Asas Fiksi Hukum: Realitas Semu di Balik Kepastian Hukum

Ilustrasi Asas Fiksi Hukum Sebuah timbangan keadilan yang menyeimbangkan sebuah kotak padat (kenyataan) dengan sebuah kotak bergaris putus-putus (fiksi), menunjukkan bahwa hukum menggunakan fiksi untuk mencapai keseimbangan dan keadilan. Realita Fiksi Keseimbangan Melalui Fictio Juris Timbangan keadilan menyeimbangkan kotak realita dan kotak fiksi.

Pendahuluan: Paradoks dalam Penegakan Keadilan

Hukum, dalam esensinya, adalah sebuah instrumen yang dirancang untuk merefleksikan dan mengatur realitas sosial. Ia berusaha menciptakan ketertiban, keadilan, dan kepastian di tengah kompleksitas interaksi manusia. Namun, terkadang, untuk mencapai tujuan mulianya, hukum harus menempuh jalan yang paradoksal: ia harus mengasumsikan sesuatu yang secara faktual tidak benar sebagai sebuah kebenaran. Inilah jantung dari salah satu konsep paling menarik dan fundamental dalam ilmu hukum, yaitu Asas Fiksi Hukum atau fictio juris.

Bayangkan sebuah dunia di mana setiap orang dianggap telah membaca dan memahami setiap pasal dalam ribuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara nalar, ini adalah sebuah kemustahilan. Namun, hukum beroperasi di atas asumsi ini. Ketika seseorang melanggar lalu lintas, ia tidak bisa membela diri dengan alasan "saya tidak tahu ada aturan itu." Hukum secara tegas menyatakan, "setiap orang dianggap tahu hukum." Anggapan ini, yang jelas-jelas bertentangan dengan kenyataan, adalah sebuah fiksi. Sebuah "kebohongan yang disepakati" demi tegaknya sistem hukum itu sendiri. Tanpanya, penegakan hukum akan lumpuh oleh dalih ketidaktahuan yang tak berkesudahan.

Asas fiksi hukum bukanlah sebuah cacat dalam sistem, melainkan sebuah perangkat cerdas yang telah digunakan selama berabad-abad untuk menjembatani kesenjangan antara rigiditas norma hukum dan dinamika kehidupan nyata. Ia adalah alat bagi para legislator dan hakim untuk mengatasi kekosongan hukum, memperluas cakupan perlindungan, dan mencapai solusi yang adil ketika teks undang-undang yang kaku tidak mampu melakukannya. Artikel ini akan mengupas secara mendalam konsep asas fiksi hukum, mulai dari definisi dan sejarahnya, ragam jenis dan penerapannya dalam berbagai cabang hukum, hingga perdebatan filosofis yang melingkupinya.

Definisi dan Konsep Dasar Fiksi Hukum

Secara sederhana, fiksi hukum adalah suatu anggapan atau pengandaian oleh hukum terhadap suatu fakta atau keadaan yang bertentangan dengan keadaan sebenarnya. Hans Kelsen, seorang filsuf hukum terkemuka, menggambarkannya sebagai sebuah teknik legislatif di mana hukum memperlakukan suatu kondisi seolah-olah identik dengan kondisi lain, meskipun keduanya berbeda, untuk menerapkan konsekuensi hukum yang sama.

Tujuan utama dari fiksi ini bukanlah untuk menipu atau memutarbalikkan fakta, melainkan untuk mencapai tujuan hukum yang lebih tinggi, seperti keadilan (justice), kepastian hukum (legal certainty), dan kemanfaatan (utility). Ia bekerja dengan menciptakan sebuah "realitas hukum" yang mungkin berbeda dari "realitas faktual," tetapi dianggap perlu untuk menjaga konsistensi dan efektivitas sistem peradilan.

Membedakan Fiksi Hukum dengan Presumsi Hukum

Seringkali, fiksi hukum disamakan dengan konsep lain yang berdekatan, yaitu presumsi hukum (praesumptio juris atau asas praduga). Meskipun keduanya melibatkan asumsi, terdapat perbedaan fundamental di antara keduanya:

Perbedaan esensialnya terletak pada sifat kebenarannya. Presumsi adalah kebenaran yang dapat diuji dan dibantah, sementara fiksi adalah kebenaran rekaan yang diterima secara absolut demi tercapainya tujuan hukum.

