Membedah Asas-Asas Hukum Pidana dalam Pemikiran Moeljatno

Ilustrasi Timbangan Keadilan - Simbol Hukum dan Keseimbangan

Hukum pidana merupakan fondasi bagi keteraturan sosial, sebuah instrumen yang digunakan oleh negara untuk menegakkan norma dan melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikan. Namun, kekuasaan negara dalam menghukum warganya tidaklah tanpa batas. Ia harus didasarkan pada prinsip-prinsip atau asas-asas fundamental yang menjamin keadilan, kepastian hukum, dan kemanusiaan. Di Indonesia, salah satu pemikir hukum pidana paling berpengaruh adalah Prof. Dr. Moeljatno, S.H. Pemikirannya tidak hanya membentuk doktrin, tetapi juga memberikan jiwa pada penerapan hukum pidana, menekankan pada fungsi sosial hukum dan pentingnya kesalahan sebagai syarat pemidanaan. Artikel ini akan mengupas secara mendalam asas-asas hukum pidana melalui kacamata pemikiran Moeljatno, yang gagasannya tetap relevan hingga kini.

Moeljatno memandang hukum pidana bukan sekadar kumpulan pasal-pasal yang bersifat represif, melainkan sebagai bagian dari politik kriminal yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Baginya, hukum pidana harus fungsional, artinya ia harus mampu melindungi kepentingan hukum (rechtsbelangen) yang paling esensial. Pemahaman ini membawa konsekuensi bahwa setiap asas hukum pidana harus ditafsirkan tidak secara kaku dan dogmatis, melainkan secara dinamis sesuai dengan tujuannya. Asas-asas ini menjadi pagar pelindung bagi individu dari kesewenang-wenangan penguasa, sekaligus menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.

Asas Legalitas: Tiang Utama Kepastian Hukum

Asas legalitas adalah jantung dari hukum pidana modern. Asas ini diekspresikan dalam adagium Latin yang terkenal: Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, yang berarti "tiada delik (tindak pidana), tiada pidana tanpa peraturan sebelumnya". Asas ini secara tegas tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menegaskan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya. Bagi Moeljatno, asas legalitas bukan sekadar formalitas yuridis, melainkan jaminan fundamental bagi hak asasi manusia.

Moeljatno menguraikan bahwa asas ini mengandung tiga pilar utama yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Pertama, perlindungan terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Dengan adanya aturan yang jelas dan tertulis, penguasa tidak bisa menghukum seseorang berdasarkan kehendak subjektifnya. Kedua, memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Setiap warga negara dapat mengetahui perbuatan mana yang dilarang dan diancam pidana, sehingga mereka dapat mengatur perilakunya. Ketiga, sebagai fungsi edukatif, yakni mendidik masyarakat untuk mematuhi nilai-nilai yang dilindungi oleh hukum pidana. Asas ini mencegah negara bertindak sewenang-wenang dan memastikan bahwa setiap individu diperlakukan secara adil di hadapan hukum.

1. Ketentuan Pidana Harus Tertulis (Lex Scripta)

Konsekuensi pertama dari asas legalitas adalah bahwa hukum pidana harus tertulis dalam sebuah undang-undang (wet). Ini berarti hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis pada prinsipnya tidak dapat menjadi sumber langsung hukum pidana yang dapat menjatuhkan sanksi. Tujuannya adalah untuk menciptakan kepastian hukum yang maksimal. Masyarakat harus dapat membaca dan memahami secara pasti perbuatan apa saja yang dilarang. Moeljatno menekankan bahwa perumusan dalam undang-undang haruslah jelas dan tidak multitafsir, sehingga tidak ada ruang bagi penegak hukum untuk membuat interpretasi yang merugikan terdakwa.

Meskipun demikian, dalam konteks Indonesia, terdapat pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Namun, pengakuan ini harus dilakukan secara hati-hati dan dalam koridor yang ditetapkan oleh undang-undang itu sendiri. Bagi Moeljatno, primasi hukum tertulis tetap menjadi pegangan utama untuk menghindari ketidakpastian dan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Kebutuhan akan hukum tertulis adalah cerminan dari negara hukum modern yang transparan dan akuntabel.

