Asas-Asas Kewarisan Islam: Keadilan dan Keteraturan dalam Pembagian Harta
Kewarisan dalam Islam bukan sekadar proses pemindahan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Lebih dari itu, ia merupakan sistem yang terstruktur dan berkeadilan, yang dirancang untuk menjaga ketertiban sosial, menghormati hak individu, dan memenuhi nilai-nilai moral serta spiritual. Ajaran Islam mengenai waris, yang dikenal sebagai ilmu faraid, memiliki asas-asas fundamental yang menjadi pedoman dalam setiap pembagian harta pusaka. Memahami asas-asas ini penting bagi setiap Muslim untuk memastikan bahwa hak setiap pihak terpenuhi sesuai syariat.
Tujuan Utama Sistem Kewarisan Islam
Sistem kewarisan Islam memiliki beberapa tujuan utama yang mendasarinya:
Menghilangkan Perselisihan: Dengan adanya aturan yang jelas dan rinci, diharapkan dapat meminimalisir konflik dan perselisihan antar anggota keluarga terkait harta warisan.
Menciptakan Keadilan: Pembagian harta dilakukan berdasarkan hak dan kewajiban yang telah ditentukan syariat, bukan berdasarkan keinginan semata atau diskriminasi.
Menghormati Hak Ahli Waris: Setiap individu yang berhak mendapatkan warisan akan menerimanya sesuai porsi yang telah ditetapkan, sehingga hak mereka terjamin.
Menjaga Ketertiban Sosial: Aliran harta yang teratur membantu menjaga stabilitas ekonomi keluarga dan masyarakat.
Meningkatkan Kepedulian Sosial: Sebagian harta warisan juga dapat dialokasikan untuk kepentingan sosial atau disumbangkan, sesuai dengan tuntunan agama.
Asas-Asas Fundamental Kewarisan Islam
Ilmu faraid dibangun di atas beberapa asas pokok yang harus dipahami. Asas-asas ini mengatur siapa saja yang berhak menerima warisan, bagaimana mereka berhak menerimanya, dan dalam kondisi apa.
1. Adanya Kematian
Asas paling mendasar dari kewarisan adalah terjadinya kematian. Harta warisan baru dapat dibagikan setelah pewaris (orang yang meninggal dunia) benar-benar dinyatakan meninggal. Kematian ini bisa dipastikan secara hukum (misalnya ada akta kematian) atau secara syar'i (misalnya karena dinyatakan hilang dalam waktu yang lama dan kemungkinan hidupnya kecil).
2. Adanya Ahli Waris (Waratsah)
Agar harta dapat diwariskan, harus ada pihak yang berhak menerimanya, yaitu ahli waris. Hubungan antara pewaris dan ahli waris haruslah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Hubungan tersebut biasanya didasarkan pada tiga sebab utama:
Nasab (Kekerabatan Darah): Ini adalah sebab paling umum, seperti anak, orang tua, saudara kandung, kakek-nenek, paman, dan lain-lain.
Perkawinan (Nikah): Suami berhak mewarisi harta istrinya, dan istri berhak mewarisi harta suaminya, selama ikatan pernikahan masih sah.
Pembebasan Budak (Muwallaq 'Anhu): Pada zaman dahulu, ketika perbudakan masih ada, orang yang membebaskan budak berhak mendapatkan warisan dari budak yang dibebaskannya jika budak tersebut tidak memiliki ahli waris lain. Namun, asas ini sudah tidak relevan di masa kini.
3. Adanya Harta yang Ditinggalkan (Tirkah)
Agar kewarisan bisa terjadi, tentu harus ada harta yang ditinggalkan oleh pewaris. Harta ini meliputi segala aset yang dimiliki oleh orang yang meninggal, baik berupa benda bergerak (uang tunai, perhiasan, kendaraan) maupun benda tidak bergerak (tanah, bangunan). Namun, sebelum harta tersebut dibagikan, ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi terlebih dahulu, sesuai urutan prioritas:
Biaya Pengurusan Jenazah: Biaya yang wajar untuk memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkan jenazah.
Pembayaran Utang Pewaris: Segala bentuk hutang yang dimiliki oleh almarhum/almarhumah harus dilunasi terlebih dahulu.
Pelaksanaan Wasiat Pewaris: Jika pewaris meninggalkan wasiat (yang diperbolehkan syariat, yaitu maksimal sepertiga harta), maka wasiat tersebut harus dilaksanakan.
Setelah semua kewajiban tersebut terpenuhi, barulah sisa harta yang disebut tirkah dapat dibagikan kepada ahli waris.
4. Tidak Adanya Penghalang Waris
Tidak semua orang yang memiliki hubungan nasab atau perkawinan dengan pewaris otomatis berhak menerima warisan. Ada beberapa hal yang dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan, yang dikenal sebagai mahjub (terhalang). Penghalang waris yang paling umum adalah:
Perbedaan Agama: Seorang Muslim tidak dapat mewarisi dari orang kafir, begitu pula sebaliknya. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW: "Orang Islam tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang Islam."
Membunuh Pewaris: Seseorang yang membunuh pewarisnya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, secara syariat gugur hak warisnya. Tujuannya adalah untuk mencegah orang melakukan pembunuhan demi mendapatkan harta warisan.
Perbudakan: Budak tidak memiliki hak waris karena ia sendiri belum sepenuhnya memiliki kebebasan kepemilikan. (Sudah tidak relevan).
Memahami asas-asas kewarisan Islam ini adalah langkah awal untuk mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ilmu faraid, pembagian harta pusaka dapat dilakukan dengan adil, tertib, dan sesuai dengan tuntunan agama, sehingga membawa keberkahan bagi keluarga dan masyarakat.