Asa di Imah Mitoha: Sebuah Rumah Bernama Kenangan
Ada sebuah frasa dalam khazanah budaya Sunda yang resonansinya melampaui batas-batas linguistik. Sebuah ungkapan yang tidak sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah portal menuju semesta perasaan yang kompleks, hangat, dan mendalam. Ungkapan itu adalah "asa di imah mitoha", yang secara harfiah berarti "serasa di rumah mertua". Namun, terjemahan literal tersebut terasa begitu dangkal, tak mampu menyelami samudera makna yang terkandung di dalamnya. Ini bukan sekadar tentang berada di sebuah bangunan fisik milik orang tua pasangan kita. Ini adalah tentang sebuah pengalaman total, sebuah simfoni indrawi dan emosional yang terpatri kuat dalam memori.
Bagi siapa pun yang pernah merasakannya, ungkapan ini membangkitkan serangkaian citra, aroma, dan suara yang familiar. Ini adalah perasaan disambut dengan pintu terbuka dan senyum tulus. Ini adalah aroma masakan ibu mertua yang menguar dari dapur, sebuah wangi yang menjanjikan kelezatan sederhana namun tak tertandingi. Ini adalah suara gemericik air di kamar mandi, atau obrolan ringan ayah mertua di teras belakang sambil menyeruput kopi. Asa di imah mitoha adalah sebuah kondisi batin di mana kita merasa diterima, dirawat, dan dimanjakan, meskipun ada selapis tipis rasa segan dan hormat yang selalu terjaga. Ini adalah paradoks yang indah: merasa seperti di rumah sendiri, namun dengan kesadaran bahwa kita adalah tamu yang sangat diistimewakan.
Geografi Rasa: Peta Kenikmatan di Meja Makan
Pusat dari pengalaman asa di imah mitoha seringkali berlokasi di satu tempat: dapur dan meja makan. Di sinilah keajaiban sesungguhnya terjadi. Ibu mertua, dengan keahlian yang terasah oleh waktu dan cinta, menjelma menjadi seorang maestro kuliner. Tangannya seolah memiliki sentuhan magis yang mampu mengubah bahan-bahan paling sederhana menjadi hidangan yang menggugah selera dan menenangkan jiwa. Sambal terasi yang diuleknya memiliki tingkat kepedasan dan aroma yang pas, seolah diracik khusus untuk lidah menantunya. Sayur asemnya memiliki keseimbangan rasa asam, manis, dan gurih yang sempurna, sebuah harmoni yang sulit ditiru.
Setiap kunjungan seolah menjadi sebuah festival kuliner pribadi. Kita akan ditanya, "Mau dimasakin apa?" sebuah pertanyaan retoris karena apa pun yang kita sebutkan, atau bahkan tidak kita sebutkan, akan selalu ada hidangan favorit yang tersaji. Ada nasi liwet yang masih hangat mengepul dari kastrol, ikan asin yang digoreng kering hingga renyah, lalapan segar yang baru dipetik dari kebun belakang, dan tentu saja, tempe dan tahu goreng yang tak pernah absen. Semuanya disajikan bukan di atas piring-piring mewah, melainkan dengan cara yang paling bersahaja, namun sarat akan ketulusan.
Momen makan bersama adalah ritualnya. Ayah mertua mungkin akan memulai dengan cerita-cerita ringan tentang masa mudanya, atau mengomentari berita di televisi. Ibu mertua akan sibuk memastikan piring kita tidak pernah kosong. "Tambah lagi nasinya," atau "Cobain ini, sambalnya sengaja dibuat tidak terlalu pedas," adalah kalimat-kalimat sakti yang menunjukkan puncak dari seni merawat. Kita makan dengan lahap, bukan hanya karena lapar, tetapi karena setiap suapan terasa seperti asupan cinta dan perhatian. Inilah yang membedakannya dari makan di restoran termewah sekalipun. Makanan di rumah mertua memiliki bumbu rahasia yang tidak bisa dibeli: kasih sayang.
