Membedah Asas Diskresi: Wewenang, Batasan, dan Peranannya dalam Tata Kelola Pemerintahan

Ilustrasi grafis asas diskresi: timbangan keadilan yang menyeimbangkan antara peraturan hukum yang kaku dengan kepentingan publik yang dinamis.

Dalam dinamika penyelenggaraan negara dan pemerintahan, seringkali kita berhadapan dengan situasi di mana peraturan perundang-undangan terasa kaku, tidak lengkap, atau bahkan absen sama sekali dalam merespons permasalahan konkret yang terjadi di masyarakat. Bayangkan seorang kepala dinas kesehatan di suatu daerah yang dihadapkan pada wabah penyakit langka yang belum diatur secara spesifik dalam peraturan menteri kesehatan. Di satu sisi, ia terikat oleh prosedur birokrasi yang ada. Di sisi lain, nyawa warganya terancam dan tindakan cepat diperlukan. Di sinilah sebuah konsep krusial dalam hukum administrasi negara memainkan perannya: asas diskresi.

Asas diskresi adalah sebuah "katup pengaman" dalam sistem hukum yang memberikan ruang bagi pejabat atau badan pemerintahan untuk bertindak dan mengambil keputusan berdasarkan kebijaksanaannya sendiri. Namun, kebebasan ini bukanlah kebebasan tanpa batas. Ia adalah sebuah kewenangan terikat yang bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum, mengatasi ketidakjelasan norma, atau memilih alternatif tindakan terbaik demi tercapainya tujuan yang lebih besar, yaitu kepentingan umum. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk asas diskresi, mulai dari definisi fundamentalnya, landasan hukum yang mengaturnya, syarat-syarat yang harus dipenuhi, hingga batasan dan mekanisme pengujiannya untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.

Pengertian dan Definisi Mendalam Asas Diskresi

Untuk memahami asas diskresi secara komprehensif, kita perlu menelusurinya dari berbagai sudut pandang, baik secara konseptual maupun menurut para ahli hukum administrasi. Secara sederhana, diskresi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk memilih. Namun, dalam konteks hukum administrasi, pilihan tersebut tidak didasarkan pada selera pribadi pejabat, melainkan pada pertimbangan objektif yang dapat dipertanggungjawabkan.

Definisi Menurut Para Ahli

Para pakar hukum telah merumuskan berbagai definisi yang memperkaya pemahaman kita tentang diskresi. Beberapa di antaranya yang paling berpengaruh adalah:

Dari berbagai definisi tersebut, dapat kita tarik benang merah bahwa diskresi mengandung beberapa unsur esensial:

  1. Adanya Kewenangan (Authority): Diskresi melekat pada suatu jabatan atau badan pemerintahan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
  2. Adanya Pilihan (Choice): Pejabat memiliki lebih dari satu alternatif tindakan yang sah secara hukum.
  3. Adanya Pertimbangan Subjektif yang Objektif (Objective Subjectivity): Keputusan diambil berdasarkan penilaian pejabat, namun penilaian tersebut harus didasarkan pada fakta, data, dan tujuan yang objektif.
  4. Tujuan untuk Kepentingan Umum (Public Interest): Muara dari setiap penggunaan diskresi adalah untuk sebesar-besarnya kemanfaatan bagi publik.

Diskresi Bukan Kesewenang-wenangan (Arbitrariness)

Penting untuk menggarisbawahi perbedaan fundamental antara diskresi (discretionary power) dan kesewenang-wenangan (willekeur atau arbitrariness). Keduanya sama-sama melibatkan kebebasan dalam mengambil keputusan, namun landasan dan tujuannya sangat berbeda.

Diskresi adalah kebebasan yang terikat dan dapat dipertanggungjawabkan. Ia digunakan ketika hukum memberikan ruang untuk itu, didasarkan pada pertimbangan yang logis dan relevan, serta ditujukan untuk kepentingan umum. Tindakan diskresi selalu memiliki justifikasi atau alasan yang kuat.
Kesewenang-wenangan adalah kebebasan yang tidak terikat, tidak bertanggung jawab, dan sering kali didasarkan pada kepentingan pribadi, ketidaksukaan, atau pertimbangan yang tidak relevan dengan tujuan kewenangan. Tindakan sewenang-wenang tidak memiliki dasar hukum dan justifikasi yang sah.

Perbedaan inilah yang menjadi inti dari pengawasan dan pengujian terhadap penggunaan diskresi. Ketika seorang pejabat menggunakan diskresi dengan benar, ia sedang menjalankan fungsi pemerintahan. Sebaliknya, ketika ia bertindak sewenang-wenang, ia telah melakukan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir).

