Pendahuluan: Jantung Keadilan Prosedural
Sistem peradilan pidana di seluruh dunia berdiri di atas fondasi serangkaian prinsip atau asas yang fundamental. Asas-asas ini bukan sekadar teori hukum yang kaku, melainkan napas yang menghidupkan proses penegakan hukum, memastikan bahwa pencarian kebenaran materiil tidak mengorbankan martabat dan hak asasi manusia. Di antara berbagai asas yang ada, asas akusator (accusatorial principle) memegang peranan sentral sebagai pilar utama dalam sebuah negara hukum yang demokratis. Asas ini mendefinisikan ulang hubungan antara negara dan individu yang berhadapan dengan hukum, mengubah paradigma dari individu sebagai objek pemeriksaan menjadi subjek hukum yang memiliki hak-hak yang diakui dan dilindungi.
Secara sederhana, asas akusator adalah sebuah model pemeriksaan perkara pidana di mana terdapat pemisahan yang tegas antara fungsi penuntutan, fungsi pembelaan, dan fungsi mengadili. Dalam sistem ini, terdakwa ditempatkan dalam posisi yang setara (equality of arms) dengan penuntut umum di hadapan seorang hakim yang bersikap pasif dan imparsial. Penuntut umum, sebagai representasi negara, memiliki beban untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Sementara itu, terdakwa tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Ia memiliki hak untuk diam, hak untuk didampingi penasihat hukum, dan hak untuk menyangkal tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Hakim, dalam perannya sebagai wasit, bertugas menilai bukti dan argumen yang disajikan oleh kedua belah pihak untuk kemudian sampai pada suatu putusan.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam dan komprehensif mengenai asas akusator. Pembahasan akan dimulai dari akar sejarah dan evolusinya, menelusuri karakteristik mendasar yang membedakannya dari sistem lain, membandingkannya dengan model antagonisnya yaitu asas inquisitor, hingga menganalisis implementasinya dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia. Lebih jauh, kita akan menjelajahi korelasi asas ini dengan prinsip-prinsip hukum fundamental lainnya seperti praduga tak bersalah dan due process of law, serta mengkaji tantangan dan kritik yang menyertainya. Pemahaman yang utuh terhadap asas akusator bukan hanya penting bagi para praktisi hukum, tetapi juga bagi setiap warga negara yang ingin memahami bagaimana keadilan ditegakkan dan hak-hak individu dilindungi dalam proses peradilan pidana.
Sejarah dan Evolusi Pemikiran Asas Akusator
Gagasan bahwa seorang tertuduh harus diperlakukan secara adil dan memiliki kesempatan untuk membela diri bukanlah sebuah konsep modern. Akar pemikiran asas akusator dapat ditelusuri kembali ke peradaban kuno. Dalam sistem hukum Romawi Kuno, misalnya, proses peradilan pidana bersifat accusatio, di mana penuntutan dilakukan oleh warga negara (pendakwa privat) di hadapan seorang hakim (praetor). Terdakwa (reus) memiliki hak untuk membela diri, dan beban pembuktian berada di pundak pendakwa. Sistem ini, meskipun sederhana, telah meletakkan dasar bagi konsep perdebatan terbuka antara dua pihak yang berlawanan.
Namun, seiring dengan jatuhnya Kekaisaran Romawi dan berkembangnya Eropa pada Abad Pertengahan, model ini perlahan-lahan tergerus oleh sistem yang berbeda, yaitu asas inquisitor (inquisitorial principle). Dipengaruhi oleh hukum kanonik gereja yang bertujuan untuk memberantas bid'ah, sistem inquisitor menempatkan hakim dalam peran yang sangat aktif. Hakim tidak hanya mengadili, tetapi juga secara aktif mencari bukti, memeriksa saksi, dan menginvestigasi perkara. Terdakwa sering kali dipandang sebagai objek pemeriksaan, dengan hak-hak yang sangat terbatas. Prosesnya pun cenderung tertutup dan rahasia.