Jejak Sejarah: Evolusi Fiksi Hukum dari Roma hingga Kini

Untuk memahami kedalaman konsep fiksi hukum, kita perlu menelusuri akarnya yang menghunjam jauh ke dalam sejarah peradaban hukum, terutama pada masa Kekaisaran Romawi.

Akar dalam Hukum Romawi

Sistem hukum Romawi kuno, khususnya ius civile, sangatlah formalistik dan kaku. Hukum ini hanya berlaku bagi warga negara Romawi (cives Romani). Seiring dengan ekspansi kekaisaran, Roma menjadi pusat perdagangan yang didatangi oleh banyak orang asing (peregrini). Masalah pun muncul: bagaimana menyelesaikan sengketa yang melibatkan orang asing ini jika ius civile tidak bisa diterapkan pada mereka?

Di sinilah para hakim Romawi, yang dikenal sebagai praetor, menunjukkan kecerdikan mereka. Alih-alih membuat undang-undang baru yang rumit, mereka menggunakan fiksi hukum. Misalnya, dalam sebuah sengketa antara seorang pedagang asing dengan warga Romawi, praetor akan menginstruksikan para juri untuk mengadili kasus tersebut seolah-olah (fictio) pedagang asing itu adalah seorang warga negara Romawi. Dengan fiksi sederhana ini, seluruh kerangka ius civile yang sudah mapan dapat diterapkan untuk memberikan keadilan tanpa harus merombak sistem secara fundamental. Ini adalah contoh klasik bagaimana fiksi digunakan untuk memperluas cakupan keadilan.

Contoh terkenal lainnya adalah Fictio Legis Corneliae. Hukum Romawi menetapkan bahwa surat wasiat menjadi tidak sah jika pewaris meninggal dalam status sebagai budak. Hal ini menimbulkan masalah bagi tentara Romawi yang ditawan musuh, karena mereka secara hukum dianggap menjadi budak. Untuk melindungi hak waris keluarga mereka, diciptakanlah fiksi bahwa prajurit yang tertawan tersebut dianggap telah meninggal dunia pada saat ia ditangkap, yaitu ketika ia masih berstatus sebagai orang merdeka. Dengan demikian, surat wasiatnya tetap sah.

Perkembangan dalam Sistem Common Law

Tradisi penggunaan fiksi hukum diwarisi dan dikembangkan lebih lanjut dalam sistem Common Law di Inggris. Selama berabad-abad, pengadilan-pengadilan di Inggris seringkali bersaing untuk mendapatkan lebih banyak kasus (dan pendapatan). Fiksi hukum menjadi senjata utama dalam perebutan yurisdiksi ini.

Misalnya, Court of Exchequer awalnya hanya memiliki yurisdiksi atas kasus-kasus yang berkaitan dengan pendapatan kerajaan. Untuk memperluas wewenangnya ke sengketa utang-piutang antar individu, pengadilan ini mengizinkan penggugat untuk membuat dalil fiktif dalam gugatannya bahwa ia tidak dapat membayar pajaknya kepada Raja karena tergugat belum membayar utangnya. Dengan adanya "kepentingan Raja" yang fiktif ini, pengadilan pun merasa berwenang mengadili kasus tersebut.

Fiksi-fiksi prosedural semacam ini, meskipun terlihat rumit dan artifisial, memainkan peran krusial dalam membentuk hukum Inggris yang lebih fleksibel dan adaptif pada masanya.

Fiksi Hukum dalam Sistem Civil Law

Dalam sistem Civil Law, yang dianut oleh Indonesia dan sebagian besar negara Eropa Kontinental, peran fiksi hukum sedikit berbeda. Karena sistem ini lebih mengandalkan kodifikasi (undang-undang tertulis), fiksi hukum tidak diciptakan secara ad-hoc oleh hakim seperti dalam tradisi Common Law. Sebaliknya, fiksi hukum secara eksplisit dicantumkan dalam pasal-pasal undang-undang oleh legislator.

Fiksi dalam sistem Civil Law bersifat lebih terstruktur dan sengaja dirancang sebagai bagian dari kerangka hukum positif. Ia tidak lagi menjadi alat untuk perebutan yurisdiksi, melainkan menjadi teknik legislatif yang sadar untuk mencapai tujuan kebijakan tertentu, seperti yang akan kita lihat dalam contoh-contoh penerapan di Indonesia.

