Ekonomi Islam bukan sekadar seperangkat aturan transaksional, melainkan sebuah sistem yang berakar pada fondasi filsafat yang mendalam. Pemahaman terhadap asas-asas filosofis ini sangat krusial untuk mengapresiasi keunikan dan relevansinya dalam membangun tatanan ekonomi yang adil dan sejahtera. Inti dari filsafat ekonomi Islam terletak pada pandangan dunia (worldview) yang bersumber dari ajaran Islam itu sendiri, yang menempatkan manusia sebagai khalifah di muka bumi dengan tanggung jawab untuk mengelola sumber daya alam secara bijak demi kemaslahatan bersama.
Berbeda dengan ekonomi konvensional yang seringkali berfokus pada pertumbuhan PDB semata, ekonomi Islam memiliki tujuan yang lebih holistik, yaitu mencapai falah. Falah mencakup kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat. Ini berarti bahwa setiap aktivitas ekonomi haruslah tidak hanya menghasilkan keuntungan materi, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan kualitas moral, spiritual, dan sosial individu serta masyarakat. Keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan tuntutan ukhrawi menjadi landasan utama dalam setiap keputusan ekonomi.
Salah satu asas filsafat ekonomi Islam yang paling fundamental adalah keadilan. Keadilan dalam Islam tidak hanya berarti kesetaraan dalam hak, tetapi juga mencakup proporsionalitas dan keseimbangan. Prinsip keadilan ini termanifestasi dalam berbagai aspek, mulai dari kepemilikan, produksi, distribusi, hingga konsumsi. Islam melarang segala bentuk eksploitasi, penipuan, riba (bunga), dan praktik-praktik lain yang merugikan salah satu pihak. Distribusi kekayaan haruslah merata, di mana yang kaya memiliki kewajiban untuk membantu yang kurang mampu melalui zakat, sedekah, dan infak. Hal ini bertujuan untuk mencegah akumulasi kekayaan yang berlebihan di tangan segelintir orang dan memastikan bahwa kebutuhan dasar setiap individu terpenuhi.
Dalam ekonomi Islam, kepemilikan ada tiga tingkatan: kepemilikan pribadi, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Namun, semua kepemilikan pada hakikatnya adalah milik Allah Swt. Manusia hanya dipercaya untuk mengelolanya. Oleh karena itu, kepemilikan pribadi tidak bersifat absolut, melainkan dibatasi oleh tanggung jawab sosial. Kekayaan yang diperoleh secara sah wajib digunakan untuk kebaikan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Konsep ini mendorong individu untuk tidak hanya berorientasi pada keuntungan pribadi, tetapi juga pada dampak sosial dari aktivitas ekonominya. Penggunaan sumber daya alam juga harus dilakukan secara berkelanjutan, mengingat tanggung jawab terhadap generasi mendatang.
Ekonomi Islam memberikan kebebasan bagi individu untuk melakukan aktivitas ekonomi, melakukan perdagangan, dan mengembangkan usaha. Namun, kebebasan ini tidak tanpa batas. Ia dibingkai oleh kerangka moral dan etika yang bersumber dari syariat Islam. Pelaku ekonomi memiliki kebebasan untuk berinovasi dan mencari keuntungan, tetapi dalam batas-batas yang telah ditetapkan, seperti larangan terhadap penimbunan barang (ihtikar), monopoli yang merugikan, dan produksi barang-barang yang haram.
Asas filsafat ekonomi Islam juga menekankan pentingnya ikatan persaudaraan dan solidaritas di antara sesama manusia. Prinsip ukhuwah ini mendorong terciptanya hubungan ekonomi yang harmonis dan saling menguntungkan. Zakat, sebagai salah satu rukun Islam, adalah manifestasi konkret dari solidaritas sosial ini, yang berfungsi untuk membersihkan harta dan membantu kaum dhuafa. Konsep wakaf juga menjadi sarana untuk mengalirkan manfaat ekonomi bagi masyarakat secara berkelanjutan.
Memahami asas-asas filsafat ekonomi Islam adalah langkah awal untuk membangun sebuah sistem ekonomi yang tidak hanya efisien dan produktif, tetapi juga berkeadilan, manusiawi, dan berorientasi pada pencapaian kesejahteraan hakiki. Dengan berlandaskan pada nilai-nilai luhur seperti keadilan, tanggung jawab sosial, dan solidaritas, ekonomi Islam menawarkan sebuah paradigma yang sangat relevan untuk menjawab berbagai tantangan ekonomi global di masa kini dan mendatang.