Asma, atau dalam terminologi medis disebut Asthma Bronchiale, adalah penyakit inflamasi kronis pada saluran pernapasan. Meskipun seringkali diasosiasikan dengan bunyi mengi saat bernapas, pemahaman mendalam mengenai kondisi ini memerlukan pemahaman terhadap istilah-istilah medis yang sering digunakan oleh para profesional kesehatan. Kondisi ini menyebabkan saluran udara menjadi bengkak, menyempit, dan menghasilkan lendir berlebih, sehingga menyulitkan proses pertukaran oksigen.
Ilustrasi: Perbandingan penyempitan lumen bronkus pada kondisi normal dan saat serangan asma.
Ketika seseorang mengalami serangan asma akut, yang secara klinis disebut Exacerbation Asma, terjadi beberapa respons biologis kompleks. Fokus utama adalah pada Inflamasi Kronis. Inflamasi ini melibatkan sel-sel imun seperti sel mast dan eosinofil yang melepaskan mediator inflamasi.
Salah satu mediator paling penting adalah Histamin dan leukotrien. Mediator ini memicu dua reaksi utama:
Diagnosis asma tidak hanya berhenti pada pengakuan gejala, tetapi juga melibatkan klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan dan kontrolnya. Dalam konteks medis, kita sering mendengar istilah Fenotipe Asma. Fenotipe merujuk pada karakteristik klinis dan biologis pasien, misalnya, Asma Eosinofilik atau Asma Non-Eosinofilik.
Untuk mengukur seberapa parah penyempitan terjadi, dokter akan menggunakan spirometri. Parameter kunci yang diukur adalah:
FEV1 (Forced Expiratory Volume in 1 Second): Volume udara maksimum yang dapat dihembuskan dalam satu detik pertama. Penurunan signifikan pada FEV1 menunjukkan obstruksi aliran udara yang signifikan. Dokter juga akan melihat rasio FEV1/FVC (Forced Vital Capacity).
Pengobatan asma dibagi menjadi dua kategori besar berdasarkan fungsi obatnya:
Obat ini bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan mencegah serangan. Agen utama dalam kategori ini adalah Inhaled Corticosteroids (ICS), yang merupakan terapi anti-inflamasi lini pertama.
Obat ini digunakan saat terjadi serangan akut untuk merelaksasi otot polos bronkus. Obat ini dikenal sebagai Short-Acting Beta Agonists (SABA), contoh paling umum adalah Salbutamol. Ketika pasien harus menggunakan SABA lebih dari dua kali seminggu, ini mengindikasikan kontrol penyakit yang buruk dan perlunya evaluasi ulang terapi pengontrol.
Memahami istilah seperti bronkokonstriksi, inflamasi kronis, dan FEV1 sangat penting bagi pasien asma dan keluarganya. Pengetahuan ini mengubah asma dari sekadar "sesak napas" menjadi kondisi medis yang dapat dikelola secara sistematis melalui terapi pengontrol dan respons cepat terhadap eksaserbasi. Manajemen asma yang efektif selalu melibatkan kolaborasi erat antara pasien dan ahli pulmonologi atau dokter umum berdasarkan pemahaman terminologi medis yang akurat.