Kebangkitan kembali ide-ide yang berpusat pada individu terjadi pada era Pencerahan (Enlightenment). Para filsuf seperti John Locke, Montesquieu, dan Cesare Beccaria mengkritik keras sifat opresif dari sistem inquisitor. Mereka memperjuangkan gagasan tentang hak-hak kodrati, pemisahan kekuasaan, dan perlunya perlindungan individu dari kesewenang-wenangan negara. Beccaria, dalam karyanya yang monumental "On Crimes and Punishments", secara eksplisit menentang penggunaan penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan dan mengadvokasi proses peradilan yang terbuka dan adil, di mana terdakwa memiliki hak untuk membela diri. Pemikiran-pemikiran inilah yang menjadi bahan bakar intelektual bagi reformasi hukum di seluruh Eropa dan Amerika.
Perkembangan paling signifikan dari asas akusator modern terjadi dalam tradisi hukum common law di Inggris. Sistem peradilan Inggris mengembangkan model adversarial yang menjadi cetak biru bagi sistem akusator di berbagai negara. Dalam model ini, persidangan dipandang sebagai sebuah "kontes" atau "pertempuran" antara dua pihak yang berlawanan—jaksa penuntut (the Crown) dan terdakwa—di hadapan juri (sebagai penentu fakta) dan hakim (sebagai penentu hukum). Hakim berperan layaknya seorang wasit yang netral, memastikan aturan main dipatuhi. Sistem inilah yang kemudian diadopsi dan diadaptasi oleh negara-negara jajahan Inggris, termasuk Amerika Serikat, yang kemudian mengabadikan hak-hak terdakwa dalam Konstitusinya.
Karakteristik Mendasar dan Pilar-Pilar Utama Asas Akusator
Untuk memahami esensi asas akusator, kita perlu mengidentifikasi karakteristik fundamental yang membentuk strukturnya. Ciri-ciri ini secara kolektif menciptakan sebuah sistem yang dirancang untuk menyeimbangkan kekuatan antara negara dan individu serta melindungi kebebasan sipil.
1. Kedudukan Para Pihak yang Setara (Equality of Arms)
Ini adalah ciri yang paling mendasar. Asas akusator memandang proses peradilan sebagai arena di mana dua pihak yang berkedudukan setara beradu argumen dan bukti.
- Penuntut Umum: Bertindak sebagai pihak yang mendakwa. Mereka mewakili kepentingan negara atau publik dalam menuntut pelaku kejahatan. Namun, status mereka di ruang sidang adalah sebagai salah satu pihak, bukan sebagai otoritas yang lebih tinggi dari terdakwa.
- Terdakwa: Bukan lagi objek yang diperiksa, melainkan subjek hukum yang aktif. Terdakwa dan penasihat hukumnya merupakan pihak yang memiliki hak penuh untuk menyusun strategi pembelaan, membantah bukti penuntut, dan mengajukan bukti sendiri.
- Hakim: Berperan sebagai pihak ketiga yang netral dan pasif. Hakim tidak terlibat dalam pengumpulan bukti atau investigasi. Tugas utamanya adalah memastikan persidangan berjalan sesuai aturan, mendengarkan kedua belah pihak, dan pada akhirnya memberikan putusan berdasarkan apa yang disajikan di persidangan. Kepasifan hakim ini krusial untuk menjaga imparsialitas.
2. Beban Pembuktian pada Penuntut Umum (Onus Probandi)
Dalam sistem akusator, berlaku adagium Latin yang terkenal: actori incumbit probatio, yang berarti "beban pembuktian ada pada pendakwa." Ini adalah konsekuensi logis dari prinsip praduga tak bersalah. Karena setiap orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya, maka negaralah, melalui penuntut umum, yang harus membuktikan setiap unsur dari tindak pidana yang didakwakan. Terdakwa tidak memiliki kewajiban hukum untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Ia bisa saja hanya diam dan menyangkal, dan jika penuntut umum gagal menyajikan bukti yang cukup meyakinkan (melampaui keraguan yang wajar atau beyond a reasonable doubt), maka terdakwa harus dibebaskan.
