Asas Monogami: Membedah Fondasi Perkawinan dalam Tatanan Masyarakat
Perkawinan, sebagai sebuah institusi universal, hadir dalam berbagai bentuk dan praktik di seluruh kebudayaan dunia. Namun, di antara keragaman tersebut, terdapat satu prinsip yang menjadi fondasi utama bagi banyak sistem hukum dan tatanan sosial, yaitu asas monogami. Asas ini bukan sekadar aturan tentang jumlah pasangan, melainkan sebuah konsep mendalam yang menyentuh aspek hukum, sosial, psikologis, dan bahkan spiritual dalam kehidupan manusia. Memahami asas monogami berarti menyelami salah satu pilar terpenting yang membentuk struktur keluarga dan masyarakat modern.
Secara sederhana, monogami adalah praktik perkawinan di mana seorang individu hanya memiliki satu pasangan pada satu waktu. Asas monogami, dengan demikian, adalah prinsip atau dasar yang menetapkan bahwa suatu perkawinan idealnya dilangsungkan antara seorang pria dengan seorang wanita, atau seorang wanita dengan seorang pria. Prinsip ini menjadi norma dominan dalam banyak peradaban, membentuk cara pandang masyarakat terhadap komitmen, kesetiaan, dan struktur keluarga. Ini adalah landasan yang melegitimasi ikatan eksklusif, di mana dua individu berkomitmen untuk membangun kehidupan bersama, berbagi sumber daya, serta membesarkan keturunan dalam sebuah unit keluarga yang stabil.
Definisi dan Ruang Lingkup Asas Monogami
Untuk memahami asas monogami secara komprehensif, penting untuk membedahnya dari berbagai sudut pandang. Ini bukan konsep tunggal yang kaku, melainkan sebuah gagasan multifaset yang memiliki dimensi berbeda. Dari perspektif sosiologis, monogami sering kali dibedakan menjadi beberapa jenis. Monogami serial (serial monogamy) merujuk pada praktik di mana seseorang memiliki serangkaian hubungan monogami sepanjang hidupnya, artinya ia hanya memiliki satu pasangan pada satu waktu tetapi mungkin memiliki pasangan berbeda setelah hubungan sebelumnya berakhir karena perceraian atau kematian. Ini adalah bentuk yang sangat umum di masyarakat modern.
Di sisi lain, terdapat monogami sosial (social monogamy), di mana dua individu hidup bersama, berbagi sumber daya, dan bekerja sama dalam membesarkan anak, tetapi mungkin tidak sepenuhnya eksklusif secara seksual. Konsep ini lebih sering ditemukan dalam studi perilaku hewan, tetapi juga relevan untuk memahami kompleksitas hubungan manusia. Selanjutnya, ada monogami seksual (sexual monogamy) yang menekankan eksklusivitas hubungan seksual antara dua pasangan, dan monogami genetik (genetic monogamy) yang merujuk pada situasi di mana keturunan yang dihasilkan berasal secara eksklusif dari pasangan tersebut. Dalam konteks hukum dan sosial, asas monogami yang dianut umumnya mencakup monogami sosial dan seksual sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Sebagai sebuah asas dalam hukum perkawinan, prinsip monogami berfungsi sebagai norma default atau aturan utama. Artinya, sistem hukum secara otomatis mengasumsikan bahwa setiap perkawinan yang dilangsungkan bersifat monogami, kecuali jika ada ketentuan khusus yang mengizinkan sebaliknya dengan syarat-syarat yang sangat ketat. Prinsip ini memberikan kepastian hukum, melindungi hak-hak pasangan (terutama istri dan anak-anak), serta menjaga ketertiban sosial. Dengan menetapkan satu pasangan resmi, hukum dapat dengan mudah mengatur hal-hal terkait warisan, status anak, dan tanggung jawab finansial.
Asas monogami bukanlah sekadar pembatasan, melainkan sebuah penegasan atas nilai eksklusivitas, komitmen, dan kesetaraan dalam sebuah ikatan suci perkawinan.
Landasan Historis dan Antropologis
Pertanyaan mengenai asal-usul monogami telah lama menjadi perdebatan di kalangan antropolog dan sejarawan. Apakah monogami adalah kondisi "alami" manusia atau produk evolusi sosial? Bukti-bukti menunjukkan bahwa struktur perkawinan manusia sangat bervariasi sepanjang sejarah. Pada masyarakat pemburu-pengumpul (hunter-gatherer), struktur keluarga cenderung lebih fleksibel. Namun, transisi besar menuju masyarakat agraris membawa perubahan fundamental.
