Hukum Islam, sebagai sistem hukum yang bersumber dari wahyu ilahi dan tradisi kenabian, memiliki fondasi filosofis yang mendalam. Filsafat hukum Islam bukan sekadar kajian teoritis, melainkan upaya untuk memahami rasionalitas, tujuan, dan esensi di balik setiap aturan syariat. Memahami asas-asas hukum Islam dalam kacamata filsafat hukum memberikan perspektif yang lebih luas mengenai bagaimana hukum Islam dirancang untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Artikel ini akan mengupas beberapa asas fundamental yang menjadi pilar utama dalam filsafat hukum Islam.
Inti dari filsafat hukum Islam adalah pemahaman terhadap Maqashid Syariah, yaitu tujuan-tujuan syariat Islam. Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa hukum Islam diturunkan untuk melindungi dan mewujudkan kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Kemanfaatan ini kemudian diklasifikasikan menjadi beberapa tingkatan, yang paling utama adalah perlindungan terhadap lima kebutuhan esensial manusia:
Setiap hukum yang ditetapkan dalam Islam, dari ibadah ritual hingga muamalah sosial dan ekonomi, pada hakikatnya bertujuan untuk menjaga dan mengaktualisasikan kelima aspek fundamental ini. Filsafat hukum Islam menyoroti bahwa penetapan hukum tidak bersifat arbitrer, melainkan memiliki hikmah dan tujuan yang jelas demi kebaikan manusia.
Keadilan adalah asas sentral lain yang mendasari seluruh ajaran Islam, termasuk hukumnya. Dalam filsafat hukum Islam, keadilan dipahami sebagai penegakan hak dan kewajiban secara proporsional, tanpa memandang status sosial, ras, atau gender. Prinsip ini tercermin dalam berbagai ayat Al-Qur'an dan hadis yang menekankan pentingnya berlaku adil dalam setiap aspek kehidupan. Keadilan dalam Islam tidak hanya berarti kesamaan perlakuan, tetapi juga mencakup keadilan substantif, yaitu memberikan hak kepada yang berhak dan mencegah ketidakadilan.
Selain Maqashid Syariah yang bersifat umum, filsafat hukum Islam juga sangat mempertimbangkan Maslahah 'Ammah, atau kemaslahatan umum. Prinsip ini menekankan bahwa setiap kebijakan hukum haruslah membawa manfaat yang lebih besar bagi masyarakat luas, serta mencegah kemudaratan yang lebih besar pula. Konsep ini memungkinkan adanya ijtihad dan penyesuaian hukum terhadap perkembangan zaman, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat.
Salah satu ciri khas hukum Islam adalah semangatnya untuk memberikan kemudahan bagi pemeluknya. Prinsip Al-Yusr (kemudahan) dan Isqath Al-Haraj (penghilangan kesulitan) menunjukkan bahwa syariat tidak membebani individu di luar kemampuannya. Hal ini memfasilitasi penerapan hukum dalam berbagai kondisi, termasuk keadaan darurat atau keterbatasan fisik. Filsafat hukum Islam menggarisbawahi bahwa hukum syariat bersifat rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam), yang diwujudkan melalui pendekatan yang luwes dan tidak memberatkan.
Sebagaimana mengutamakan kemaslahatan, hukum Islam juga secara tegas melarang segala sesuatu yang dapat mendatangkan kemudaratan. Prinsip La Dharara Wa La Dirara (Tidak Boleh Ada Kemudaratan dan Tidak Boleh Membalas Kemudaratan) adalah kaidah fiqh yang sangat fundamental. Ini berarti bahwa hukum Islam tidak hanya mengatur hal-hal yang positif, tetapi juga berfungsi sebagai benteng pertahanan untuk mencegah dan menghilangkan segala bentuk kerugian, baik bagi individu maupun masyarakat.
Memahami asas-asas hukum Islam dalam bingkai filsafat hukum memberikan kita gambaran utuh tentang kedalaman dan keluasan ajaran Islam. Asas-asas seperti Maqashid Syariah, keadilan, kemaslahatan umum, kemudahan, dan larangan kemudaratan menjadi kompas bagi para mujtahid dan penegak hukum dalam merumuskan dan menerapkan hukum Islam agar senantiasa relevan, adaptif, dan mampu menjawab tantangan zaman, demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.