3. Pengakuan Penuh terhadap Hak-Hak Terdakwa
Asas akusator tidak dapat dipisahkan dari jaminan perlindungan hak-hak fundamental bagi terdakwa selama proses peradilan. Hak-hak ini berfungsi sebagai perisai untuk melindungi individu dari potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum. Beberapa hak yang paling esensial antara lain:
- Hak untuk Dianggap Tidak Bersalah (Presumption of Innocence): Ini adalah landasan dari semua hak lainnya. Terdakwa harus diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah di setiap tahap proses hukum, mulai dari penyidikan hingga putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
- Hak untuk Diam (Right to Remain Silent): Terdakwa tidak dapat dipaksa untuk memberikan keterangan yang dapat memberatkan dirinya sendiri (nemo tenetur seipsum accusare). Kesunyian terdakwa tidak boleh ditafsirkan sebagai pengakuan bersalah.
- Hak atas Bantuan Hukum (Right to Legal Counsel): Mengingat kompleksitas hukum acara, terdakwa berhak didampingi oleh seorang penasihat hukum pilihannya. Bagi mereka yang tidak mampu, negara wajib menyediakan penasihat hukum. Hak ini memastikan adanya keseimbangan pengetahuan dan keahlian antara pihak penuntut dan pihak pembela.
- Hak untuk Mengetahui Dakwaan: Terdakwa berhak untuk diberitahu secara jelas dan rinci mengenai tuduhan yang dihadapinya, sehingga ia dapat mempersiapkan pembelaan yang memadai.
- Hak untuk Menghadapkan dan Memeriksa Saksi (Right of Confrontation and Cross-Examination): Terdakwa, melalui penasihat hukumnya, memiliki hak untuk menguji kebenaran keterangan saksi yang diajukan oleh penuntut umum melalui proses pemeriksaan silang (cross-examination). Ia juga berhak untuk menghadirkan saksi yang meringankan (a de charge) untuk mendukung pembelaannya.
- Hak atas Persidangan yang Terbuka untuk Umum: Proses peradilan harus transparan dan dapat diawasi oleh publik. Hal ini berfungsi sebagai kontrol sosial untuk mencegah peradilan yang sewenang-wenang dan memastikan akuntabilitas hakim.
Perbandingan Kritis: Asas Akusator vs. Asas Inquisitor
Untuk mengapresiasi keunikan asas akusator, penting untuk membandingkannya secara langsung dengan model lawannya, yaitu asas inquisitor. Meskipun dalam praktik modern banyak negara mengadopsi sistem campuran (hybrid system), perbedaan konseptual antara keduanya tetap fundamental.
Fokus dan Tujuan
- Akusator: Fokus pada keadilan prosedural (procedural justice). Tujuannya adalah memastikan proses yang adil di mana kedua belah pihak memiliki kesempatan yang sama untuk menyajikan kasus mereka. Kebenaran diharapkan muncul dari "benturan" argumen dan bukti yang kontradiktif ini. Hasilnya adalah kebenaran formal, yaitu kebenaran yang terungkap dan terbukti di persidangan.
- Inquisitor: Fokus pada penemuan kebenaran materiil (material truth). Tujuannya adalah untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Hakim investigasi secara aktif mencari fakta, tidak terikat hanya pada apa yang disajikan oleh para pihak. Proses ini lebih mirip sebuah investigasi resmi daripada sebuah kontes.
Peran Aktor Kunci
- Hakim: Dalam sistem akusator, hakim adalah wasit yang pasif dan netral. Dalam sistem inquisitor, hakim (terutama hakim investigasi/examining magistrate) adalah figur sentral yang aktif memimpin penyelidikan.
- Penuntut dan Pembela: Dalam sistem akusator, mereka adalah dua pihak yang berlawanan dalam sebuah kontes adversarial. Dalam sistem inquisitor, peran mereka lebih sebagai pihak yang membantu hakim dalam usahanya menemukan kebenaran.