Dengan munculnya pertanian, konsep kepemilikan pribadi atas tanah dan properti menjadi semakin penting. Hal ini menciptakan kebutuhan mendesak untuk adanya sistem pewarisan yang jelas. Monogami menawarkan solusi yang paling efisien: dengan satu istri yang diakui secara sah, seorang pria dapat memastikan bahwa anak-anak yang dilahirkan adalah ahli waris biologisnya yang sah. Kepastian garis keturunan ini menjadi krusial untuk menjaga stabilitas sosial dan mencegah konflik perebutan warisan. Dengan demikian, monogami berevolusi tidak hanya sebagai preferensi personal, tetapi juga sebagai strategi sosial-ekonomi yang efektif untuk menjaga tatanan masyarakat agraris.
Berbagai peradaban kuno menunjukkan penerapan yang beragam. Di Roma Kuno, misalnya, monogami adalah norma hukum yang ditegakkan dengan ketat. Seorang warga negara Romawi hanya boleh memiliki satu istri yang sah pada satu waktu. Meskipun perselingkuhan atau hubungan di luar nikah terjadi, status perkawinan monogami tetap menjadi pilar hukum keluarga mereka. Hal ini kontras dengan praktik di banyak kebudayaan lain di Timur Tengah atau Asia, di mana poligini (seorang pria memiliki lebih dari satu istri) sering kali dipraktikkan, terutama di kalangan elite dan penguasa sebagai simbol status, kekayaan, dan kekuatan politik.
Seiring waktu, pengaruh agama-agama besar, terutama Kristen, turut memperkuat dominasi asas monogami di dunia Barat dan kemudian menyebar ke seluruh dunia melalui kolonialisme dan globalisasi. Ajaran yang menekankan persatuan mistis antara suami dan istri sebagai "satu daging" memberikan landasan teologis yang kuat bagi praktik monogami, mengubahnya dari sekadar kontrak sosial-ekonomi menjadi sebuah ikatan spiritual yang suci.
Asas Monogami dalam Perspektif Hukum Indonesia
Di Indonesia, asas monogami secara eksplisit dianut sebagai prinsip dasar dalam hukum perkawinan nasional. Landasan hukum utamanya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penegasan ini merupakan langkah monumental dalam unifikasi hukum keluarga di Indonesia, yang sebelumnya diatur oleh berbagai sistem hukum yang berbeda (hukum adat, hukum Islam, hukum perdata Barat).
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan secara tegas menyatakan:
"Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami."
Formulasi ini sangat jelas dan tidak ambigu. Kata "pada asasnya" menunjukkan bahwa monogami adalah prinsip utama, kaidah pokok, dan titik awal dari setiap perkawinan yang diakui oleh negara. Ini berarti, setiap perkawinan yang dicatatkan di Indonesia secara otomatis dianggap sebagai perkawinan monogami. Seorang pria yang sudah terikat dalam perkawinan tidak dapat melangsungkan perkawinan kedua dengan wanita lain, begitu pula sebaliknya. Melakukan perkawinan kedua saat masih terikat perkawinan yang sah merupakan tindak pidana bigami yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pengecualian Terhadap Asas Monogami
Meskipun monogami adalah asasnya, Undang-Undang Perkawinan juga mengakui realitas sosial dan keagamaan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, hukum membuka kemungkinan adanya pengecualian, yaitu poligami (dalam hal ini, lebih tepatnya poligini), tetapi dengan syarat-syarat yang sangat ketat dan bersifat kumulatif. Pengecualian ini bukan hak, melainkan sebuah izin yang harus didapatkan melalui proses peradilan yang rumit.
Seorang suami yang hendak beristri lebih dari seorang wajib memenuhi beberapa persyaratan utama:
- Mendapat Izin dari Pengadilan Agama: Izin ini tidak diberikan secara mudah. Pengadilan akan memeriksa secara saksama apakah semua syarat, baik syarat alternatif maupun syarat kumulatif, telah terpenuhi.
- Adanya Persetujuan dari Istri atau Istri-istri: Persetujuan ini harus diberikan secara sukarela, tanpa paksaan, dan dinyatakan secara tertulis atau lisan di hadapan sidang pengadilan. Persetujuan ini adalah salah satu pilar utama, meskipun dalam praktiknya, pengadilan dapat memberikan izin tanpa persetujuan istri jika istri tersebut tidak mungkin dimintai persetujuannya atau tidak mau memberikan persetujuan tanpa alasan yang sah menurut hukum.
- Kemampuan Menjamin Keperluan Hidup: Suami harus dapat membuktikan kepada pengadilan bahwa ia memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk menafkahi semua istri dan anak-anaknya kelak.