Landasan Hukum Diskresi di Indonesia

Di Indonesia, praktik diskresi tidak berjalan di ruang hampa. Kewenangan ini memiliki landasan hukum yang kuat, baik secara filosofis dalam konstitusi maupun secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Pengaturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum sekaligus legitimasi bagi pejabat dalam menggunakan diskresinya.

Landasan Konstitusional

Secara tidak langsung, landasan penggunaan diskresi dapat ditemukan dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Amanat untuk "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia," "memajukan kesejahteraan umum," dan "mencerdaskan kehidupan bangsa" menuntut pemerintah untuk bertindak aktif dan responsif. Seringkali, untuk mencapai tujuan-tujuan mulia tersebut, pemerintah tidak bisa hanya bersikap pasif menunggu adanya peraturan yang rigid. Diperlukan langkah-langkah inovatif dan adaptif, yang seringkali merupakan wujud dari diskresi.

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UU No. 30 Tahun 2014)

Landasan hukum utama dan paling eksplisit mengenai diskresi diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP). Undang-undang ini merupakan sebuah revolusi dalam hukum administrasi Indonesia karena untuk pertama kalinya mengkodifikasi dan memberikan definisi serta batasan yang jelas mengenai diskresi.

Beberapa pasal kunci dalam UU AP yang mengatur diskresi antara lain:

Kehadiran UU AP memberikan kerangka kerja yang jelas bagi pejabat pemerintah. Mereka tidak lagi ragu-ragu dalam menggunakan diskresi selama memenuhi syarat yang ditentukan, dan di sisi lain, masyarakat memiliki dasar hukum yang kuat untuk menguji dan mengawasi penggunaan diskresi tersebut.

Syarat-Syarat Penggunaan Wewenang Diskresi

UU AP tidak memberikan cek kosong kepada pejabat pemerintah. Untuk dapat dianggap sah dan legal, penggunaan diskresi harus memenuhi serangkaian syarat yang ketat, baik syarat materiel (substansial) maupun syarat formil (prosedural). Kegagalan memenuhi salah satu syarat ini dapat menyebabkan keputusan atau tindakan diskresioner tersebut menjadi tidak sah dan dapat dibatalkan.

Lingkup Penggunaan Diskresi

Menurut Pasal 22 UU AP, diskresi hanya dapat digunakan dalam kondisi-kondisi tertentu, yaitu:

  1. Peraturan perundang-undangan memberikan pilihan keputusan atau tindakan. Contoh: Sebuah peraturan menyebutkan bahwa izin dapat diberikan "setelah mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat." Kata "mempertimbangkan" memberikan ruang pilihan bagi pejabat.
  2. Peraturan perundang-undangan tidak mengatur. Ini disebut sebagai kondisi kekosongan hukum (rechtsvacuüm). Misalnya, munculnya teknologi baru seperti drone untuk pengiriman barang yang belum ada aturannya sama sekali.
  3. Peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas. Norma yang ada bersifat ambigu atau multitafsir sehingga memerlukan penafsiran lebih lanjut oleh pejabat dalam konteks kasus yang spesifik.
  4. Adanya stagnasi pemerintahan. Terjadi ketika ada kebuntuan atau kelumpuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan karena suatu sebab (misalnya, ketidaksepakatan antarlembaga atau bencana alam yang masif), sehingga diperlukan tindakan terobosan untuk kepentingan yang lebih luas.

Syarat Materiel (Substansial)

Syarat ini berkaitan dengan isi atau substansi dari keputusan yang diambil. Pasal 24 UU AP menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:

Korelasi dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)

AUPB adalah jantung dari hukum administrasi dan menjadi batu uji utama bagi sahnya sebuah tindakan diskresi. Beberapa AUPB yang sangat relevan dalam konteks diskresi antara lain:

Tujuan dan Fungsi Krusial Diskresi dalam Pemerintahan

Diskresi bukanlah sekadar tambahan, melainkan sebuah instrumen yang niscaya ada dalam sebuah negara hukum modern yang dinamis. Tanpa diskresi, pemerintahan akan menjadi mesin birokrasi yang kaku, lamban, dan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat.

1. Mengatasi Kekosongan Hukum (Rechtsvacuüm)

Fungsi paling klasik dari diskresi adalah sebagai jembatan hukum. Perkembangan masyarakat, teknologi, dan ilmu pengetahuan selalu lebih cepat daripada proses legislasi. Pembuat undang-undang tidak mungkin bisa meramalkan semua potensi masalah yang akan timbul. Ketika muncul persoalan baru yang belum ada aturannya, diskresi memungkinkan pemerintah untuk memberikan respons awal yang diperlukan sebelum peraturan permanen dapat dibentuk.