- Terdakwa: Dalam sistem akusator, terdakwa adalah subjek dengan serangkaian hak untuk membela diri. Dalam sistem inquisitor murni, terdakwa lebih berposisi sebagai sumber informasi utama atau objek pemeriksaan.
Proses Pengumpulan Bukti
- Akusator: Pengumpulan dan penyajian bukti adalah tanggung jawab utama dari pihak penuntut dan pihak pembela. Hakim hanya menilai bukti yang disajikan.
- Inquisitor: Hakim investigasi memiliki kekuasaan dan tanggung jawab utama untuk mengumpulkan semua bukti yang relevan, baik yang memberatkan maupun yang meringankan terdakwa.
Meskipun sering dipertentangkan, tidak ada sistem yang secara inheren lebih superior. Sistem akusator unggul dalam melindungi hak-hak individu, sementara sistem inquisitor sering dianggap lebih efisien dalam menemukan kebenaran faktual. Realitasnya, sistem hukum modern sering kali meminjam elemen terbaik dari kedua tradisi.
Implementasi Asas Akusator dalam Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP)
Sistem hukum acara pidana Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan contoh menarik dari sistem campuran. KUHAP secara fundamental telah menggeser paradigma dari sistem sebelumnya yang diatur dalam Herziene Inlandsch Reglement (HIR), yang sangat kental dengan nuansa inquisitor, menuju sistem yang lebih dominan asas akusator, terutama pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.
Namun, penting untuk dicatat bahwa nuansa inquisitor masih terasa kuat pada tahap pra-ajudikasi (penyidikan dan penuntutan). Pada tahap penyidikan, misalnya, penyidik memiliki kewenangan yang besar untuk mengumpulkan bukti dan memeriksa tersangka, sebuah peran yang sangat aktif. Akan tetapi, begitu perkara memasuki ruang sidang, prinsip-prinsip akusator menjadi sangat menonjol.
Berikut adalah manifestasi konkret asas akusator dalam KUHAP:
- Pemisahan Fungsi yang Jelas: KUHAP secara tegas memisahkan wewenang antara penyidik (Polri), penuntut umum (Kejaksaan), dan hakim (Pengadilan). Ini menciptakan mekanisme saling kontrol (checks and balances) antar lembaga penegak hukum.
- Hak Terdakwa atas Bantuan Hukum: Pasal 54 KUHAP menyatakan bahwa "guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan." Lebih lanjut, Pasal 56 KUHAP mewajibkan negara untuk menunjuk penasihat hukum bagi tersangka/terdakwa yang diancam dengan pidana mati atau lima belas tahun atau lebih, atau bagi mereka yang tidak mampu.
- Beban Pembuktian pada Penuntut Umum: Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit dalam satu pasal tunggal, prinsip ini tersirat kuat dalam keseluruhan sistem pembuktian KUHAP. Penuntut umumlah yang menyusun surat dakwaan dan diwajibkan untuk membuktikan unsur-unsur dalam dakwaan tersebut dengan alat bukti yang sah sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 66 KUHAP yang menyatakan "Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian" secara eksplisit menegaskan hal ini.
- Praduga Tak Bersalah: Asas ini secara tegas diakui dalam Penjelasan Umum KUHAP butir 3.c, yang menyatakan, "Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap."
- Hak Terdakwa untuk Diam: Pasal 175 KUHAP mengatur bahwa "jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan." Frasa "menganjurkan" menunjukkan bahwa tidak ada paksaan, dan penolakan menjawab tidak dapat dijadikan dasar untuk mempersalahkannya.
- Pemeriksaan yang Terbuka untuk Umum: Pasal 153 ayat (3) KUHAP menegaskan bahwa "Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak." Ini adalah implementasi langsung dari prinsip transparansi peradilan.
Meskipun demikian, sistem Indonesia tetaplah hibrida. Hakim dalam KUHAP tidak sepenuhnya pasif. Hakim diberi wewenang untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa untuk mencari kebenaran materiil, sebuah sisa dari tradisi inquisitor. Keseimbangan antara model akusator pada tahap persidangan dan model inquisitor pada tahap penyidikan inilah yang menjadi ciri khas dari sistem peradilan pidana Indonesia.
