Hukum internasional merupakan seperangkat aturan dan prinsip yang mengatur hubungan antarnegara serta entitas internasional lainnya. Pemahaman mendalam mengenai asas-asas fundamentalnya sangat krusial untuk menavigasi kompleksitas interaksi global. Salah satu tokoh terkemuka dalam studi hukum internasional adalah J.G. Starke, yang melalui karyanya memberikan kontribusi signifikan dalam menguraikan prinsip-prinsip dasar yang menopang sistem hukum internasional.
J.G. Starke, dalam bukunya yang berpengaruh, mengidentifikasi dan mengartikulasikan beberapa asas kunci yang menjadi tulang punggung hukum internasional. Asas-asas ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga memiliki implikasi praktis yang luas dalam pembentukan, interpretasi, dan penegakan hukum antarnegara. Memahami asas-asas ini membantu kita melihat bagaimana tatanan internasional dibangun dan bagaimana negara-negara diharapkan berperilaku dalam komunitas global.
Asas kedaulatan negara adalah fondasi paling mendasar dari hukum internasional. Kedaulatan mengacu pada kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara atas wilayahnya, penduduknya, dan urusan internalnya, tanpa campur tangan dari negara lain. Starke menekankan bahwa setiap negara yang berdaulat memiliki hak untuk mengatur dirinya sendiri dan tidak dapat dipaksa oleh pihak luar untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Asas ini terwujud dalam prinsip non-intervensi, di mana negara-negara tidak boleh ikut campur dalam urusan dalam negeri negara lain.
Namun, kedaulatan modern bukanlah kedaulatan absolut. Ia dibatasi oleh kewajiban-kewajiban yang timbul dari hukum internasional itu sendiri. Negara yang berdaulat tetap terikat oleh perjanjian yang telah mereka sepakati dan prinsip-prinsip hukum kebiasaan internasional. Starke menjelaskan bahwa evolusi hukum internasional justru semakin memperjelas bahwa kedaulatan harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab terhadap komunitas internasional.
Asas kesamaan derajat menyatakan bahwa semua negara, terlepas dari ukuran, kekuatan militer, kekayaan ekonomi, atau sistem politiknya, dianggap sama di mata hukum internasional. Ini berarti bahwa setiap negara memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kerangka hukum internasional. Starke menyoroti pentingnya asas ini untuk menjaga keseimbangan dan keadilan dalam hubungan internasional.
Dalam praktiknya, asas ini tercermin dalam prinsip satu negara, satu suara dalam banyak forum internasional, seperti Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Meskipun secara politik mungkin ada perbedaan pengaruh, secara hukum, semua negara diperlakukan setara. Hal ini penting untuk mencegah dominasi negara-negara kuat atas negara-negara yang lebih lemah dan memastikan bahwa semua suara memiliki kesempatan untuk didengar.
Asas itikad baik mewajibkan negara-negara untuk bertindak secara jujur dan tulus dalam menjalankan kewajiban internasional mereka, terutama dalam mematuhi perjanjian. Starke menegaskan bahwa hukum internasional mengasumsikan bahwa negara-negara akan bertindak dengan itikad baik dalam semua hubungan mereka. Perjanjian harus dilaksanakan sebagaimana mestinya, tanpa maksud untuk menipu atau mengelabui pihak lain.
Asas ini sangat penting untuk membangun kepercayaan antarnegara dan memastikan stabilitas dalam sistem internasional. Jika negara-negara tidak bertindak dengan itikad baik, maka perjanjian internasional akan kehilangan maknanya dan hubungan antarnegara akan menjadi rapuh. Itikad baik juga tercermin dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang timbul dari kebiasaan internasional.
Asas ini mengakui pentingnya komunikasi yang bebas dan terjamin antarnegara untuk menjaga hubungan yang harmonis dan damai. Hal ini mencakup pengakuan terhadap imunitas diplomatik dan kekebalan kedutaan besar, yang memungkinkan perwakilan negara untuk menjalankan tugas mereka tanpa rasa takut akan intimidasi atau gangguan dari negara tempat mereka bertugas.
Starke menekankan bahwa kelancaran komunikasi dan keberadaan hubungan diplomatik yang dihormati adalah prasyarat bagi penyelesaian sengketa secara damai dan pengembangan kerja sama internasional. Sistem kekebalan diplomatik, yang diatur dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik, adalah manifestasi konkret dari asas ini, yang dirancang untuk memfasilitasi interaksi antarnegara yang efektif dan aman.
Salah satu pilar utama hukum internasional modern adalah kewajiban untuk menyelesaikan setiap perselisihan internasional yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional dengan cara damai. Starke menyoroti bahwa hukum internasional menyediakan berbagai sarana untuk mencapai tujuan ini, termasuk negosiasi, mediasi, arbitrase, dan ajudikasi melalui pengadilan internasional seperti Mahkamah Internasional (ICJ).
Asas ini merupakan penegasan komitmen masyarakat internasional untuk menghindari penggunaan kekuatan dalam penyelesaian konflik. Meskipun prinsip ini sering kali menjadi tantangan dalam praktiknya, ia tetap menjadi tujuan normatif yang krusial dalam upaya menjaga ketertiban dunia. Negara-negara didorong untuk mengeksplorasi semua opsi damai sebelum mempertimbangkan tindakan lain.
Kesimpulannya, asas-asas hukum internasional yang diuraikan oleh J.G. Starke—kedaulatan, kesamaan derajat, itikad baik, kebebasan berkomunikasi diplomatik, dan penyelesaian sengketa secara damai—membentuk kerangka kerja konseptual yang esensial bagi studi dan praktik hukum internasional. Memahami prinsip-prinsip ini memberikan wawasan yang mendalam mengenai bagaimana negara-negara berinteraksi dalam arena global, serta tantangan dan peluang yang dihadapi dalam menciptakan tatanan dunia yang lebih stabil dan adil.