Konsep bahwa semua orang sama di mata hukum merupakan landasan fundamental dari sistem hukum yang adil dan beradab. Prinsip ini, yang dikenal sebagai persamaan di hadapan hukum atau equality before the law, bukan sekadar retorika kosong, melainkan sebuah pilar yang menopang seluruh bangunan keadilan. Dalam esensinya, asas ini menegaskan bahwa tidak ada seorang pun, terlepas dari status sosial, kekayaan, ras, agama, gender, atau afiliasi politiknya, yang berada di atas hukum atau kebal dari tuntutan hukum yang sama. Ini adalah janji universal yang seharusnya berlaku bagi setiap individu dalam sebuah masyarakat.
Secara historis, gagasan kesetaraan di hadapan hukum telah berkembang seiring dengan peradaban manusia. Dari dekrit-dekrit kuno hingga deklarasi hak asasi manusia modern, prinsip ini terus diperjuangkan dan diperkuat. Salah satu ekspresi paling awal dari gagasan ini dapat ditemukan dalam prinsip-prinsip hukum Romawi, di mana konsep *ius civile* (hukum sipil) dan *ius gentium* (hukum bangsa-bangsa) mulai memperkenalkan gagasan perlakuan yang setara dalam konteks tertentu. Namun, pengakuan penuh terhadap kesetaraan universal ini baru benar-benar mengemuka dalam era Pencerahan dan revolusi-revolusi besar yang menekankan hak-hak individu. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB Pasal 7 secara eksplisit menyatakan, "Semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun."
Implementasi dari asas semua sama di mata hukum mencakup beberapa aspek krusial. Pertama, keberlakuan hukum yang sama. Ini berarti bahwa aturan hukum yang sama berlaku untuk semua orang dalam situasi yang serupa. Tidak boleh ada undang-undang yang secara spesifik memberikan hak istimewa atau beban yang tidak proporsional kepada kelompok tertentu. Kedua, proses peradilan yang adil. Setiap individu yang menghadapi proses hukum, baik sebagai tergugat, terdakwa, atau pelapor, berhak mendapatkan perlakuan yang sama dalam pemeriksaan, pembelaan, dan penentuan nasibnya. Ini mencakup hak untuk didengar, hak atas pengacara, dan hak untuk mendapatkan putusan yang objektif berdasarkan bukti.
Lebih lanjut, asas ini menuntut penegakan hukum yang tidak pandang bulu. Penegak hukum, termasuk polisi, jaksa, dan hakim, memiliki kewajiban moral dan hukum untuk bertindak tanpa memihak. Korupsi, nepotisme, atau intervensi politik yang mempengaruhi proses hukum adalah pelanggaran serius terhadap prinsip kesetaraan ini. Ketika penegak hukum tunduk pada tekanan atau iming-iming, maka rasa kepercayaan publik terhadap sistem peradilan akan terkikis, dan asas kesetaraan hanya akan menjadi ilusi.
"Keadilan yang buta, yang sering digambarkan dengan patung Dewi Themis yang matanya tertutup, melambangkan bahwa hukum seharusnya tidak memihak pada siapapun, dan setiap orang harus diperlakukan sama tanpa melihat latar belakangnya."
Namun, mewujudkan kesetaraan di hadapan hukum bukanlah tugas yang mudah. Tantangan muncul dalam berbagai bentuk. Kesetaraan akses terhadap keadilan sering kali menjadi hambatan terbesar. Masyarakat yang kurang mampu mungkin tidak memiliki sumber daya finansial untuk menyewa pengacara berkualitas, sementara mereka yang berada di daerah terpencil mungkin kesulitan mengakses informasi hukum atau pengadilan. Di sisi lain, diskriminasi sistemik masih menjadi isu yang mengakar di banyak negara. Praktik-praktik yang tampaknya netral di permukaan bisa saja secara inheren mendiskriminasi kelompok tertentu karena ketidaksetaraan struktural yang ada.
Oleh karena itu, upaya untuk memperkuat asas semua sama di mata hukum harus dilakukan secara berkelanjutan dan komprehensif. Ini meliputi:
Asas semua sama di mata hukum bukan hanya tentang perlakuan yang sama di pengadilan, tetapi juga tentang penciptaan masyarakat yang lebih adil dan manusiawi. Ketika prinsip ini ditegakkan dengan sungguh-sungguh, ia memberikan jaminan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan perlindungan, keadilan, dan martabat. Ini adalah cita-cita yang harus terus kita perjuangkan demi mewujudkan tatanan hukum yang benar-benar melayani kepentingan seluruh umat manusia. Keberhasilan dalam menegakkan asas ini akan menjadi tolok ukur sejati dari seberapa maju dan adil sebuah peradaban.