Korelasi Asas Akusator dengan Prinsip-Prinsip Hukum Universal
Asas akusator tidak berdiri sendiri. Ia terjalin erat dan saling menguatkan dengan prinsip-prinsip hukum fundamental lainnya yang diakui secara universal, terutama dalam kerangka hak asasi manusia dan negara hukum (rule of law).
1. Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)
Ini adalah hubungan yang paling simbiotik. Asas akusator adalah manifestasi prosedural dari praduga tak bersalah. Jika seseorang dianggap tidak bersalah, maka secara logis, beban untuk membuktikan kesalahannya harus berada di pundak pihak yang menuduh. Tanpa praduga tak bersalah, model akusator akan kehilangan landasan filosofisnya. Sebaliknya, tanpa mekanisme akusator, praduga tak bersalah hanya akan menjadi slogan kosong tanpa implementasi yang efektif.
2. Due Process of Law
Due process of law adalah sebuah konsep luas yang menuntut agar negara menghormati semua hak hukum yang dimiliki seseorang. Ini mencakup dua aspek: prosedural dan substantif. Asas akusator secara langsung menjamin procedural due process. Seluruh rangkaian hak terdakwa—hak atas pemberitahuan, hak untuk didengar, hak atas penasihat hukum, hak untuk memeriksa saksi—merupakan komponen inti dari proses hukum yang adil dan layak. Sistem akusator, dengan penekanannya pada aturan main yang jelas dan adil, adalah kendaraan utama untuk mewujudkan due process dalam peradilan pidana.
3. Equality Before the Law
Prinsip kesetaraan di hadapan hukum menuntut agar setiap individu diperlakukan sama di muka pengadilan, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau latar belakang lainnya. Asas akusator mencoba mewujudkan ini dengan menciptakan konsep equality of arms. Ia menempatkan individu, yang seringkali lemah dan rentan, pada posisi yang secara teoretis setara dengan negara, yang memiliki sumber daya dan kekuasaan yang luar biasa. Meskipun dalam praktiknya kesetaraan ini seringkali sulit dicapai secara sempurna, kerangka akusator menyediakan fondasi normatif untuk memperjuangkannya.
4. Hak Asasi Manusia (HAM)
Hampir seluruh karakteristik asas akusator merupakan penjabaran dari instrumen-instrumen HAM internasional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Pasal 14 ICCPR, misalnya, secara rinci menjabarkan jaminan minimum bagi setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana, yang isinya merefleksikan pilar-pilar utama asas akusator. Dengan demikian, penerapan asas akusator bukan hanya soal pilihan model hukum acara, tetapi juga merupakan pemenuhan kewajiban negara dalam menghormati dan melindungi hak asasi manusia.
Tantangan, Kritik, dan Masa Depan Asas Akusator
Meskipun diakui sebagai model yang ideal untuk melindungi hak-hak individu, asas akusator tidak luput dari tantangan dan kritik. Memahami kelemahan-kelemahan ini penting untuk perbaikan sistem peradilan pidana secara berkelanjutan.
1. Kesenjangan Sumber Daya (Resource Imbalance)
Salah satu kritik paling tajam adalah bahwa asumsi equality of arms seringkali hanya ilusi. Negara, melalui kepolisian dan kejaksaan, memiliki aparat, anggaran, teknologi forensik, dan kekuasaan investigatif yang jauh melampaui apa yang dimiliki oleh rata-rata terdakwa. Terdakwa yang miskin, meskipun telah disediakan bantuan hukum oleh negara, seringkali mendapatkan pembelaan yang kualitasnya tidak sebanding dengan kekuatan penuntut umum. Kesenjangan ini dapat mengubah "kontes yang adil" menjadi pertarungan yang berat sebelah.
