ini adalah perjalanan yang memadukan keimanan yang mendalam dengan presisi ilmu pengetahuan, dari wahyu ilahi hingga perhitungan astronomi yang rumit.
Menentukan arah Kabah adalah salah satu syarat sahnya shalat, ibadah utama dalam Islam. Tanpa menghadap kiblat dengan benar, shalat seseorang bisa dianggap tidak sah, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu yang diberikan kemudahan. Oleh karena itu, pengetahuan tentang cara menentukan arah ini menjadi sebuah kebutuhan praktis yang mendesak bagi setiap Muslim, di mana pun mereka berada. Dari gurun pasir yang luas hingga belantara beton kota-kota metropolitan, dari puncak gunung hingga kedalaman samudra di atas kapal, kewajiban ini tetap melekat. Artikel ini akan mengupas secara mendalam dan komprehensif segala aspek yang berkaitan dengan arah Kabah, mulai dari makna teologisnya yang agung, jejak sejarahnya yang penuh hikmah, hingga metode-metode ilmiah dan praktis untuk menentukannya dengan akurasi tinggi di era modern.
Makna Spiritual dan Teologis Arah Kabah
Jauh melampaui sekadar arah fisik, kiblat memiliki lapisan-lapisan makna spiritual yang sangat dalam. Ia adalah manifestasi dari konsep-konsep inti dalam akidah Islam. Menghadap Kabah bukan berarti menyembah bangunan batu tersebut, sebuah kesalahpahaman yang sering terjadi. Sebaliknya, tindakan ini adalah bentuk ketaatan mutlak kepada perintah Allah SWT.
Simbol Persatuan Umat Islam: Bayangkan jutaan orang di Indonesia, Malaysia, dan Australia menghadap ke arah barat laut. Pada saat yang sama, jutaan lainnya di Eropa dan Afrika menghadap ke tenggara. Sementara itu, mereka yang berada di Amerika menghadap ke timur laut. Semua garis imajiner dari posisi mereka akan bertemu di satu titik: Kabah di Mekkah. Ini adalah visualisasi paling kuat dari persatuan (ummah wahidah). Kiblat menghilangkan ego individu dan kelompok, menyatukan semua orang dalam satu barisan global yang setara di hadapan Sang Pencipta. Tidak ada perbedaan status, ras, atau kekayaan saat semua menghadap arah yang sama. Baik seorang raja di istananya maupun seorang petani di ladangnya, keduanya berbagi orientasi yang identik dalam momen ibadah mereka. Persatuan ini mencapai puncaknya saat ibadah haji, di mana jutaan manusia secara fisik membentuk lingkaran-lingkaran shalat yang mengelilingi Kabah, sebuah pemandangan yang menggambarkan kesatuan kosmik.
Kepatuhan dan Ketundukan kepada Perintah Allah: Sejarah penetapan Kabah sebagai kiblat merupakan ujian keimanan yang besar bagi generasi awal Muslim. Perintah untuk mengubah arah shalat dari Baitul Maqdis (Yerusalem) ke Kabah (Mekkah) adalah perintah langsung dari Allah yang tercantum dalam Al-Quran. Tindakan mematuhi perintah ini, tanpa keraguan, adalah esensi dari kata "Islam" itu sendiri, yang berarti "penyerahan diri". Dengan menghadap Kabah, seorang Muslim secara sadar menyatakan, "Ya Allah, aku mendengar dan aku taat. Aku menghadapkan diriku ke arah yang Engkau perintahkan, bukan karena logika bangunannya, tetapi karena imanku kepada-Mu." Ini adalah latihan harian dalam disiplin spiritual, mengingatkan bahwa ibadah didasarkan pada wahyu, bukan pada preferensi atau kebiasaan pribadi.
"Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya." (Al-Baqarah: 144)
Menghubungkan Diri dengan Sejarah Para Nabi: Kabah bukanlah bangunan baru. Ia adalah Baitullah, Rumah Allah pertama yang dibangun di muka bumi untuk peribadatan, yang fondasinya diletakkan oleh Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS. Dengan menghadap Kabah, umat Islam tidak hanya terhubung dengan Nabi Muhammad SAW, tetapi juga dengan warisan tauhid yang dibawa oleh para nabi sebelumnya. Ini adalah pengingat akan akar monoteisme yang dalam, sebuah kesinambungan risalah ilahi dari zaman ke zaman. Setiap shalat adalah sebuah perjalanan spiritual yang membawa seorang hamba kembali ke pusat sejarah para anbiya, meneguhkan kembali komitmen pada ajaran tauhid murni yang mereka semua sampaikan.
Pusat Spiritual, Bukan Objek Sembahan: Sangat penting untuk menegaskan kembali bahwa umat Islam menyembah Allah, bukan Kabah. Kabah hanyalah sebuah penanda arah, sebuah titik fokus (focal point). Ia adalah bangunan yang diciptakan, sama seperti ciptaan lainnya. Filosofinya dapat diibaratkan seperti seorang komandan yang memerintahkan pasukannya untuk berbaris menghadap tiang bendera. Para prajurit menghormati bendera sebagai simbol, tetapi mereka memberikan hormat dan ketaatan kepada komandan, bukan kepada tiang atau kainnya. Demikian pula, Allah memerintahkan umat-Nya untuk menghadap Kabah sebagai simbol persatuan dan ketaatan. Hati dan niat ibadah sepenuhnya ditujukan hanya kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. Penegasan ini membedakan secara fundamental antara tauhid (monoteisme murni) dan syirik (penyekutuan Tuhan).
Sejarah Penetapan Arah Kabah yang Penuh Hikmah
Perjalanan penetapan arah Kabah sebagai kiblat definitif bagi umat Islam adalah sebuah episode penting dalam sejarah awal Islam. Peristiwa ini bukan sekadar perubahan arah geografis, melainkan sebuah transformasi teologis dan identitas yang mendalam bagi komunitas Muslim yang saat itu masih muda.
Kiblat Pertama: Baitul Maqdis di Yerusalem: Selama periode awal kenabian di Mekkah dan sekitar enam belas hingga tujuh belas bulan pertama setelah hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya melaksanakan shalat dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis (Masjid Al-Aqsa) di Yerusalem. Pilihan ini memiliki makna strategis dan teologis. Yerusalem adalah kota suci bagi umat Yahudi dan Nasrani, dan menghadap ke sana menunjukkan kesinambungan risalah Islam dengan ajaran para nabi sebelumnya, seperti Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS. Hal ini juga menjadi jembatan dakwah kepada Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) di Madinah, menunjukkan bahwa Islam datang untuk menyempurnakan, bukan meniadakan, ajaran tauhid yang telah ada sebelumnya. Namun, di dalam hati Rasulullah, ada kerinduan yang mendalam untuk menghadap ke Kabah, warisan leluhurnya, Nabi Ibrahim AS.
Peristiwa Perubahan Arah Kiblat: Kerinduan Nabi Muhammad SAW ini seringkali diekspresikan dengan menengadahkan wajahnya ke langit, penuh harap menanti wahyu dari Allah. Allah SWT, Yang Maha Mengetahui isi hati hamba-Nya, menjawab doa dan harapan tersebut. Perintah perubahan kiblat turun secara bertahap. Puncaknya terjadi saat Nabi Muhammad SAW sedang melaksanakan shalat Zuhur atau Ashar berjamaah di sebuah masjid di perkampungan Bani Salimah di Madinah. Di tengah-tengah shalat, ketika baru menyelesaikan dua rakaat, turunlah wahyu (Surah Al-Baqarah ayat 144) yang memerintahkan secara tegas untuk memalingkan wajah ke arah Masjidil Haram.