Bahkan setelah perut terasa penuh dan kita bersandar kekenyangan, saga kuliner ini belum berakhir. Akan muncul buah-buahan sebagai pencuci mulut, mungkin pisang ambon atau mangga harum manis. Lalu secangkir teh panas atau kopi tubruk akan disajikan untuk menemani obrolan pasca-makan. Semua ini dilakukan dengan aliran yang begitu alami, sebuah koreografi keramahan yang telah dipraktikkan selama bertahun-tahun. Kita, sebagai menantu, hanya perlu duduk, menerima, dan menikmati. Inilah inti dari geografi rasa di rumah mertua, sebuah peta kenikmatan yang setiap sudutnya dipenuhi oleh kehangatan dan kemurahan hati.
Simfoni Suara dan Aroma Keseharian
Jika makanan adalah melodi utama, maka suara dan aroma adalah harmoni yang melengkapi simfoni asa di imah mitoha. Kehidupan di rumah mertua memiliki ritme dan soundtrack-nya sendiri, yang terdiri dari bunyi-bunyian yang mungkin dianggap bising di tempat lain, namun di sini menjadi musik yang menenangkan. Ada suara kokok ayam di pagi hari, yang menandai dimulainya hari dengan cara yang paling organik. Disusul oleh suara ibu mertua yang sudah beraktivitas di dapur, denting spatula bertemu wajan, suara air mengalir, dan desis minyak panas.
Di siang hari, mungkin akan terdengar suara televisi yang menyiarkan berita atau sinetron, menjadi latar dari obrolan santai di ruang tengah. Atau suara ayah mertua yang sedang membersihkan kandang burung, diselingi siulan merdunya. Suara anak-anak tetangga yang bermain di halaman, tawa mereka yang riang, semuanya menjadi bagian dari lanskap audio yang kaya. Bahkan suara azan dari masjid terdekat yang terdengar lima kali sehari terasa lebih syahdu, menjadi pengingat waktu yang damai dan teratur.
"Rumah mertua bukanlah sekadar bangunan. Ia adalah sebuah arsip hidup yang menyimpan aroma masakan, gema tawa, dan jejak langkah kepedulian yang tak lekang oleh waktu."
Lalu ada palet aroma yang tak terlupakan. Saat melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, indra penciuman kita akan disambut oleh wangi yang khas. Campuran antara aroma masakan yang sedang dimasak, wangi kapur barus dari lemari kayu jati yang sudah tua, aroma tanah basah setelah hujan yang masuk melalui jendela terbuka, dan mungkin wangi bunga melati atau sedap malam dari taman kecil di depan rumah. Aroma-aroma ini, ketika terhirup, seolah menekan tombol nostalgia dalam otak kita, membawa kita kembali ke momen-momen indah yang pernah terlewat. Ini adalah wangi yang tidak bisa direplikasi oleh parfum ruangan mana pun, karena ia terbuat dari esensi kehidupan itu sendiri.
Bahkan benda-benda di dalam rumah pun memiliki aromanya sendiri. Bantal dan guling yang dijemur di bawah terik matahari memiliki wangi yang khas, sebuah aroma kesegaran alami yang membuat tidur menjadi lebih nyenyak. Sarung milik ayah mertua yang tergantung di belakang pintu memiliki sedikit aroma minyak angin atau balsem, sebuah wewangian yang identik dengan figur seorang bapak. Semua detail sensorik ini, baik suara maupun aroma, bekerja sama menciptakan sebuah atmosfer yang unik. Sebuah atmosfer yang membuat kita merasa aman, terlindungi, dan terhubung dengan sesuatu yang otentik dan abadi.
Psikologi Ruang: Antara Kenyamanan dan Rasa Segan
Secara psikologis, perasaan asa di imah mitoha adalah sebuah fenomena yang menarik. Ia berada di persimpangan antara kenyamanan absolut dan kesadaran akan peran. Di satu sisi, kita diberikan kebebasan dan kenyamanan yang luar biasa. Kita bisa bangun siang tanpa dihakimi, meminta dibuatkan makanan apa saja, atau sekadar bermalas-malasan di depan televisi. Ini adalah level kenyamanan yang mendekati, atau bahkan terkadang melebihi, kenyamanan di rumah orang tua kandung sendiri.