Penerapan Konkret Fiksi Hukum di Indonesia

Asas fiksi hukum bukanlah konsep yang abstrak dan melayang di awang-awang. Ia hidup dan beroperasi dalam berbagai cabang hukum di Indonesia, dari hukum perdata hingga hukum administrasi negara. Berikut adalah beberapa contoh paling signifikan:

1. Dalam Hukum Perdata: Badan Hukum sebagai Subjek Hukum

Ini adalah contoh fiksi hukum yang paling fundamental dan berdampak luas dalam dunia modern. Secara faktual, sebuah Perseroan Terbatas (PT), yayasan, atau koperasi hanyalah sekumpulan orang, modal, dan aset yang diorganisir berdasarkan akta notaris. Ia tidak memiliki tubuh, nyawa, atau kehendak sendiri. Namun, hukum menciptakan fiksi agung dengan menyatakan bahwa entitas ini adalah sebuah "badan hukum" (rechtspersoon).

Melalui fiksi ini, badan hukum dianggap sebagai subjek hukum yang mandiri, sama seperti manusia (natuurlijk persoon). Konsekuensinya sangat luar biasa:

Tanpa fiksi badan hukum, aktivitas ekonomi modern seperti investasi skala besar, perbankan, dan industri manufaktur akan sangat sulit berkembang. Fiksi ini memberikan kepastian, keamanan, dan keberlanjutan bagi dunia usaha.

2. Dalam Hukum Perdata: Anak dalam Kandungan

Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Indonesia mengandung sebuah fiksi yang sarat dengan nilai kemanusiaan. Pasal tersebut menyatakan:

"Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, setiap kali kepentingan si anak menghendakinya. Bila ia mati sewaktu dilahirkan, ia dianggap tidak pernah telah ada."

Secara biologis, anak dalam kandungan belum lahir dan belum menjadi subjek hukum. Namun, hukum perdata menciptakan fiksi bahwa ia dianggap telah lahir. Tujuannya jelas: untuk melindungi hak-hak keperdataan si anak, terutama hak waris. Jika seorang ayah meninggal dunia saat istrinya sedang mengandung, berkat fiksi ini, anak tersebut tetap berhak mendapatkan bagian warisan seolah-olah ia sudah lahir pada saat ayahnya wafat. Fiksi ini memastikan keadilan bagi calon ahli waris yang paling rentan.

3. Dalam Hukum Administrasi Negara: Keputusan Fiktif Positif

Salah satu masalah klasik dalam birokrasi adalah kelambanan atau keengganan pejabat untuk mengeluarkan suatu keputusan atau izin. Untuk mengatasi hal ini, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan memperkenalkan konsep keputusan fiktif positif.

Konsep ini mengatur bahwa jika seorang warga negara mengajukan permohonan (misalnya, izin mendirikan bangunan) kepada badan atau pejabat pemerintahan, dan pejabat tersebut tidak memberikan keputusan dalam batas waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Sikap diam pemerintah difiksikan sebagai sebuah persetujuan.

Fiksi ini adalah alat yang sangat kuat untuk:

4. Dalam Hukum Acara: Gugatan Dianggap Dibacakan

Dalam proses persidangan perdata, seringkali kita mendengar hakim menyatakan, "gugatan dianggap telah dibacakan." Apakah ini berarti gugatan tersebut benar-benar tidak dibacakan? Tidak selalu. Namun, fiksi ini digunakan untuk efisiensi waktu. Dengan menganggapnya telah dibacakan, dan karena para pihak (penggugat dan tergugat) diasumsikan telah menerima dan membaca salinan gugatan tersebut sebelum sidang, maka proses persidangan dapat langsung dilanjutkan ke tahap berikutnya (jawaban dari tergugat) tanpa harus membuang waktu membacakan dokumen yang panjang lembar demi lembar.

5. Fiksi Universal: Ignorantia Juris Non Excusat

Seperti yang telah disinggung di awal, fiksi bahwa "setiap orang dianggap tahu hukum" (atau ketidaktahuan akan hukum tidak dapat dimaafkan) adalah pilar fundamental bagi semua sistem hukum modern. Jika dalih "tidak tahu" diterima, maka setiap orang yang dituntut dapat dengan mudah berkelit dari tanggung jawab hukumnya. Hal ini akan meruntuhkan seluruh bangunan kepastian dan penegakan hukum. Meskipun secara faktual mustahil bagi siapa pun untuk mengetahui semua hukum, fiksi ini harus dipertahankan secara mutlak demi tertib hukum dan rasa keadilan publik.

Kritik dan Kontroversi seputar Fiksi Hukum

Meskipun memiliki peran yang tak terbantahkan, asas fiksi hukum tidak luput dari kritik dan perdebatan filosofis. Penggunaannya yang berlandaskan pada "ketidakbenaran" menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar tentang sifat hukum itu sendiri.