Tanpa ragu sedikit pun, Rasulullah SAW langsung berputar 180 derajat di tengah shalat, diikuti oleh seluruh makmum di belakangnya. Mereka yang tadinya menghadap utara (ke arah Yerusalem) seketika berbalik menghadap selatan (ke arah Mekkah). Peristiwa monumental ini menunjukkan tingkat kepatuhan dan keimanan yang luar biasa dari generasi sahabat. Masjid tempat peristiwa ini terjadi kemudian dikenal dengan nama Masjid Qiblatain, atau Masjid Dua Kiblat, sebagai pengingat abadi akan momen bersejarah tersebut.
Hikmah di Balik Perubahan: Perubahan arah kiblat ini mengandung banyak hikmah dan pelajaran berharga.
- Membangun Identitas Khas Umat Islam: Dengan menjadikan Kabah sebagai kiblat, Islam menegaskan identitasnya yang independen dan berbeda dari tradisi Yahudi dan Nasrani. Ini menandai lahirnya sebuah peradaban baru dengan pusat spiritualnya sendiri, yang berakar pada tradisi murni Nabi Ibrahim AS, bapak para nabi.
- Ujian Keimanan dan Kepatuhan: Peristiwa ini menjadi filter yang memisahkan antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan mereka yang masih ragu atau munafik. Orang-orang munafik dan sebagian Ahli Kitab menggunakan momen ini untuk mengejek dan menyebarkan keraguan, "Agama macam apa ini, yang arah ibadahnya bisa berubah-ubah?" Namun, bagi orang-orang beriman, ini adalah bukti nyata bahwa kebenaran mutlak datang dari Allah, dan kewajiban hamba adalah untuk taat tanpa reserve.
- Pemenuhan Doa dan Penghormatan kepada Nabi: Perubahan ini adalah jawaban langsung atas kerinduan hati Nabi Muhammad SAW. Ini adalah bentuk pemuliaan Allah kepada Nabi-Nya, dengan menetapkan kiblat yang dicintainya, yang terhubung dengan tanah kelahirannya dan warisan leluhurnya.
- Menegaskan Kembali Sentralitas Tauhid: Dengan kembali ke Kabah, rumah ibadah pertama yang didedikasikan untuk menyembah Allah semata, kiblat Islam kembali ke pusat ajaran tauhid yang paling murni, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim AS.
Metode Ilmiah Penentuan Arah Kabah
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, metode untuk menentukan arah Kabah telah berevolusi dari pengamatan alam sederhana menjadi perhitungan matematis yang sangat presisi. Memahami prinsip-prinsip ilmiah di baliknya menunjukkan betapa ajaran Islam dapat berjalan selaras dengan akal dan ilmu pengetahuan.
Prinsip Dasar Geodesi dan Bola Bumi: Kesalahan umum yang sering terjadi adalah menganggap arah Kabah dapat ditentukan dengan sekadar melihat peta datar dan menarik garis lurus. Misalnya, dari Indonesia, orang mungkin berpikir arahnya lurus ke barat. Ini keliru. Karena Bumi berbentuk bulat (lebih tepatnya, sferoid oblat atau pepat di kutub), jarak terpendek antara dua titik di permukaannya bukanlah garis lurus seperti pada peta datar, melainkan sebuah busur yang dikenal sebagai "jarak lingkaran besar" (great-circle distance) atau orthodrome. Arah Kabah yang benar adalah arah awal dari jalur lingkaran besar ini dari lokasi kita menuju ke lokasi Kabah di Mekkah. Inilah prinsip dasar geodesi yang menjadi fondasi semua perhitungan kiblat yang akurat.
Perhitungan Matematis Menggunakan Trigonometri Sferis: Untuk menghitung arah lingkaran besar ini, para ilmuwan dan ahli falak (astronomi Islam) menggunakan rumus-rumus dari cabang matematika yang disebut trigonometri sferis. Formula ini memperhitungkan tiga data utama:
- Lintang (Latitude) lokasi kita.
- Bujur (Longitude) lokasi kita.
- Lintang dan Bujur Kabah di Mekkah (sekitar 21.4225° Lintang Utara, 39.8262° Bujur Timur).