- Jaminan Berlaku Adil: Suami harus membuat pernyataan tertulis di hadapan pengadilan bahwa ia akan berlaku adil terhadap semua istri dan anak-anaknya. Keadilan ini mencakup aspek materiil (nafkah, tempat tinggal) dan immateriil (perhatian, waktu).
Selain syarat-syarat kumulatif di atas, harus ada salah satu alasan alternatif yang mendasari permohonan poligami, yaitu:
- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
- Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
- Istri tidak dapat memberikan keturunan.
Prosedur yang ketat ini menunjukkan bahwa meskipun poligami diizinkan secara hukum, negara pada dasarnya tetap berpegang teguh pada asas monogami. Tujuannya adalah untuk melindungi institusi perkawinan, serta hak-hak perempuan dan anak-anak dari potensi ketidakadilan dan penelantaran yang bisa timbul dari praktik poligami yang tidak bertanggung jawab.
Dimensi Psikologis dan Sosiologis dari Monogami
Di luar kerangka hukum dan sejarah, asas monogami memiliki akar yang dalam pada psikologi manusia dan struktur sosial. Dari sudut pandang psikologis, monogami sering kali dikaitkan dengan kebutuhan dasar manusia akan keintiman, keamanan emosional, dan keterikatan (attachment). Hubungan monogami yang sehat menyediakan ruang aman bagi individu untuk menjadi rentan, berbagi pikiran dan perasaan terdalam, serta membangun kepercayaan yang fundamental.
Keintiman dan Keterikatan Emosional
Teori keterikatan (attachment theory) yang dipelopori oleh John Bowlby menunjukkan bahwa manusia memiliki dorongan bawaan untuk membentuk ikatan emosional yang kuat dengan figur tertentu. Dalam konteks hubungan romantis dewasa, ikatan ini terwujud dalam bentuk kemitraan yang eksklusif. Komitmen pada satu pasangan memungkinkan pengembangan tingkat keintiman emosional dan fisik yang sulit dicapai dalam struktur hubungan lainnya. Kepercayaan bahwa pasangan akan selalu ada, setia, dan mendukung secara emosional menciptakan rasa aman yang menjadi fondasi kesehatan mental dan kebahagiaan.
Monogami juga menyederhanakan lanskap emosional. Dalam hubungan non-monogami, potensi kecemburuan, persaingan, dan ketidakamanan emosional bisa menjadi sangat kompleks dan menguras energi. Meskipun emosi-emosi ini juga bisa muncul dalam hubungan monogami, kerangka eksklusivitas menyediakan aturan main yang jelas untuk mengelola dan menyelesaikannya. Komitmen untuk mengatasi masalah bersama sebagai satu unit yang solid merupakan salah satu kekuatan psikologis terbesar dari monogami.
Stabilitas Sosial dan Fungsi Keluarga
Secara sosiologis, asas monogami memainkan peran krusial dalam menciptakan stabilitas sosial. Keluarga monogami, yang terdiri dari dua orang tua dan anak-anak mereka, dianggap sebagai unit dasar (building block) masyarakat. Struktur ini memberikan beberapa keuntungan:
- Pengasuhan Anak yang Stabil: Dengan dua orang tua yang fokus pada satu unit keluarga, sumber daya (waktu, perhatian, finansial) dapat dialokasikan secara lebih efisien untuk pengasuhan dan pendidikan anak. Kepastian mengenai siapa orang tua biologis juga menyederhanakan tanggung jawab pengasuhan.
- Transmisi Nilai dan Budaya: Keluarga berfungsi sebagai agen sosialisasi primer. Dalam unit keluarga yang stabil, nilai-nilai sosial, norma, dan tradisi budaya dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara efektif.
- Jaringan Sosial yang Jelas: Monogami menciptakan garis keturunan dan hubungan kekerabatan yang jelas dan tidak rumit. Ini memudahkan pelacakan silsilah, pembagian warisan, dan pembentukan jaringan dukungan sosial yang lebih luas melalui ikatan perkawinan antar dua keluarga.
- Mengurangi Konflik Sosial: Beberapa teori evolusioner berpendapat bahwa monogami yang dilembagakan secara sosial membantu mengurangi persaingan antar pria untuk mendapatkan pasangan. Dengan adanya norma bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk membentuk pasangan, potensi konflik dan kekerasan dalam masyarakat dapat ditekan.
Meskipun model keluarga telah menjadi semakin beragam, keluarga inti yang didasarkan pada perkawinan monogami tetap menjadi struktur yang dominan dan diidealkan dalam banyak masyarakat karena kontribusinya yang terbukti terhadap stabilitas dan kohesi sosial.