2. Peraturan Tidak Boleh Berlaku Surut (Lex Praevia / Non-Retroaktif)

Prinsip ini melarang penerapan suatu undang-undang pidana terhadap perbuatan yang dilakukan sebelum undang-undang tersebut diundangkan. Seseorang hanya dapat dituntut atas perbuatan yang pada saat dilakukan telah dinyatakan sebagai tindak pidana oleh undang-undang. Ini adalah pilar keadilan yang esensial. Bayangkan betapa tidak adilnya jika seseorang dihukum karena perbuatan yang pada saat dilakukannya dianggap legal. Prinsip non-retroaktif memberikan jaminan keamanan dan prediktabilitas bagi warga negara.

Namun, terdapat pengecualian penting terhadap asas ini, yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP. Jika terjadi perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka diterapkan ketentuan yang paling ringan bagi terdakwa. Pengecualian ini didasarkan pada asas kemanusiaan dan keadilan. Moeljatno melihat pengecualian ini bukan sebagai pelemahan asas legalitas, melainkan sebagai penyempurnaan yang berorientasi pada kepentingan terdakwa. Jika negara mengubah pandangannya terhadap suatu perbuatan dan menganggapnya tidak lagi seberat sebelumnya, maka tidak adil untuk tetap menerapkan sanksi yang lebih berat.

3. Rumusan Delik Harus Jelas (Lex Certa)

Undang-undang pidana harus merumuskan delik secara jelas, cermat, dan tidak ambigu (lex certa). Tujuannya agar setiap orang dapat memahami dengan pasti batas antara perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Rumusan yang kabur (lex vaga) akan membuka pintu bagi interpretasi sewenang-wenang oleh penegak hukum dan hakim, yang pada akhirnya akan mencederai kepastian hukum. Moeljatno sangat menekankan pentingnya teknik perumusan perundang-undangan yang baik. Menurutnya, pembuat undang-undang memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan norma yang presisi dan mudah dipahami.

Sebagai contoh, jika sebuah undang-undang melarang "perbuatan yang meresahkan masyarakat" tanpa mendefinisikan secara spesifik apa yang dimaksud dengan "meresahkan", maka pasal tersebut berpotensi menjadi "pasal karet" yang dapat digunakan untuk menjerat siapa saja yang tidak disukai oleh penguasa. Oleh karena itu, prinsip lex certa menuntut agar setiap unsur delik didefinisikan secara operasional dan terukur.

4. Larangan Penggunaan Analogi (Lex Stricta)

Prinsip ini mengharuskan hakim untuk menafsirkan undang-undang pidana secara ketat (interpretasi restriktif). Hakim dilarang menggunakan analogi, yaitu memperluas berlakunya suatu ketentuan pidana pada suatu peristiwa yang sebenarnya tidak diatur dalam ketentuan tersebut, meskipun peristiwa itu mirip atau sejenis. Analogi menciptakan hukum baru, dan dalam hukum pidana, hanya pembuat undang-undang (legislatif) yang berwenang menciptakan norma pidana. Moeljatno membedakan secara tegas antara analogi dan interpretasi ekstensif (penafsiran yang diperluas).

Interpretasi ekstensif masih bergerak dalam batas-batas makna teks undang-undang, dengan memperluas makna suatu istilah sesuai dengan perkembangan zaman atau konteks sosial. Misalnya, istilah "mengambil barang" dalam delik pencurian dapat ditafsirkan secara luas mencakup pengambilan data elektronik. Ini bukan analogi, karena masih menafsirkan kata "barang". Sebaliknya, analogi akan terjadi jika, misalnya, hakim menghukum seseorang yang melakukan "penyadapan data" menggunakan pasal "pencurian listrik", dengan alasan keduanya sama-sama "mengambil sesuatu yang tidak berwujud". Ini dilarang karena menciptakan delik baru yang tidak diatur oleh undang-undang.

Asas Kesalahan: Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld)

Jika asas legalitas berbicara tentang perbuatan (actus reus), maka asas kesalahan berbicara tentang sikap batin pelaku (mens rea). Bagi Moeljatno, ini adalah asas yang setara pentingnya dengan asas legalitas. Adagiumnya adalah actus non facit reum, nisi mens sit rea (suatu perbuatan tidak membuat seseorang bersalah, kecuali jika batinnya bersalah). Asas ini, meskipun tidak tertulis secara eksplisit dalam KUHP seperti asas legalitas, diakui sebagai prinsip fundamental yang melandasi seluruh sistem pertanggungjawaban pidana.

