Ilustrasi pertukaran nilai dalam transaksi.
Aritmatika sosial adalah cabang matematika terapan yang sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam konteks interaksi ekonomi antarmanusia. Konsep ini tidak sekadar tentang penjumlahan dan pengurangan angka, tetapi bagaimana angka-angka tersebut merefleksikan nilai, biaya, keuntungan, dan kerugian dalam sistem sosial dan pasar. Ketika kita berbicara mengenai jual beli, kita secara langsung memasuki ranah aritmatika sosial.
Setiap transaksi jual beli melibatkan setidaknya dua pihak: penjual dan pembeli. Bagi penjual, tujuannya adalah mendapatkan harga jual yang lebih tinggi daripada biaya modal atau biaya produksi (harga pokok). Bagi pembeli, tujuannya adalah memperoleh barang atau jasa dengan harga serendah mungkin, atau setidaknya sesuai dengan nilai yang mereka perkirakan. Perbedaan antara harga jual dan harga pokok inilah yang melahirkan konsep dasar dalam aritmatika sosial: keuntungan (profit) atau kerugian (loss).
Dalam bisnis kecil, misalnya pedagang sayur di pasar, aritmatika sosial sangat vital. Misalkan seorang petani membeli benih, pupuk, dan membayar tenaga kerja untuk menanam tomat. Semua pengeluaran ini dijumlahkan untuk mendapatkan Harga Pokok Produksi (HPP).
HPP = Biaya Tetap + Biaya Variabel (Termasuk Biaya Modal Awal)
Setelah HPP diketahui, pedagang harus menentukan Harga Jual. Jika pedagang menetapkan harga jual sama dengan HPP, maka ia tidak untung dan tidak rugi (titik impas). Namun, tujuan utama berdagang adalah mendapatkan keuntungan. Keuntungan yang diharapkan ini kemudian ditambahkan ke HPP, sering kali dihitung dalam bentuk persentase.
Aritmatika sosial juga mencakup bagaimana faktor eksternal seperti diskon dan pajak memengaruhi nilai akhir transaksi. Diskon, misalnya, adalah pengurangan harga yang ditawarkan oleh penjual untuk menarik pembeli atau menghabiskan stok lama. Diskon umumnya dinyatakan dalam persentase. Jika sebuah barang berharga Rp100.000 dan diberi diskon 20%, maka perhitungan aritmatika sosialnya adalah mencari 20% dari Rp100.000 (yaitu Rp20.000), lalu menguranginya dari harga awal. Harga yang dibayar pembeli menjadi Rp80.000.
Harga Setelah Diskon = Harga Awal - (Persentase Diskon × Harga Awal)
Sebaliknya, pajak penjualan (PPN) adalah biaya tambahan yang dikenakan oleh pemerintah atas transaksi tersebut. Pajak ini menambah beban finansial pembeli dan sering kali menambah pendapatan penjual (yang kemudian disetorkan ke kas negara). Memahami bagaimana pajak diterapkan—apakah sudah termasuk dalam harga yang tertera (gross) atau harus ditambahkan (netto)—adalah inti dari aritmatika sosial dalam pembelian modern.
Lebih dari sekadar angka, aritmatika sosial menyentuh aspek etika. Penentuan harga harus adil. Penjual yang menetapkan margin keuntungan yang terlalu besar (price gouging), terutama saat terjadi kelangkaan, sering kali dianggap tidak etis karena mengeksploitasi kebutuhan dasar masyarakat. Sebaliknya, praktik menjual di bawah HPP secara terus-menerus (predator pricing) merusak ekosistem pasar dan bisa merugikan pesaing lain.
Oleh karena itu, aritmatika sosial jual beli adalah fondasi literasi finansial. Kemampuan untuk menghitung untung rugi, memahami struktur harga, dan memprediksi dampak diskon atau kenaikan biaya bahan baku, menentukan keberhasilan individu maupun unit ekonomi dalam masyarakat. Ini adalah ilmu menghitung nilai dalam interaksi kemanusiaan yang didorong oleh kebutuhan dan keinginan. Transparansi dalam perhitungan ini membangun kepercayaan antara konsumen dan produsen, yang merupakan kunci stabilitas sosial dalam ekonomi pasar.
Kesimpulannya, setiap kali terjadi proses tawar-menawar di pasar tradisional, pembayaran tagihan di kasir modern, atau bahkan investasi sederhana, kita sedang menerapkan prinsip-prinsip aritmatika sosial. Ini memastikan bahwa setiap pertukaran nilai memiliki dasar perhitungan yang logis dan adil sesuai konteks sosial yang berlaku.