2. Memberikan Fleksibilitas pada Peraturan yang Kaku

Peraturan perundang-undangan bersifat umum dan abstrak (general and abstract). Ia dibuat untuk berlaku bagi semua orang dalam situasi yang sama. Namun, dalam kenyataannya, setiap kasus memiliki konteks dan keunikan tersendiri. Penerapan peraturan secara kaku (legisme) pada situasi yang unik terkadang justru dapat menimbulkan ketidakadilan. Diskresi memungkinkan pejabat untuk "melunakkan" kekakuan hukum demi mencapai keadilan substantif dalam kasus per kasus.

3. Sarana Mencapai Keadilan Konkret

Tujuan hukum tidak hanya kepastian (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmässigkeit), tetapi juga keadilan (gerechtigkeit). Diskresi adalah alat untuk mewujudkan keadilan konkret di lapangan. Misalnya, sebuah peraturan mensyaratkan 10 dokumen untuk sebuah izin usaha kecil. Seorang pedagang kecil yang terdampak bencana alam mungkin tidak bisa melengkapi semua dokumen tersebut. Pejabat yang menggunakan diskresi bisa saja memberikan izin sementara dengan syarat dokumen dilengkapi kemudian, demi menyelamatkan usaha pedagang tersebut. Ini adalah wujud keadilan yang melampaui teks hukum formal.

4. Mempercepat Pelayanan Publik dan Pembangunan

Birokrasi yang berbelit-belit sering menjadi penghambat pelayanan publik dan pembangunan. Diskresi yang digunakan secara tepat dapat memotong rantai birokrasi yang tidak efisien. Dalam situasi darurat, misalnya penanganan pasca-bencana, tender pengadaan barang yang normalnya memakan waktu berbulan-bulan dapat dipercepat melalui penunjukan langsung. Tindakan diskresioner ini dibenarkan selama tujuannya jelas untuk mempercepat pemulihan dan memenuhi kebutuhan mendesak para korban.

Batasan dan Mekanisme Pengujian Diskresi

Sebagai wewenang yang berpotensi besar untuk disalahgunakan, diskresi harus diimbangi dengan mekanisme pengawasan dan pengujian yang kuat. Batasan ini memastikan bahwa kebebasan yang diberikan kepada pejabat tetap berada dalam koridor hukum dan akuntabilitas. Pengawasan dapat berasal dari internal (dalam struktur pemerintahan) dan eksternal (dari luar pemerintahan).

Pengawasan Internal

Pengawasan internal dilakukan oleh atasan pejabat yang bersangkutan. Setiap keputusan diskresioner yang diambil oleh seorang pejabat pada dasarnya berada di bawah tanggung jawab atasannya secara berjenjang. Atasan memiliki wewenang untuk mengevaluasi, mengoreksi, atau bahkan membatalkan keputusan bawahannya jika dianggap melanggar hukum atau AUPB. Mekanisme ini disebut juga sebagai pengawasan hierarkis.

Pengawasan Eksternal

Pengawasan eksternal datang dari lembaga-lembaga di luar eksekutif, serta dari masyarakat itu sendiri.

Pengujian oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

PTUN memiliki peran sentral dalam mengadili sengketa administrasi. Namun, penting untuk dipahami bahwa hakim PTUN tidak menguji substansi kebijakan (policy) dari sebuah keputusan diskresioner. Hakim tidak akan menilai apakah sebuah kebijakan "baik" atau "buruk", karena itu adalah ranah eksekutif. Yang diuji oleh hakim adalah aspek hukum dari penggunaan wewenang tersebut (rechtmatigheid).

Objek pengujian oleh PTUN meliputi:

  1. Pengujian Wewenang: Apakah pejabat yang mengambil keputusan memang memiliki wewenang untuk itu? Apakah wewenang tersebut melampaui batas (ultra vires)?
  2. Pengujian Prosedur: Apakah semua prosedur formal yang disyaratkan oleh undang-undang telah diikuti sebelum keputusan diambil?
  3. Pengujian Substansi terhadap AUPB: Apakah keputusan tersebut telah melanggar salah satu atau beberapa Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik? Di sinilah hakim akan menguji apakah terjadi penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), tindakan sewenang-wenang (willekeur), atau pelanggaran terhadap asas kecermatan, kepatutan, dan lainnya.

Jika PTUN menemukan bahwa sebuah keputusan diskresioner telah melanggar salah satu dari tiga aspek tersebut, maka pengadilan berwenang untuk menyatakan keputusan itu batal atau tidak sah, dan memerintahkan pejabat yang bersangkutan untuk mencabutnya.

Studi Kasus dan Implementasi di Lapangan

Untuk lebih memahami konsep diskresi, mari kita lihat beberapa contoh hipotetis penerapannya dalam berbagai bidang pemerintahan.

