Perjanjian internasional merupakan salah satu instrumen fundamental dalam hukum internasional yang mengatur hubungan antar subjek hukum internasional, terutama negara. Tanpa adanya landasan prinsipil yang kuat, eksekusi dan ketaatan terhadap perjanjian akan sangat rapuh. Oleh karena itu, pemahaman mengenai asas-asas perjanjian internasional menjadi krusial bagi siapa pun yang berinteraksi dengan ranah hubungan internasional dan hukum internasional.
Asas-asas ini bukanlah sekadar norma yang bersifat deskriptif, melainkan prinsip-prinsip yang mengikat, membentuk, dan memberikan legitimasi terhadap segala bentuk kesepakatan antar negara. Keberadaan asas-asas ini memastikan bahwa perjanjian yang dibuat bersifat adil, mengikat, dan dapat diandalkan, sehingga mendorong terciptanya perdamaian, kerjasama, dan stabilitas global.
Asas yang paling fundamental dan sering disebut sebagai tulang punggung perjanjian internasional adalah Pacta Sunt Servanda. Frasa Latin ini berarti "perjanjian harus ditepati". Asas ini menegaskan bahwa setiap perjanjian yang sah dan mengikat harus dilaksanakan dengan itikad baik oleh para pihak yang membuatnya. Ini adalah prinsip yang menjiwai seluruh sistem hukum perjanjian internasional.
Tanpa asas ini, perjanjian internasional hanya akan menjadi dokumen tanpa makna. Negara akan bebas untuk mengabaikan kewajiban mereka sesuka hati, yang pada akhirnya akan melumpuhkan sistem hukum internasional dan merusak kepercayaan antar negara. Oleh karena itu, Pacta Sunt Servanda menjadi dasar kepercayaan dan prediktabilitas dalam interaksi antar negara.
Namun, keharusan untuk memenuhi perjanjian tidak berarti bahwa negara dipaksa untuk masuk ke dalam perjanjian yang tidak diinginkan. Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada negara untuk memutuskan apakah mereka akan menjadi pihak dalam suatu perjanjian atau tidak. Kebebasan ini mencakup negosiasi, perumusan isi perjanjian, dan penandatanganan.
Asas ini sangat penting untuk memastikan bahwa perjanjian yang dibuat benar-benar mencerminkan kehendak bebas para pihak. Tidak ada negara yang boleh dipaksa atau diancam untuk menyetujui suatu perjanjian. Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties - VCLT) 1969 secara eksplisit menegaskan prinsip ini, terutama dalam konteks pembentukan perjanjian.
Asas non-intervensi atau larangan campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain juga memiliki implikasi penting dalam pembentukan dan pelaksanaan perjanjian internasional. Suatu negara tidak boleh menggunakan ancaman atau paksaan untuk memaksa negara lain agar terikat pada suatu perjanjian, karena hal tersebut merupakan bentuk intervensi.
Lebih lanjut, asas ini juga memastikan bahwa ketentuan dalam perjanjian tidak boleh diarahkan untuk mengintervensi kedaulatan internal negara lain tanpa persetujuan mereka. Hubungan antar negara harus didasarkan pada prinsip kesamaan kedaulatan dan saling menghormati integritas teritorial.
Asas kedaulatan negara merupakan landasan fundamental yang tidak dapat ditawar dalam hukum internasional. Kedaulatan berarti negara memiliki kekuasaan tertinggi atas wilayah dan penduduknya, serta kebebasan untuk berhubungan dengan negara lain tanpa campur tangan dari pihak manapun. Dalam konteks perjanjian internasional, asas ini berarti bahwa negara memiliki hak untuk membuat perjanjian, namun juga terikat oleh kewajiban yang mereka sepakati.
Kedaulatan juga berarti bahwa negara tidak dapat diwajibkan oleh perjanjian yang tidak mereka setujui. Konvensi Wina 1969 dengan tegas menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya mengikat pihak yang telah meratifikasinya. Ini adalah manifestasi dari kedaulatan negara yang tidak dapat dipaksakan oleh pihak luar.
Selain Pacta Sunt Servanda, asas itikad baik juga menjadi prinsip yang sangat penting. Asas ini mensyaratkan bahwa para pihak dalam perjanjian harus bertindak jujur, tulus, dan tanpa niat untuk menipu atau merugikan pihak lain dalam setiap aspek perjanjian, mulai dari negosiasi, penafsiran, hingga pelaksanaan.
Itikad baik bukan hanya sekadar kewajiban moral, tetapi juga merupakan kewajiban hukum yang harus dipatuhi. Penafsiran suatu ketentuan perjanjian harus dilakukan dengan cara yang paling sesuai dengan maksud para pihak saat perjanjian tersebut dibuat, dengan mengedepankan itikad baik.
Asas ini merupakan perkembangan penting dalam hukum internasional. Jus cogens merujuk pada norma-norma fundamental dalam hukum internasional yang diterima dan diakui oleh komunitas internasional secara keseluruhan sebagai norma yang tidak dapat dilanggar, dan hanya dapat diubah oleh norma baru yang memiliki karakter sama. Contohnya termasuk larangan genosida, perbudakan, dan agresi.
Sebuah perjanjian yang bertentangan dengan jus cogens dianggap batal demi hukum (void ab initio) sejak awal pembuatannya. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan prinsip pacta sunt servanda pun memiliki batasan ketika berhadapan dengan nilai-nilai fundamental kemanusiaan dan prinsip-prinsip dasar tatanan internasional.
Asas-asas perjanjian internasional, seperti Pacta Sunt Servanda, kebebasan berkontrak, non-intervensi, kedaulatan negara, itikad baik, dan larangan terhadap jus cogens, merupakan pilar yang menopang seluruh sistem hukum perjanjian internasional. Keberadaan dan penghormatan terhadap asas-asas ini tidak hanya menciptakan kepastian hukum, tetapi juga menjadi fondasi penting bagi terciptanya perdamaian, kerjasama, dan stabilitas di kancah global. Memahami asas-asas ini adalah kunci untuk menganalisis dan memahami dinamika hubungan antarnegara di dunia modern.