Moeljatno adalah salah satu tokoh yang paling gigih memperjuangkan pemisahan antara perbuatan pidana (strafbaar feit) dan pertanggungjawaban pidana (strafrechtelijke aansprakelijkheid). Perbuatan pidana adalah terpenuhinya semua unsur dalam rumusan delik (bersifat objektif), sedangkan pertanggungjawaban pidana adalah pertanyaan apakah si pelaku yang telah melakukan perbuatan pidana itu dapat dicela dan dipidana (bersifat subjektif). Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus ada kesalahan pada diri pelaku.

Menurut Moeljatno, seseorang baru dapat dipidana jika ia telah melakukan perbuatan yang melawan hukum (bertentangan dengan hukum objektif dan subjektif), dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab, dan dilakukan dengan kesalahan (kesengajaan atau kealpaan), serta tidak ada alasan pemaaf.

Bentuk-Bentuk Kesalahan

Kesalahan dalam hukum pidana memiliki dua bentuk utama: kesengajaan (dolus/opzet) dan kealpaan (culpa). Moeljatno memberikan penjelasan yang mendalam mengenai kedua bentuk ini.

1. Kesengajaan (Dolus / Opzet)

Kesengajaan diartikan sebagai "menghendaki dan mengetahui" (willens en wetens). Artinya, pelaku menghendaki terjadinya akibat dari perbuatannya dan ia sadar atau mengetahui bahwa akibat tersebut akan timbul. Dalam teori hukum pidana, kesengajaan dibagi menjadi tiga tingkatan:

2. Kealpaan (Culpa)

Kealpaan atau kelalaian adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan. Pelaku tidak menghendaki akibat dari perbuatannya, tetapi perbuatannya menimbulkan akibat terlarang karena kurangnya kehati-hatian, kewaspadaan, atau pendugaan yang semestinya. Culpa terjadi ketika seseorang tidak mematuhi standar kehati-hatian yang wajar diharapkan dari orang dalam posisinya. Moeljatno membedakan dua jenis kealpaan:

Pentingnya asas kesalahan ini adalah untuk memastikan bahwa hukum pidana tidak menghukum "nasib buruk". Seseorang tidak boleh dipidana hanya karena perbuatannya secara kebetulan menimbulkan akibat yang dilarang. Harus ada unsur ketercelaan psikologis pada dirinya, baik berupa kehendak jahat (sengaja) maupun sikap ceroboh yang tidak dapat dibenarkan (lalai).

Asas Teritorialitas: Kedaulatan Negara dalam Hukum Pidana

Asas teritorialitas, yang diatur dalam Pasal 2 KUHP, menyatakan bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Indonesia (locus delicti). Asas ini merupakan perwujudan dari kedaulatan negara. Setiap negara berhak dan berwenang untuk menegakkan hukumnya di dalam batas-batas teritorialnya, tanpa memandang kewarganegaraan pelaku atau korban.

Moeljatno menjelaskan bahwa "wilayah Indonesia" harus ditafsirkan secara luas, tidak hanya mencakup daratan, tetapi juga perairan (laut teritorial) dan ruang udara di atasnya. Selain itu, kapal berbendera Indonesia dan pesawat udara yang terdaftar di Indonesia juga dianggap sebagai bagian dari wilayah Indonesia di manapun mereka berada. Asas ini adalah asas yang paling utama dan paling umum digunakan dalam praktik hukum pidana di seluruh dunia.

Asas ini menjamin bahwa setiap perbuatan pidana yang terjadi di Indonesia dapat diproses menurut hukum Indonesia, sehingga menciptakan ketertiban dan keamanan di dalam negeri. Hal ini juga memberikan perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi siapa pun—baik warga negara maupun orang asing—yang melakukan kejahatan di wilayah yurisdiksi Indonesia.

Asas-Asas Ekstrateritorial: Menjangkau Kejahatan Lintas Batas

Meskipun asas teritorialitas adalah yang utama, hukum pidana tidak dapat berhenti di batas negara. Kejahatan modern seringkali bersifat lintas batas. Oleh karena itu, hukum pidana mengenal beberapa asas ekstrateritorial yang memungkinkan suatu negara untuk memberlakukan hukum pidananya terhadap perbuatan yang terjadi di luar wilayahnya. Moeljatno memandang asas-asas ini sebagai pelengkap yang niscaya untuk melindungi kepentingan nasional dan internasional.