2. Kebenaran Formal vs. Kebenaran Materiil
Kritikus berpendapat bahwa fokus yang berlebihan pada prosedur dapat mengaburkan tujuan utama peradilan, yaitu menemukan kebenaran materiil. Sistem akusator dapat berubah menjadi "permainan" di mana kemenangan ditentukan oleh kelihaian pengacara dalam memanfaatkan celah hukum atau keterampilan retorika, bukan oleh fakta yang sebenarnya terjadi. Bukti yang krusial bisa saja dikesampingkan karena diperoleh dengan cara yang tidak sesuai prosedur (fruit of the poisonous tree), yang meskipun melindungi hak individu, bisa berakibat pada bebasnya orang yang bersalah.
3. Potensi Menghambat Penegakan Hukum
Hak-hak terdakwa yang kuat, seperti hak untuk diam, terkadang dipandang sebagai penghalang bagi aparat penegak hukum dalam mengungkap kejahatan, terutama dalam kasus-kasus yang kompleks seperti kejahatan terorganisir atau terorisme. Terdapat ketegangan yang konstan antara kebutuhan untuk melindungi hak individu dan kebutuhan untuk menjaga keamanan publik dan menindak kejahatan secara efektif.
4. Durasi dan Biaya
Proses adversarial yang melibatkan pemeriksaan dan pemeriksaan silang yang mendalam, perdebatan mengenai bukti, dan berbagai mosi prosedural dapat membuat persidangan menjadi sangat lama dan mahal. Hal ini tidak hanya membebani sistem peradilan, tetapi juga terdakwa yang mungkin harus menghabiskan sumber daya yang besar untuk pembelaan atau mendekam dalam tahanan pra-sidang yang berkepanjangan.
Menghadapi tantangan ini, masa depan sistem peradilan pidana yang mengadopsi asas akusator terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi. Upaya reformasi hukum terus dilakukan di berbagai negara, misalnya dengan memperkuat mekanisme bantuan hukum pro bono, menyederhanakan beberapa prosedur tanpa mengorbankan keadilan, serta mengintegrasikan elemen-elemen mediasi atau keadilan restoratif (restorative justice) untuk kasus-kasus tertentu. Tujuannya adalah untuk mempertahankan perlindungan hak yang menjadi inti dari asas akusator, sambil memitigasi kelemahan-kelemahannya.
Kesimpulan: Penjaga Keseimbangan Keadilan
Asas akusator lebih dari sekadar seperangkat aturan teknis dalam hukum acara pidana. Ia adalah sebuah filosofi peradilan yang menempatkan martabat dan kebebasan individu di pusat proses penegakan hukum. Dengan mendistribusikan peran secara seimbang antara penuntut, pembela, dan hakim, serta dengan membekali terdakwa dengan serangkaian hak fundamental, asas ini berfungsi sebagai benteng pertahanan terhadap potensi kesewenang-wenangan negara. Ia mengubah proses peradilan dari sebuah investigasi sepihak menjadi sebuah dialog yang transparan dan kontradiktif, di mana kebenaran diuji melalui perdebatan terbuka.
Dalam konteks Indonesia, adopsi prinsip-prinsip akusator dalam KUHAP menandai langkah maju yang signifikan dalam pembangunan negara hukum yang demokratis. Meskipun implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kesenjangan sumber daya hingga budaya penegakan hukum yang belum sepenuhnya selaras dengan semangat perlindungan HAM, kerangka hukumnya telah menyediakan fondasi yang kuat.
Pada akhirnya, nilai sebuah sistem peradilan tidak hanya diukur dari kemampuannya menghukum yang bersalah, tetapi juga dari kemampuannya melindungi yang tidak bersalah. Asas akusator, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tetap menjadi model yang paling menjanjikan dalam mencapai keseimbangan yang rapuh namun esensial tersebut. Ia adalah pengingat konstan bahwa dalam pencarian keadilan, cara (proses) sama pentingnya dengan tujuan (hasil), dan bahwa kekuasaan negara harus selalu dibatasi ketika berhadapan dengan hak dan kebebasan warganya.