Transformasi pendidikan di Indonesia terus bergulir, dan salah satu tonggak penting dalam perjalanannya adalah penerapan Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini hadir bukan sekadar sebagai pengganti kurikulum sebelumnya, melainkan sebagai sebuah filosofi yang mengedepankan kebebasan dan keberpihakan pada siswa. Di balik layar Kurikulum Merdeka, terdapat serangkaian asas fundamental yang menjadi pijakan utamanya. Memahami asas-asas ini krusial bagi setiap elemen pendidikan untuk dapat mengimplementasikannya secara optimal.
Inti dari Kurikulum Merdeka adalah pengakuan bahwa setiap anak memiliki potensi unik dan cara belajar yang berbeda. Oleh karena itu, kurikulum ini beranjak dari paradigma lama yang cenderung seragam menjadi pendekatan yang lebih fleksibel dan adaptif. Fokus utamanya adalah pengembangan kompetensi yang relevan dengan zamannya, serta karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, seperti beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia; berkebinekaan global; bergotong royong; mandiri; bernalar kritis; dan kreatif.
Salah satu asas paling menonjol dari Kurikulum Merdeka adalah fleksibilitas. Kurikulum ini memberikan keleluasaan kepada satuan pendidikan untuk merancang pembelajaran sesuai dengan konteks lokal, kebutuhan siswa, serta karakteristik sekolah. Guru tidak lagi terikat pada struktur kurikulum yang kaku, melainkan didorong untuk berkreasi dan berinovasi dalam menyajikan materi pembelajaran. Fleksibilitas ini juga tercermin dalam opsi pilihan mata pelajaran yang lebih luas, memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka secara mendalam.
Keberpihakan pada siswa menjadi asas kedua yang tak kalah penting. Kurikulum Merdeka menempatkan siswa sebagai subjek aktif dalam proses pembelajaran. Bukan sekadar menerima informasi, siswa didorong untuk belajar melalui pengalaman, eksplorasi, dan penemuan. Guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing, memotivasi, dan memberikan dukungan. Pendekatan ini bertujuan untuk membangun kemandirian belajar siswa, menumbuhkan rasa ingin tahu, serta mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Asesmen yang dilakukan pun lebih berorientasi pada proses dan kemajuan belajar siswa, bukan semata-mata pada hasil akhir.
Konsep pembelajaran berdiferensiasi merupakan asas krusial lainnya. Menyadari bahwa setiap siswa memiliki latar belakang, kemampuan, dan gaya belajar yang berbeda, Kurikulum Merdeka mendorong guru untuk merancang pembelajaran yang mampu memenuhi kebutuhan individu siswa. Hal ini bisa berupa perbedaan dalam materi yang diberikan, cara penyampaian, maupun cara siswa menunjukkan pemahamannya. Tujuannya adalah agar semua siswa dapat belajar secara optimal dan mencapai potensi terbaiknya.
Selanjutnya, asas pembelajaran yang berakar pada konteks juga ditekankan. Kurikulum Merdeka mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa dan realitas di lingkungan sekitar. Dengan demikian, pembelajaran menjadi lebih bermakna dan relevan. Siswa diajak untuk melihat bagaimana pengetahuan yang mereka peroleh dapat diaplikasikan dalam memecahkan masalah nyata, baik di tingkat personal, sosial, maupun global. Hal ini juga sejalan dengan pengembangan profil pelajar Pancasila yang menekankan pemahaman terhadap keberagaman dan tanggung jawab sosial.
Puncak dari semua asas Kurikulum Merdeka adalah pengembangan Profil Pelajar Pancasila. Ini bukan hanya sekadar tujuan pembelajaran, melainkan jiwa dari seluruh kurikulum. Melalui berbagai kegiatan pembelajaran, proyek, dan interaksi, siswa didorong untuk membentuk karakter yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Keberpihakan pada pembelajaran yang mendalam, berpusat pada siswa, dan relevan dengan konteks, semuanya diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki integritas, empati, dan kesadaran global.
Dengan memahami dan menerapkan asas-asas ini secara konsisten, diharapkan Kurikulum Merdeka dapat benar-benar mewujudkan cita-cita pendidikan yang membebaskan dan memberdayakan generasi penerus bangsa. Transformasi ini membutuhkan komitmen dan kolaborasi dari seluruh pemangku kepentingan pendidikan, mulai dari pemerintah, sekolah, guru, orang tua, hingga masyarakat luas.