Namun, di sisi lain, ada sebuah lapisan tipis dari "ewuh pakewuh" atau rasa segan yang selalu hadir. Kita mungkin akan berpikir dua kali sebelum menaruh kaki di atas meja. Kita akan secara otomatis menggunakan bahasa yang lebih sopan. Kita akan berinisiatif untuk membantu mencuci piring setelah makan, meskipun seringkali ditolak dengan halus oleh ibu mertua, "Sudah, biar Ibu saja. Kamu kan tamu." Penolakan ini justru semakin memperkuat posisi kita sebagai tamu istimewa yang harus dilayani.
Dualitas inilah yang membuat pengalaman ini begitu unik. Kita bukan lagi sepenuhnya "orang luar", karena kita adalah bagian dari keluarga melalui pernikahan. Namun, kita juga bukan "orang dalam" dalam artian anak kandung yang bisa bertindak sesuka hati. Posisi kita adalah sebagai menantu yang dicintai, sebuah status yang menuntut perpaduan antara keakraban dan rasa hormat.
Arsitektur dan tata letak rumah mertua juga turut andil dalam membentuk psikologi ruang ini. Biasanya, ada area-area yang terasa lebih publik seperti teras depan atau ruang tamu, tempat kita berinteraksi dengan lebih formal. Lalu ada ruang tengah atau ruang keluarga, tempat di mana batas-batas mulai mencair, di mana kita bisa duduk berselonjor sambil menonton televisi bersama. Dapur adalah wilayah semi-sakral, jantung dari keramahan, di mana kita bisa ikut nimbrung mengobrol, namun seringkali "diusir" dengan lembut saat menawarkan bantuan. Dan terakhir, ada kamar tidur yang disediakan untuk kita, sebuah ruang privat yang disiapkan dengan saksama, dengan sprei bersih dan selimut tebal, sebuah simbol bahwa kehadiran kita telah diantisipasi dan dinantikan.
Setiap sudut rumah seolah memiliki ceritanya sendiri. Foto-foto keluarga yang terpajang di dinding, dari foto pernikahan mertua yang masih hitam putih hingga foto cucu-cucu mereka yang berwarna cerah, adalah sebuah lini masa visual yang menunjukkan perjalanan sebuah keluarga di mana kita kini menjadi bagiannya. Barang-barang pajangan yang mungkin terlihat kuno, seperti radio tabung atau mesin jahit tua, adalah artefak yang menyimpan kenangan. Berada di tengah-tengah semua ini memberikan perasaan terhubung dengan akar dan sejarah, sebuah fondasi yang kokoh di tengah dunia yang terus berubah.
Figur Sentral: Sang Ibu dan Bapak Mertua
Tidak akan ada pengalaman asa di imah mitoha tanpa kehadiran dua figur sentralnya: ibu dan bapak mertua. Merekalah sutradara dan produser di balik panggung kehangatan ini. Masing-masing memiliki peran yang berbeda namun saling melengkapi, menciptakan sebuah ekosistem kasih sayang yang sempurna.
Ibu Mertua: Jantung Rumah yang Tak Pernah Berhenti Berdetak
Ibu mertua adalah personifikasi dari kepedulian. Beliau adalah manajer utama urusan domestik, kepala koki, menteri kesehatan keluarga, dan kepala divisi logistik dalam satu paket lengkap. Energinya seolah tak pernah habis. Sejak fajar menyingsing hingga larut malam, beliau terus bergerak, memastikan semua roda kehidupan di dalam rumah berjalan lancar. Perhatiannya terhadap detail sangat luar biasa. Beliau tahu persis jenis kopi yang disukai menantunya, tingkat kematangan pisang goreng yang pas, hingga merek sabun mandi yang biasa kita pakai.
Komunikasinya seringkali tidak langsung, melainkan melalui tindakan. Rasa sayangnya diekspresikan lewat semangkuk sayur lodeh hangat, selimut tambahan yang diletakkan di kamar saat malam terasa dingin, atau oleh-oleh berupa rengginang dan keripik singkong buatannya sendiri yang sudah dikemas rapi saat kita hendak pamit pulang. Beliau adalah penjaga tradisi, resep-resep yang dihidangkannya adalah warisan dari ibunya, dan kini ia berharap bisa menurunkannya kepada menantunya, menciptakan sebuah jembatan kuliner antar generasi. Meskipun terkadang ada sedikit "intervensi" lembut mengenai cara mengurus anak atau rumah tangga, semuanya dilakukan atas dasar niat baik dan keinginan untuk berbagi pengalaman. Beliau adalah sumber kehangatan yang konstan, matahari di tata surya keluarga.