Peran Matahari: Fenomena Istiwa' A'zham (Rashdul Qiblah): Salah satu metode paling akurat dan menakjubkan untuk menentukan arah Kabah tanpa alat yang rumit adalah dengan memanfaatkan fenomena alam yang disebut Istiwa' A'zham atau Rashdul Qiblah. Fenomena ini terjadi ketika Matahari berada tepat di atas (zenit) Kabah. Pada saat itu, semua bayangan dari benda yang tegak lurus di belahan bumi mana pun yang masih bisa melihat matahari akan menunjuk lurus ke arah yang berlawanan dengan Kabah.
Dengan demikian, arah yang menuju Kabah adalah tepat ke arah sebaliknya dari bayangan tersebut. Fenomena ini terjadi dua kali dalam setahun, yaitu sekitar tanggal 28 Mei (pukul 16:18 WIB) dan 16 Juli (pukul 16:27 WIB). Pada tanggal dan jam tersebut (perlu disesuaikan dengan zona waktu lokal), kita cukup menancapkan tongkat yang lurus secara vertikal di tanah yang datar. Bayangan yang dihasilkan oleh tongkat tersebut akan menunjuk menjauhi Kabah, dan garis lurus dari ujung bayangan menuju pangkal tongkat adalah arah kiblat yang sangat akurat. Metode ini sangat praktis, gratis, dan memiliki tingkat presisi yang sangat tinggi karena menjadikan posisi matahari sebagai penunjuk langsung.
Metode Lain Berbasis Astronomi: Selain Istiwa' A'zham, para ahli falak juga mengembangkan metode lain yang memanfaatkan benda-benda langit. Misalnya, dengan mengetahui waktu ketika matahari terbit atau terbenam, dan membandingkannya dengan data astronomi yang sudah dihitung, arah kiblat dapat ditentukan. Di belahan bumi utara, Bintang Utara (Polaris) dapat digunakan sebagai penunjuk arah Utara sejati yang andal. Setelah arah Utara sejati ditemukan, kita tinggal menggunakan busur derajat atau kompas yang sudah dikalibrasi untuk mengukur sudut azimut kiblat yang telah dihitung sebelumnya. Metode-metode ini, meskipun memerlukan pengetahuan astronomi yang lebih mendalam, telah digunakan selama berabad-abad oleh para navigator dan ulama Muslim untuk menentukan arah Kabah dengan akurat sebelum era teknologi digital.
Panduan Praktis Menemukan Arah Kabah di Era Modern
Dengan pemahaman akan prinsip ilmiahnya, kini kita bisa beralih ke metode-metode praktis yang dapat digunakan oleh siapa saja untuk menemukan arah Kabah.
1. Menggunakan Kompas Konvensional: Ini adalah metode klasik yang masih sangat andal jika dilakukan dengan benar. Langkah-langkahnya adalah:
- Dapatkan Data Sudut Kiblat: Langkah pertama adalah mengetahui sudut azimut kiblat untuk lokasi spesifik Anda. Anda bisa mendapatkannya dari situs web lembaga keagamaan resmi, aplikasi, atau sumber tepercaya lainnya. Misalnya, untuk kota Jakarta, sudut kiblatnya adalah sekitar 295 derajat dari Utara sejati.
- Pahami Deklinasi Magnetik: Ini adalah langkah yang paling sering dilupakan dan menjadi sumber ketidakakuratan. Jarum kompas tidak menunjuk ke Utara sejati (kutub geografis), melainkan ke Utara magnetik (kutub magnetik bumi). Perbedaan sudut antara keduanya disebut deklinasi magnetik, dan nilainya berbeda-beda di setiap lokasi serta berubah seiring waktu. Anda harus mencari nilai deklinasi magnetik untuk lokasi Anda (bisa dicari secara online).