Tinjauan Asas Monogami dari Perspektif Agama
Agama memainkan peran sentral dalam membentuk dan memperkuat asas monogami di berbagai belahan dunia. Sebagian besar agama besar dunia menempatkan perkawinan pada posisi yang sangat terhormat dan, dengan berbagai cara, mengarahkan umatnya menuju prinsip monogami sebagai bentuk ikatan yang paling ideal.
Kekristenan
Dalam tradisi Kristen (baik Katolik maupun Protestan), monogami tidak hanya dianggap sebagai norma sosial, tetapi sebagai ketetapan ilahi. Konsep perkawinan didasarkan pada kisah penciptaan Adam dan Hawa dalam Kitab Kejadian, di mana Tuhan menciptakan satu pria untuk satu wanita. Ajaran Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru juga memperkuat gagasan ini, terutama kutipan, "Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging." (Matius 19:5). Ungkapan "satu daging" ini ditafsirkan sebagai persatuan total dan eksklusif antara dua individu, yang secara inheren bersifat monogami. Gereja Katolik, secara khusus, menganggap perkawinan sebagai salah satu dari tujuh sakramen suci yang tidak dapat diceraikan, semakin mempertegas sifat permanen dan eksklusif dari ikatan tersebut.
Islam
Perspektif Islam mengenai monogami lebih bernuansa. Al-Qur'an mengizinkan seorang pria untuk memiliki hingga empat istri (poligini) dengan syarat utama mampu berlaku adil di antara mereka. Namun, banyak ulama modern menafsirkan bahwa syarat "berlaku adil" ini sangat sulit, bahkan hampir tidak mungkin dipenuhi, terutama dalam hal keadilan emosional dan perasaan. Ayat yang sama yang mengizinkan poligini juga diakhiri dengan peringatan, "...tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja..." (An-Nisa: 3). Oleh karena itu, banyak kalangan dalam Islam memandang bahwa monogami adalah bentuk perkawinan yang dianjurkan dan menjadi prinsip dasarnya, sementara poligini adalah sebuah pengecualian (rukhsah) yang terikat pada kondisi-kondisi sosial tertentu (seperti perang, di mana banyak janda dan anak yatim yang perlu dilindungi) dan syarat keadilan yang sangat berat.
Agama Hindu
Dalam ajaran Hindu, perkawinan (Wiwaha) adalah sebuah samskara (sakramen) yang sangat penting. Meskipun naskah-naskah kuno terkadang menggambarkan raja-raja atau tokoh mitologis yang memiliki lebih dari satu istri, cita-cita ideal yang diajarkan adalah kesetiaan pada satu pasangan seumur hidup. Konsep eka-patni-vrata (bersumpah hanya pada satu istri) yang dicontohkan oleh Dewa Rama dalam epos Ramayana menjadi teladan utama. Di Indonesia, umat Hindu tunduk pada Undang-Undang Perkawinan nasional, yang menetapkan asas monogami sebagai dasarnya. Hukum Adat Bali, misalnya, juga cenderung mengarahkan pada perkawinan monogami, meskipun bentuk-bentuk perkawinan lain mungkin diakui dalam konteks adat tertentu di masa lalu.
Agama Buddha
Buddhisme tidak secara eksplisit mengatur bentuk perkawinan. Fokus utama ajaran Buddha adalah pada pengembangan kesadaran, kebijaksanaan, dan welas asih untuk mengakhiri penderitaan. Namun, sila ketiga dalam Pancasila Buddhis adalah menahan diri dari perbuatan asusila (kamesu micchacara), yang sering ditafsirkan sebagai anjuran untuk menjaga kesetiaan dalam hubungan. Menyakiti pasangan melalui ketidaksetiaan dianggap sebagai tindakan yang menimbulkan penderitaan bagi diri sendiri dan orang lain, sehingga bertentangan dengan jalan menuju pencerahan. Dengan demikian, meskipun tidak ada larangan teologis terhadap poligami, praktik kehidupan yang selaras dengan Dharma akan secara alami mengarah pada hubungan yang didasari oleh kesetiaan, kepercayaan, dan komitmen tunggal, yang esensinya adalah monogami.
Tantangan dan Relevansi Asas Monogami di Era Modern
Di tengah perubahan sosial yang pesat, asas monogami menghadapi berbagai tantangan dan pertanyaan mengenai relevansinya. Globalisasi, individualisme, kemajuan teknologi, dan pergeseran nilai-nilai sosial telah membuka diskusi baru tentang bentuk-bentuk hubungan dan struktur keluarga.