Bapak Mertua: Pilar Hening yang Meneduhkan
Jika ibu mertua adalah jantung yang berdetak kencang, maka bapak mertua adalah pilar yang hening namun kokoh. Beliau mungkin tidak banyak bicara, ekspresi kasih sayangnya lebih subtil dan seringkali melalui tindakan-tindakan kecil. Beliau adalah orang yang akan memastikan motor kita sudah dicuci bersih saat kita bangun pagi, atau diam-diam membelikan martabak manis kesukaan kita saat pulang dari masjid.
Obrolan dengan bapak mertua seringkali berkisar pada topik-topik yang lebih luas: politik, olahraga, atau sekadar nostalgia masa lalu. Beliau adalah gudang cerita dan kebijaksanaan. Duduk di teras bersamanya di sore hari, ditemani secangkir kopi dan beberapa potong singkong rebus, adalah sebuah sesi terapi yang menenangkan. Beliau tidak banyak menasihati secara langsung, tetapi dari cerita-ceritanya, kita bisa memetik banyak pelajaran hidup. Kehadirannya memberikan rasa aman dan stabilitas. Beliau mungkin tidak seramai ibu mertua dalam menunjukkan perhatian, tetapi tatapan matanya yang teduh dan senyumnya yang tipis sudah cukup untuk memberitahu kita bahwa kita diterima dan dihargai. Kombinasi antara kehangatan ibu yang ekspresif dan ketenangan bapak yang mengayomi inilah yang menciptakan fondasi kokoh dari perasaan asa di imah mitoha.
Warisan Tak Benda: Ketika Rumah Menjadi Kenangan
Waktu terus berjalan, dan tidak ada yang abadi. Akan tiba saatnya di mana rumah yang dulu ramai itu menjadi lebih sepi. Sosok ibu dan bapak mertua yang dulu gagah mungkin kini telah menua, atau bahkan telah tiada. Rumah fisik itu mungkin masih berdiri, atau mungkin sudah beralih kepemilikan. Namun, esensi dari asa di imah mitoha tidak akan pernah benar-benar hilang. Ia bertransformasi dari sebuah pengalaman fisik menjadi sebuah warisan tak benda, sebuah kenangan abadi yang tersimpan rapi di dalam hati.
Frasa itu kini memiliki makna yang lebih dalam dan sedikit melankolis. Ketika kita mencoba memasak resep dari almarhumah ibu mertua dan rasanya tidak pernah bisa sama persis, kita akan bergumam, "Ah, kangen masakan Ibu, benar-benar asa di imah mitoha." Ketika kita melewati sebuah rumah dengan halaman yang rindang, kita mungkin akan teringat saat-saat duduk santai bersama almarhum bapak mertua. Perasaan itu kini menjadi sebuah standar emas, sebuah tolok ukur untuk kehangatan, kenyamanan, dan ketulusan.
Pengalaman itu membentuk kita. Kita belajar tentang bagaimana cara menerima tamu, bagaimana cara mencintai tanpa pamrih, bagaimana cara merawat keluarga dengan kesabaran. Secara tidak sadar, kita mungkin akan mencoba mereplikasi atmosfer tersebut di rumah kita sendiri. Kita ingin anak-anak kita, dan kelak menantu kita, merasakan kehangatan yang sama. Dengan demikian, siklus kebaikan itu terus berlanjut. Asa di imah mitoha bukan lagi hanya tentang menerima, tetapi kini tentang memberi.
Pada akhirnya, asa di imah mitoha adalah sebuah pengingat tentang pentingnya akar, keluarga, dan ketulusan. Di dunia yang serba cepat dan seringkali terasa dingin, pengalaman ini adalah sebuah oase yang menyejukkan. Ia adalah bukti bahwa kebahagiaan sejati seringkali ditemukan dalam hal-hal yang paling sederhana: sepiring makanan hangat yang disajikan dengan cinta, obrolan ringan di sore hari, dan perasaan diterima sepenuhnya sebagai bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Itulah keajaiban abadi dari sebuah tempat yang kita sebut rumah mertua, sebuah istana kenangan yang akan selalu memiliki ruang istimewa dalam perjalanan hidup kita.