- Lakukan Koreksi: Setelah mengetahui sudut kiblat dari Utara sejati dan nilai deklinasi magnetik, Anda perlu melakukan penyesuaian. Jika deklinasi di lokasi Anda adalah positif (misalnya, 1° Timur), maka Anda harus menambahkan nilai tersebut ke sudut kiblat magnetik. Jika negatif (misalnya, 1° Barat), Anda harus menguranginya. Setelah itu, letakkan kompas di permukaan datar, jauhkan dari benda logam atau elektronik yang bisa mengganggu, putar hingga jarum menunjuk ke Utara, lalu cari sudut kiblat yang sudah dikoreksi pada lingkaran kompas. Arah itulah kiblat Anda.
2. Memanfaatkan Teknologi Modern (Aplikasi dan Situs Web): Di era digital, ini adalah cara termudah dan paling populer. Ada banyak sekali aplikasi di ponsel pintar (smartphone) dan situs web yang didedikasikan untuk menentukan arah Kabah.
- Cara Kerja: Aplikasi ini bekerja dengan mengintegrasikan tiga teknologi: GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui koordinat lintang dan bujur Anda secara akurat, data koordinat Kabah yang sudah tersimpan, dan kompas digital (magnetometer) yang ada di dalam ponsel Anda.
- Proses: Aplikasi secara otomatis melakukan perhitungan trigonometri sferis yang rumit di latar belakang. Kemudian, ia akan menampilkan hasilnya dalam bentuk panah atau garis di layar yang menunjuk ke arah Kabah.
- Tips Penggunaan: Untuk hasil terbaik, pastikan layanan lokasi (GPS) di ponsel Anda aktif dan berikan izin akses kepada aplikasi. Sebelum digunakan, lakukan kalibrasi kompas ponsel dengan menggerakkan ponsel membentuk angka 8 di udara beberapa kali. Jauhkan ponsel dari perangkat elektronik lain atau benda logam besar yang dapat mengganggu sensor magnetiknya.
3. Metode Bayangan Matahari (Rashdul Qiblah): Seperti yang telah dijelaskan, ini adalah metode alami yang paling akurat. Tandai kalender Anda untuk tanggal 28 Mei dan 16 Juli setiap tahun. Siapkan tongkat lurus dan jam yang sudah disesuaikan dengan waktu standar. Tepat pada waktu yang ditentukan, amati arah bayangan. Arah sebaliknya adalah arah Kabah yang presisi. Ini adalah cara yang sangat baik untuk memverifikasi atau mengkalibrasi arah kiblat di rumah atau masjid Anda.
4. Ketika Arah Tidak Diketahui (Situasi Darurat): Fikih Islam memberikan kemudahan dalam kondisi di mana penentuan arah kiblat menjadi sangat sulit atau tidak mungkin, seperti saat berada di pesawat, tersesat di alam liar tanpa alat, atau dalam kondisi cuaca buruk. Prinsip yang berlaku adalah ijtihad, yaitu berusaha semaksimal mungkin dengan pengetahuan yang dimiliki. Anda bisa mencoba mengamati posisi matahari terbit (Timur) dan terbenam (Barat) sebagai perkiraan kasar. Setelah melakukan upaya terbaik (ijtihad) dan meyakini sebuah arah, Anda dapat melaksanakan shalat menghadap ke arah tersebut. Menurut pendapat mayoritas ulama, shalat Anda sah meskipun belakangan diketahui arahnya kurang tepat, karena Anda telah memenuhi kewajiban untuk berusaha. Jika Anda shalat bersama dalam jamaah dalam kondisi seperti ini, cukup ikuti arah yang ditentukan oleh imam.
Arah Kabah dalam Konteks Global dan Arsitektur
Kewajiban menghadap arah Kabah memiliki implikasi yang luas, tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi komunitas, terutama dalam hal perencanaan dan arsitektur Islam.