1. Asas Personalitas (Nasionalitas Aktif)

Diatur dalam Pasal 5 KUHP, asas ini menyatakan bahwa hukum pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana tertentu di luar negeri. Prinsipnya, hukum pidana "mengikuti" warga negaranya ke manapun ia pergi. Asas ini tidak berlaku untuk semua jenis kejahatan, melainkan hanya untuk kejahatan-kejahatan tertentu yang dianggap serius dan dapat mencederai citra bangsa. Penerapannya juga seringkali mensyaratkan bahwa perbuatan tersebut juga merupakan tindak pidana di negara tempat kejahatan itu dilakukan (prinsip dual criminality).

Tujuan asas ini adalah untuk mencegah warga negara Indonesia lolos dari jerat hukum hanya karena melakukan kejahatan di negara lain, terutama jika negara tersebut tidak mau atau tidak mampu mengadilinya. Ini adalah bentuk tanggung jawab negara terhadap perilaku warganya di panggung internasional.

2. Asas Perlindungan (Nasionalitas Pasif)

Asas perlindungan atau nasionalitas pasif, yang tercantum dalam Pasal 4 KUHP, didasarkan pada kepentingan nasional yang dilindungi. Asas ini menyatakan bahwa hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja (baik WNI maupun WNA) yang melakukan kejahatan tertentu di luar negeri yang merugikan kepentingan atau keamanan negara Indonesia. Contoh kejahatan yang masuk dalam lingkup asas ini adalah pemalsuan mata uang Indonesia, pemalsuan segel negara, atau kejahatan terhadap martabat Presiden.

Asas ini tidak peduli siapa pelakunya atau di mana kejahatan dilakukan. Fokus utamanya adalah objek yang diserang, yaitu kepentingan vital negara Republik Indonesia. Bagi Moeljatno, asas ini adalah instrumen pertahanan yuridis negara terhadap ancaman-ancaman yang datang dari luar.

3. Asas Universalitas

Asas universalitas adalah asas yang paling luas jangkauannya. Asas ini memberikan kewenangan kepada setiap negara untuk mengadili pelaku kejahatan tertentu, tanpa memandang kewarganegaraan pelaku, kewarganegaraan korban, atau lokasi kejahatan. Asas ini berlaku untuk kejahatan-kejahatan yang dianggap sebagai musuh seluruh umat manusia (hostis humani generis), seperti pembajakan laut, terorisme internasional, kejahatan perang, dan genosida.

Prinsip di baliknya adalah bahwa pelaku kejahatan semacam itu tidak boleh menemukan tempat berlindung (safe haven) di manapun di dunia. Setiap negara yang berhasil menangkap pelaku memiliki yurisdiksi untuk mengadilinya atas nama komunitas internasional. Dalam pemikiran Moeljatno, asas ini mencerminkan kesadaran bahwa hukum pidana juga memiliki dimensi global untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia.

Kesimpulan: Relevansi Pemikiran Moeljatno

Pemikiran Moeljatno mengenai asas-asas hukum pidana memberikan landasan yang kokoh dan humanis bagi sistem peradilan pidana di Indonesia. Ia secara konsisten menekankan bahwa tujuan pemidanaan bukanlah semata-mata untuk memberikan pembalasan, melainkan untuk melindungi masyarakat dan membina pelaku agar kembali menjadi anggota masyarakat yang baik. Pandangannya yang fungsional-sosiologis menempatkan hukum pidana sebagai alat rekayasa sosial yang dinamis.

Asas legalitas, dalam pandangannya, adalah benteng pertahanan individu dari kesewenang-wenangan, sementara asas kesalahan memastikan bahwa hanya mereka yang secara batin dapat dicela yang pantas menerima hukuman. Keseimbangan antara perbuatan (actus reus) dan kesalahan (mens rea) menjadi inti dari ajaran pertanggungjawaban pidana yang ia kembangkan. Ditambah dengan pemahaman yang komprehensif mengenai asas teritorialitas dan jangkauan ekstrateritorialnya, kerangka berpikir Moeljatno menawarkan sebuah sistem hukum pidana yang adil, pasti, dan bermanfaat bagi masyarakat. Memahami asas-asas ini melalui lensanya berarti memahami jiwa dari hukum pidana itu sendiri: sebuah upaya untuk menciptakan ketertiban dengan tetap menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.

🏠 Homepage