Ilustrasi perputaran dana dengan catatan kehati-hatian.
Arisan, sebuah kegiatan sosial yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, pada dasarnya adalah bentuk patungan dana sukarela yang dilakukan secara berkala. Tujuannya seringkali multifaset: selain untuk menabung secara kolektif, arisan juga berfungsi sebagai ajang silaturahmi dan penguatan jejaring sosial. Namun, seiring berkembangnya praktik dan dimasukkannya unsur keuntungan, muncul perdebatan sengit, terutama dalam perspektif agama. Pertanyaan mendasarnya: Kapan arisan menjadi transaksi yang berpotensi menyeret pelakunya pada status arisan haram?
Secara umum, arisan yang murni bersifat tolong-menolong dan tanpa adanya unsur bunga atau riba tergolongkan sebagai muamalah yang diperbolehkan (mubah). Keindahan arisan terletak pada prinsip kesukarelaan dan janji pengembalian dana yang sama nominalnya. Ia adalah pinjaman tanpa bunga yang bersifat periodik. Namun, garis tipis antara kegiatan sosial dan transaksi keuangan yang mengandung unsur terlarang seringkali kabur dan perlu dikaji lebih mendalam berdasarkan prinsip syariah.
Kontroversi utama yang melingkupi arisan haram berpusat pada dua hal: unsur perjudian (maysir) dan unsur bunga (riba).
Jika dalam sistem arisan digunakan mekanisme undian yang hasilnya menentukan siapa yang berhak menerima uang terlebih dahulu (tanpa adanya sistem penawaran sukarela), sebagian ulama memandangnya mendekati perjudian. Dalam perjudian, ada unsur untung-untungan di mana sebagian orang pasti kalah (kehilangan uang tanpa mendapatkan barang/jasa setara) sementara yang lain untung besar. Dalam arisan murni, semua anggota pada akhirnya pasti mendapatkan dana kembali sesuai jumlah yang disetorkan. Namun, ketika nilai waktu uang (kesempatan mendapatkan uang di awal) dianggap sebagai nilai tukar yang diperjualbelikan melalui undian, inilah yang memicu kekhawatiran.
Isu yang paling sering disinggung adalah ketika ada penambahan dana yang wajib dibayarkan oleh peserta di luar nominal setoran pokok. Misalnya, jika seorang peserta 'menjual' haknya untuk menerima giliran lebih awal kepada peserta lain dengan imbalan uang tambahan. Uang tambahan tersebut sering dianggap sebagai riba jahiliyah karena merupakan keuntungan (tambahan) atas utang yang dibayarkan di muka. Dalam konteks ini, arisan tersebut telah bermetamorfosis menjadi transaksi hutang piutang yang mengandung unsur bunga, yang secara tegas dilarang dalam Islam. Jika hal ini terjadi secara sistematis, maka seluruh kegiatan arisan tersebut bisa dikategorikan sebagai arisan haram.
Untuk menghindari jebakan hukum syariah, para ahli fikih menyarankan beberapa kaidah penting. Pertama, tidak boleh ada unsur paksaan dalam penentuan urutan penerimaan dana. Jika menggunakan undian, undian tersebut harus murni bersifat penentuan urutan tanpa adanya imbalan finansial. Kedua, dan yang paling krusial, tidak boleh ada tambahan biaya atau imbalan finansial apapun yang melekat pada hak menerima dana, baik itu dibayarkan oleh yang menerima maupun oleh yang mengundi.
Jika mekanisme yang digunakan adalah lelang (tawar-menawar secara sukarela bagi yang ingin menerima uang di awal), hukumnya menjadi lebih kompleks. Beberapa ulama membolehkannya karena dianggap sebagai transaksi jual beli hak mendapatkan uang di muka, selama tidak ada unsur paksaan dan tawar-menawar tersebut bersifat terbuka. Namun, untuk menjaga hati dan menghindari potensi konflik fiqih terkait arisan haram, kehati-hatian ekstrem diperlukan. Arisan harus tetap diposisikan sebagai wadah tolong-menolong (ta'awun), bukan sebagai alat investasi berbasis untung-untungan.
Arisan adalah praktik sosial yang baik selama ia tetap berada dalam koridor kesukarelaan dan keadilan. Ketika elemen-elemen yang menyerupai riba atau maysir dimasukkan—seperti pungutan wajib di luar setoran pokok atau sistem yang menguntungkan satu pihak tanpa kontribusi setimpal—maka ia terjerumus dalam area abu-abu, bahkan bisa divonis sebagai arisan haram. Keputusan akhir terletak pada bagaimana para penyelenggara dan peserta mendefinisikan dan menjalankan akad di antara mereka.