Kritik dari Perspektif Kejujuran dan Transparansi

Kritikus paling vokal, seperti filsuf Jeremy Bentham, memandang fiksi hukum sebagai "kebohongan" yang merusak kemurnian dan kejujuran hukum. Bentham berpendapat bahwa hukum seharusnya didasarkan pada kebenaran dan fakta. Menggunakan fiksi, menurutnya, adalah cara yang tidak jujur dan membingungkan untuk mencapai tujuan, sekalipun tujuan itu baik. Ia berargumen bahwa legislator seharusnya secara langsung dan terang-terangan mengubah undang-undang jika dirasa tidak adil atau tidak memadai, alih-alih menggunakan "trik" fiksi untuk mengakali aturan yang ada.

Pandangan ini menekankan bahwa hukum yang transparan dan mudah dipahami oleh masyarakat adalah sebuah ideal. Penggunaan fiksi yang rumit dan artifisial dapat membuat hukum menjadi terkesan esoteris, hanya dapat dipahami oleh para ahli hukum, dan menjauhkan masyarakat dari sistem yang seharusnya melayani mereka.

Potensi Penyalahgunaan dan Judicial Activism

Kritik lain menyoroti potensi penyalahgunaan fiksi hukum, terutama oleh hakim. Dalam sistem di mana hakim memiliki keleluasaan untuk menafsirkan hukum, fiksi dapat menjadi dalih untuk melakukan judicial activism atau aktivisme yudisial, di mana hakim melampaui perannya sebagai penafsir hukum dan menjadi "pencipta" hukum baru. Dengan menciptakan fiksi-fiksi baru, hakim berpotensi mengubah makna undang-undang sesuai dengan pandangan pribadinya, yang dapat mengancam prinsip kepastian hukum dan pembagian kekuasaan (separation of powers).

Pertahanan terhadap Fiksi Hukum: Pragmatisme dan Konservatisme Hukum

Di sisi lain, para pendukung fiksi hukum, seperti Lon Fuller, berpendapat bahwa fiksi adalah alat pragmatis yang sangat diperlukan. Fuller melihat fiksi bukan sebagai kebohongan, melainkan sebagai sebuah "formula" atau "perumpamaan" yang memungkinkan pemikiran hukum untuk bergerak maju. Menurutnya, fiksi memungkinkan adanya perubahan dan adaptasi hukum secara bertahap tanpa harus melakukan perombakan total terhadap sistem yang sudah ada.

Pendekatan ini bersifat konservatif dalam arti positif: ia menjaga stabilitas dan kontinuitas kerangka hukum yang ada sambil tetap memberikan ruang untuk fleksibilitas. Daripada menghancurkan bangunan hukum lama untuk membangun yang baru, fiksi memungkinkan kita untuk "merenovasi" dan "menambah" ruangan baru pada bangunan tersebut sesuai kebutuhan zaman. Ia adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan hukum.

Kesimpulan: Instrumen Fiktif untuk Keadilan Riil

Asas fiksi hukum adalah sebuah paradoks yang indah. Ia adalah pengakuan bahwa hukum, dalam upayanya untuk mengatur realitas yang tak terbatas, terkadang harus menciptakan realitasnya sendiri. Ia adalah "kebohongan yang disepakati" yang diucapkan bukan untuk menipu, melainkan untuk melayani kebenaran yang lebih tinggi: keadilan, ketertiban, dan kemanfaatan sosial.

Dari lorong-lorong pengadilan Romawi kuno hingga ruang rapat perusahaan multinasional modern, dari perlindungan janin dalam kandungan hingga percepatan layanan birokrasi, fiksi hukum telah membuktikan dirinya sebagai salah satu perangkat paling serbaguna dan tahan lama dalam gudang persenjataan yuridis. Ia mengajarkan kita bahwa hukum bukan sekadar kumpulan aturan yang kaku, melainkan sebuah organisme hidup yang terus-menerus beradaptasi, meregang, dan bahkan berimajinasi untuk dapat merangkul kompleksitas kehidupan manusia.

Meskipun perdebatan tentang transparansi dan potensi penyalahgunaannya akan terus berlanjut, keberadaan fiksi hukum menegaskan satu hal penting: terkadang, jalan menuju keadilan yang paling nyata justru harus ditempuh melalui gerbang imajinasi hukum.

🏠 Homepage