Kasus 1: Diskresi dalam Penanggulangan Bencana

Sebuah kabupaten dilanda banjir bandang yang melumpuhkan akses jalan utama. Peraturan pengadaan barang dan jasa pemerintah mensyaratkan proses lelang terbuka untuk pengadaan logistik di atas nilai tertentu, yang memakan waktu minimal satu bulan. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dihadapkan pada situasi di mana ribuan pengungsi membutuhkan makanan, air bersih, dan tenda darurat secepatnya. Menggunakan wewenang diskresinya berdasarkan UU Penanggulangan Bencana dan UU AP, ia melakukan penunjukan langsung kepada pemasok lokal yang terdekat dan terpercaya untuk segera mengirimkan bantuan.

Analisis: Tindakan ini dapat dibenarkan. Terdapat kondisi stagnasi dan kebutuhan mendesak (syarat terpenuhi). Tujuannya sesuai dengan wewenang, yaitu menyelamatkan nyawa dan meringankan penderitaan korban (sesuai tujuan wewenang). Tindakan ini mendahulukan kemanfaatan dan kepentingan umum (sesuai AUPB). Meskipun melanggar prosedur normal, tindakan ini diambil dengan iktikad baik untuk mengatasi situasi darurat.

Kasus 2: Diskresi dalam Pelayanan Perizinan

Seorang ibu rumah tangga ingin membuka warung kecil di depan rumahnya untuk menambah penghasilan. Menurut peraturan daerah, setiap usaha harus memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk tempat usahanya. Namun, warung yang akan ia bangun hanya berupa tenda bongkar-pasang sederhana. Kepala dinas perizinan, setelah melakukan survei dan mempertimbangkan skala usaha yang sangat kecil dan sifatnya yang tidak permanen, memutuskan untuk menerbitkan surat keterangan usaha tanpa mensyaratkan IMB, dengan catatan tidak mengganggu ketertiban umum.

Analisis: Ini adalah contoh penggunaan diskresi untuk menerapkan hukum secara fleksibel demi keadilan. Pejabat menafsirkan "bangunan" dalam perda tidak mencakup tenda bongkar-pasang (mengatasi norma yang tidak jelas). Keputusan ini didasarkan pada asas kemanfaatan (membantu ekonomi kecil) dan asas proporsionalitas (tidak menerapkan syarat yang memberatkan untuk usaha skala mikro).

Kasus 3: Potensi Penyalahgunaan Diskresi

Seorang walikota mengeluarkan izin pembangunan sebuah pusat perbelanjaan di area yang dalam tata ruang kota ditetapkan sebagai kawasan hijau. Alasannya, pembangunan tersebut akan menyerap banyak tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan asli daerah. Namun, belakangan diketahui bahwa pengembang proyek tersebut adalah kerabat dekat walikota.

Analisis: Tindakan ini berpotensi besar merupakan penyalahgunaan wewenang. Meskipun alasannya tampak logis (penyerapan tenaga kerja), tindakan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Perda Tata Ruang). Selain itu, ada indikasi kuat adanya konflik kepentingan, yang melanggar AUPB. Keputusan ini sangat mungkin dapat dibatalkan oleh PTUN jika ada pihak yang menggugat.

Kesimpulan: Pedang Bermata Dua yang Memerlukan Integritas

Asas diskresi adalah sebuah keniscayaan dalam administrasi pemerintahan modern. Ia adalah instrumen vital yang memberikan napas kehidupan pada birokrasi, memungkinkannya untuk menjadi lebih responsif, adaptif, dan berkeadilan. Tanpa diskresi, pemerintah akan lumpuh oleh kekakuan aturannya sendiri, gagal menjawab tantangan zaman dan kebutuhan nyata masyarakat.

Namun, di balik kekuatannya yang besar, tersimpan pula potensi risiko yang tidak kalah besar. Diskresi adalah pedang bermata dua. Di tangan pejabat yang berintegritas, kompeten, dan berorientasi pada kepentingan publik, ia menjadi alat untuk mewujudkan kesejahteraan. Namun di tangan yang salah, ia dapat berubah menjadi alat korupsi, penindasan, dan kesewenang-wenangan yang merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Oleh karena itu, keberadaan kerangka hukum yang jelas seperti UU Administrasi Pemerintahan, penguatan mekanisme pengawasan internal dan eksternal, serta peran aktif masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan menjadi sangat krusial. Pada akhirnya, efektivitas dan kebaikan dari asas diskresi sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusia di dalam birokrasi—para pejabat yang tidak hanya memahami hukum, tetapi juga memiliki hati nurani dan komitmen yang tak tergoyahkan untuk melayani publik.

🏠 Homepage