Hukum keluarga perdata merupakan salah satu cabang penting dalam sistem hukum perdata yang mengatur segala sesuatu terkait hubungan keluarga, baik yang timbul dari perkawinan, kekerabatan, maupun hubungan hukum lainnya yang berkaitan dengan status pribadi. Memahami asas hukum keluarga perdata adalah kunci untuk mengerti bagaimana tatanan keluarga dibentuk, dipertahankan, dan diakhiri dalam kerangka hukum yang berlaku di Indonesia. Asas-asas ini bukan sekadar aturan formal, melainkan nilai-nilai fundamental yang mencerminkan pandangan masyarakat terhadap institusi keluarga.
Dalam praktiknya, hukum keluarga perdata di Indonesia banyak dipengaruhi oleh hukum waris peninggalan Belanda, yang dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau Burgerlijk Wetboek. Meskipun demikian, terdapat beberapa asas yang bersifat universal dan mendasar:
Ini adalah asas yang paling fundamental dalam hukum keluarga perdata di Indonesia, khususnya bagi umat yang beragama Katolik dan Protestan. Asas ini menegaskan bahwa perkawinan hanya sah dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita, tanpa adanya poligami atau poliandri. Pasal 11 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 secara tegas menyatakan bahwa perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak.
Meskipun perkawinan adalah sebuah institusi sosial yang diatur negara, asas kebebasan berjanji tetap memiliki peran. Ini tercermin dalam kebebasan individu untuk memilih calon pasangan, menentukan waktu perkawinan, dan dalam batasan-batasan tertentu, menentukan isi perjanjian perkawinan (prenuptial agreement). Namun, kebebasan ini dibatasi oleh syarat-syarat sahnya perkawinan yang ditetapkan oleh hukum.
Seiring perkembangan zaman dan kesadaran hukum, asas kesetaraan gender semakin menguat dalam hukum keluarga. Meskipun masih ada ruang untuk perdebatan dan penyesuaian, secara umum, hukum keluarga perdata berusaha menempatkan kedudukan suami dan istri sejajar, terutama dalam hak dan kewajiban rumah tangga, kepemilikan harta benda, serta hak pengasuhan anak.
Setiap tindakan dan keputusan hukum yang berkaitan dengan anak haruslah mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child). Asas ini sangat krusial dalam perkara perceraian, hak asuh anak, adopsi, dan warisan. Negara berperan untuk melindungi anak dari segala bentuk penelantaran, kekerasan, dan eksploitasi.
Asas ini berkaitan dengan kewajiban alamiah atau moral yang jika dipenuhi, maka tidak dapat dituntut kembali. Dalam konteks hukum keluarga, ini bisa menyangkut kewajiban orang tua untuk menafkahi anak atau kewajiban anak untuk merawat orang tua yang lanjut usia. Meskipun tidak selalu memiliki sanksi hukum yang memaksa, pemenuhan kewajiban ini adalah bentuk kepatuhan terhadap norma moral dan sosial.
Memahami asas hukum keluarga perdata sangat penting bagi setiap individu yang menjalani kehidupan berkeluarga. Hal ini membantu dalam:
Asas-asas ini juga menjadi panduan bagi para praktisi hukum, hakim, dan pembuat kebijakan dalam merumuskan dan menegakkan peraturan hukum keluarga yang berkeadilan. Tanpa landasan asas yang kuat, hukum keluarga akan kehilangan esensinya sebagai penopang stabilitas sosial dan kebahagiaan individu.
Perlu diingat bahwa penerapan hukum keluarga perdata di Indonesia memiliki kompleksitas tersendiri karena keberagaman agama dan adat istiadat. Hukum keluarga yang berlaku bagi umat Kristen, Katolik, dan sebagian besar umat Islam didasarkan pada UU Perkawinan dan KUH Perdata. Sementara itu, bagi umat Islam, hukum keluarga lebih banyak diatur oleh hukum Islam (syariah) yang kini dikodifikasi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Namun, asas-asas universal seperti pentingnya anak dan kesetaraan dalam prinsip dasar tetap menjadi benang merah yang menghubungkan.
Secara keseluruhan, asas hukum keluarga perdata adalah pilar yang menopang institusi keluarga dalam masyarakat. Dengan pemahaman yang baik terhadap asas-asas ini, diharapkan setiap anggota keluarga dapat menjalankan perannya dengan penuh tanggung jawab dan menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis, dilindungi oleh hukum.