Desain Masjid di Seluruh Dunia: Elemen arsitektur paling fundamental di dalam setiap masjid adalah mihrab. Mihrab adalah sebuah ceruk atau relung di dinding yang menandakan arah Kabah. Seluruh desain masjid, mulai dari peletakan fondasi hingga pengaturan saf (barisan shalat), berorientasi pada mihrab ini. Arsitek yang merancang masjid memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan orientasi bangunan benar-benar akurat. Mereka menggunakan data geospasial dan perhitungan astronomi yang canggih untuk menetapkan arah kiblat sebelum konstruksi dimulai. Di banyak negara Muslim, arah kiblat untuk masjid-masjid baru harus diverifikasi dan disertifikasi oleh otoritas keagamaan dan badan survey nasional.
Tantangan dan Koreksi Arah Kiblat: Sepanjang sejarah, banyak masjid tua yang dibangun menggunakan metode penentuan arah yang lebih sederhana. Akibatnya, tidak jarang ditemukan masjid-masjid bersejarah yang arah kiblatnya sedikit melenceng dari perhitungan modern yang lebih akurat. Menghadapi hal ini, komunitas Muslim biasanya mengambil pendekatan yang bijaksana. Daripada merobohkan atau mengubah struktur bangunan bersejarah, solusinya adalah dengan menyesuaikan arah karpet atau garis saf di dalam masjid. Garis-garis pada karpet shalat dibuat sedikit miring agar jamaah dapat meluruskan barisan mereka sesuai dengan arah Kabah yang sudah dikoreksi, sementara arsitektur masjid tetap terjaga keasliannya.
Arah Kiblat di Tempat-Tempat Ekstrem: Islam adalah agama universal, dan aturannya dirancang untuk dapat diterapkan di seluruh penjuru bumi, termasuk di tempat-tempat dengan kondisi geografis yang ekstrem.
- Di Dekat Kutub Utara dan Selatan: Di wilayah Arktik atau Antartika, konsep arah menjadi rumit. Semua garis bujur bertemu di kutub, sehingga arah "timur" atau "barat" menjadi tidak relevan. Para ulama telah membahas masalah ini dan menawarkan beberapa solusi berdasarkan ijtihad. Pendapat yang paling umum adalah mengikuti arah jalur lingkaran besar (great-circle) yang merupakan jarak terpendek ke Mekkah. Pendapat lain menyarankan untuk menghadap ke arah daratan terdekat yang memiliki arah kiblat yang jelas, atau memilih satu arah yang diyakini dan konsisten dengannya.
- Di Luar Angkasa: Bagaimana dengan astronot Muslim di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) yang mengorbit Bumi dengan kecepatan puluhan ribu kilometer per jam? Arah Kabah berubah setiap detik. Menanggapi tantangan ini, lembaga-lembaga fatwa telah mengeluarkan panduan. Prioritas pertama adalah mencoba menghadap ke arah proyeksi Kabah di Bumi jika memungkinkan. Jika tidak, maka menghadap ke arah Planet Bumi. Jika itu pun sulit, maka astronot dapat menghadap ke arah mana pun yang memungkinkan, karena seluruh alam semesta adalah milik Allah. Fleksibilitas ini menunjukkan kebijaksanaan dan kemudahan dalam syariat Islam.
Sebagai penutup, arah Kabah adalah lebih dari sekadar koordinat di peta. Ia adalah kompas spiritual yang mengarahkan hati, pikiran, dan jiwa seorang Muslim kepada Penciptanya. Ia adalah benang tak kasat mata yang merajut persatuan global, sebuah pengingat harian akan ketaatan, dan jembatan yang menghubungkan masa kini dengan warisan suci para nabi. Dari pengamatan bintang oleh para musafir kuno hingga algoritma kompleks di ponsel pintar kita, perjalanan untuk menemukan arah Kabah mencerminkan harmoni yang indah antara iman dan akal, antara wahyu ilahi dan penemuan ilmiah. Dengan memahami kedalaman makna dan ketepatan metodenya, kita dapat melaksanakan ibadah dengan keyakinan dan kekhusyukan yang lebih besar, merasakan denyut persatuan dengan miliaran saudara seiman di seluruh dunia, yang semuanya tertuju pada satu pusat yang sama: Baitullah, Rumah Suci Allah.