Pergeseran Norma Sosial dan Individualisme
Masyarakat modern cenderung lebih menghargai kebebasan dan pemenuhan diri individu. Hal ini terkadang berbenturan dengan gagasan komitmen seumur hidup yang menjadi inti dari perkawinan monogami tradisional. Tingkat perceraian yang meningkat di banyak negara sering kali dijadikan argumen bahwa institusi monogami sedang mengalami krisis. Namun, pandangan lain menyatakan bahwa tingginya angka perceraian bukan berarti monogami telah gagal, melainkan menunjukkan bahwa individu tidak lagi bersedia bertahan dalam hubungan yang tidak membahagiakan atau tidak sehat, sebuah pilihan yang di masa lalu sering kali tidak tersedia, terutama bagi perempuan.
Munculnya Bentuk Hubungan Alternatif
Diskursus tentang etika berhubungan telah meluas. Konsep seperti poliamori (memiliki lebih dari satu hubungan romantis secara bersamaan dengan persetujuan semua pihak) dan hubungan terbuka (open relationship) mulai dibicarakan secara lebih terbuka. Para pendukungnya berargumen bahwa model-model ini menawarkan fleksibilitas dan kejujuran yang tidak ditemukan dalam monogami tradisional, yang terkadang dianggap membatasi. Meskipun masih merupakan praktik minoritas, keberadaan bentuk-bentuk hubungan alternatif ini menantang asumsi bahwa monogami adalah satu-satunya cara yang sah atau etis untuk membangun kemitraan.
Pengaruh Teknologi Digital
Era digital dan media sosial telah mengubah cara orang berinteraksi dan membangun hubungan. Di satu sisi, teknologi memudahkan orang untuk terhubung. Di sisi lain, ia juga membuka pintu bagi godaan dan ketidaksetiaan. Aplikasi kencan, kemudahan berkomunikasi secara rahasia, dan paparan konstan terhadap kehidupan orang lain dapat menciptakan tekanan baru pada hubungan monogami. Fenomena seperti "perselingkuhan emosional" (emotional affair) melalui platform digital menjadi tantangan modern yang menguji batasan-batasan kesetiaan.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan ini, asas monogami tetap menunjukkan daya tahan yang luar biasa. Bagi sebagian besar orang di seluruh dunia, cita-cita untuk menemukan satu pasangan, membangun kehidupan bersama, dan menua bersama dalam ikatan yang penuh kepercayaan dan kesetiaan tetap menjadi tujuan hidup yang paling didambakan. Relevansi monogami di era modern mungkin tidak lagi terletak pada penegakannya sebagai satu-satunya norma yang kaku, melainkan pada kemampuannya untuk beradaptasi. Monogami modern lebih menekankan pada kemitraan yang setara, komunikasi yang terbuka, dan komitmen yang dipilih secara sadar, bukan sekadar kewajiban sosial atau hukum. Prinsipnya tetap sama—eksklusivitas dan kesetiaan—tetapi praktiknya menjadi lebih fleksibel dan berpusat pada kebahagiaan bersama kedua individu.
Kesimpulan: Fondasi yang Tetap Kokoh
Asas monogami adalah sebuah konsep yang kompleks dan berlapis, ditenun dari benang-benang hukum, sejarah, agama, psikologi, dan sosiologi. Ia muncul sebagai strategi adaptif dalam evolusi sosial manusia, diperkuat oleh sistem hukum untuk menjamin ketertiban, dan dijiwai dengan makna spiritual oleh ajaran agama. Sebagai prinsip dasar dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, ia berfungsi sebagai pilar yang menopang struktur keluarga, melindungi hak-hak individu, dan memberikan kepastian hukum.
Secara psikologis, monogami menjawab kebutuhan mendalam manusia akan keamanan, keintiman, dan keterikatan. Secara sosiologis, ia menyediakan fondasi yang stabil untuk pengasuhan anak dan transmisi nilai-nilai budaya, yang berkontribusi pada kohesi sosial secara keseluruhan.
Meskipun dihadapkan pada tantangan dari pergeseran nilai-nilai di era modern, asas monogami tidak kehilangan relevansinya. Ia terus berevolusi, beradaptasi dari sebuah kewajiban yang kaku menjadi sebuah pilihan sadar yang didasarkan pada komitmen, kesetaraan, dan komunikasi. Pada akhirnya, asas monogami tetap menjadi cerminan dari salah satu aspirasi manusia yang paling abadi: keinginan untuk membangun ikatan cinta, kepercayaan, dan kesetiaan yang eksklusif dengan satu orang istimewa, sebagai fondasi untuk menjalani perjalanan hidup bersama.