Memahami Asas-Asas Hukum Perdata Internasional dan Contohnya

Jembatan Keadilan

Dalam era globalisasi seperti sekarang, interaksi antar individu dan badan hukum dari berbagai negara semakin marak. Hal ini tentu menimbulkan berbagai persoalan hukum yang melintasi batas-batas yurisdiksi nasional. Ketika sebuah sengketa hukum melibatkan elemen asing, baik dari segi subjek hukum, objek hukum, maupun tempat kejadian, maka hukum perdata internasional (HPI) hadir untuk memberikan solusi. HPI bertujuan untuk menentukan hukum mana yang berlaku (choice of law) dan pengadilan negara mana yang berwenang mengadili (jurisdiction) suatu perkara.

Untuk mencapai tujuannya, HPI berlandaskan pada beberapa asas fundamental yang menjadi pedoman dalam penyelesaian sengketa lintas batas. Memahami asas-asas ini sangat krusial bagi para praktisi hukum, akademisi, maupun masyarakat umum yang mungkin terdampak oleh permasalahan HPI.

Asas-Asas Utama Hukum Perdata Internasional

Terdapat beberapa asas yang umumnya diakui dan menjadi pijakan dalam HPI. Meskipun penamaan dan penekanan pada setiap asas dapat bervariasi di berbagai literatur atau sistem hukum, esensinya tetap sama. Berikut adalah beberapa asas yang paling sering dijumpai:

1. Asas Kepentingan Terbaik Anak (The Best Interest of The Child)

Asas ini menjadi sangat penting, terutama dalam sengketa yang melibatkan anak di bawah umur, seperti hak asuh anak, adopsi, atau waris. Prinsip utamanya adalah bahwa segala keputusan yang diambil terkait anak haruslah senantiasa mengutamakan dan melindungi kepentingan terbaik bagi anak tersebut, tanpa memandang kewarganegaraan atau domisili orang tuanya. Hal ini sejalan dengan konvensi internasional yang relevan mengenai hak-hak anak.

Contoh:

Seorang ibu warga negara Indonesia dan ayah warga negara Amerika Serikat bercerai di Indonesia. Anak mereka masih berusia 7 tahun. Dalam putusan hak asuh anak, pengadilan Indonesia, meskipun secara umum mengikuti hukum Indonesia, akan sangat mempertimbangkan faktor-faktor seperti kelangsungan pendidikan anak, kesehatan mental dan fisik, serta lingkungan yang stabil untuk perkembangan anak, sesuai dengan asas kepentingan terbaik anak. Jika salah satu orang tua mengajukan permohonan hak asuh di negara lain, pengadilan di negara tersebut juga akan menerapkan prinsip serupa.

2. Asas Domisili (Lex Domicilii)

Asas ini menyatakan bahwa hukum pribadi seseorang (seperti status, kecakapan, dan hubungan keluarga) ditentukan oleh hukum negara tempat domisilinya. Domisili merujuk pada tempat tinggal seseorang yang dianggap sebagai pusat kehidupannya.

Contoh:

Seorang warga negara Prancis yang telah menetap dan dianggap berdomisili di Jerman selama bertahun-tahun kemudian meninggal dunia. Harta warisannya ingin dibagikan. Berdasarkan asas domisili, hukum Jerman yang akan digunakan untuk menentukan siapa saja ahli warisnya dan bagaimana pembagian warisannya, meskipun ia secara kewarganegaraan tetap Prancis.

3. Asas Kewarganegaraan (Lex Patriae)

Berbeda dengan asas domisili, asas kewarganegaraan menentukan bahwa hukum pribadi seseorang ditentukan oleh hukum negara yang menjadi kewarganegaraannya.

Contoh:

Seorang warga negara Jepang yang tinggal di Indonesia ingin melakukan pernikahan. Jika negara Indonesia menganut asas kewarganegaraan untuk persoalan perkawinan bagi warga negara asing, maka hukum Jepang lah yang akan diterapkan terkait syarat-syarat sahnya perkawinan, seperti usia minimum, persetujuan orang tua, atau larangan perkawinan tertentu.

4. Asas Tempat Berada (Lex Loci)

Asas ini memberikan penekanan pada tempat di mana suatu perbuatan hukum terjadi atau di mana suatu benda berada. Beberapa aspek hukum, seperti hukum kontrak, hukum perbuatan melawan hukum, atau hukum benda, seringkali ditentukan oleh asas ini.

Contoh:

Sebuah perusahaan di Malaysia memesan barang dari perusahaan di Indonesia, namun barang tersebut dikirimkan dan mengalami kerusakan saat berada di perairan Singapura. Jika terjadi sengketa mengenai tanggung jawab atas kerusakan barang, maka hukum Singapura (sebagai tempat terjadinya peristiwa merugikan atau tempat barang berada saat rusak) bisa jadi yang berlaku untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana kompensasinya.

5. Asas Kebebasan Berkontrak (Lex Contractus / Lex Voluntatis)

Asas ini menekankan bahwa para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak internasional bebas untuk memilih hukum negara mana yang akan mengatur hubungan kontraktual mereka. Namun, kebebasan ini biasanya dibatasi oleh ketentuan hukum publik (public policy) dari negara pengadilan.

Contoh:

Sebuah perusahaan teknologi di Korea Selatan mengadakan perjanjian lisensi perangkat lunak dengan sebuah startup di Indonesia. Dalam kontrak tersebut, kedua belah pihak secara tegas mencantumkan bahwa segala perselisihan yang timbul akan diatur dan diselesaikan berdasarkan hukum negara Singapura. Jika terjadi sengketa, pengadilan yang berwenang akan merujuk pada hukum Singapura sesuai kesepakatan para pihak.

Pentingnya Pemilihan Asas yang Tepat

Dalam praktiknya, penentuan asas mana yang akan digunakan seringkali menjadi titik krusial dalam penyelesaian perkara HPI. Hakim atau arbiter harus mempertimbangkan dengan cermat fakta-fakta yang ada, sifat sengketa, serta norma-norma hukum nasional dan internasional yang berlaku. Seringkali, sebuah sengketa tidak hanya bergantung pada satu asas, melainkan kombinasi dari beberapa asas untuk menentukan hukum yang paling tepat. Kesalahan dalam pemilihan asas dapat berakibat pada hasil penyelesaian sengketa yang tidak adil atau tidak sesuai dengan kehendak para pihak. Oleh karena itu, pemahaman mendalam mengenai asas-asas hukum perdata internasional dan kemampuan menerapkannya dalam kasus konkret adalah sebuah keniscayaan.

🏠 Homepage