Dalam samudra nama-nama Allah yang agung, Asmaul Husna, terdapat satu nama yang menyentuh esensi harkat dan martabat setiap makhluk: Al-Mu’izz (الْمُعِزُّ). Nama ini secara harfiah berarti Yang Maha Memuliakan atau Sang Pemberi Kehormatan. Memahami makna Al-Mu’izz bukan sekadar menghafal sebuah nama, melainkan menyelami hakikat kemuliaan sejati, sumbernya, dan cara meraihnya. Ini adalah sebuah perjalanan spiritual untuk memahami bahwa segala bentuk kemuliaan, kehormatan, kekuatan, dan status di alam semesta ini berasal dari satu sumber tunggal, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Konsep ini menantang pandangan materialistis yang seringkali mengukur kemuliaan dari jabatan, kekayaan, keturunan, atau pengakuan manusia.
Allah sebagai Al-Mu’izz adalah Dzat yang memiliki kekuasaan mutlak untuk mengangkat derajat siapa pun yang Dia kehendaki, dari keadaan paling rendah sekalipun. Sebaliknya, Dia juga Al-Mudhill, Yang Maha Menghinakan, yang mampu merendahkan siapa pun yang Dia kehendaki, bahkan dari puncak kekuasaan tertinggi. Kedua nama ini sering disebut bersamaan untuk menunjukkan kesempurnaan kuasa Allah yang tidak terbatas. Kemuliaan yang diberikan oleh Al-Mu’izz bukanlah kemuliaan yang semu, rapuh, dan sementara. Ia adalah kemuliaan hakiki yang berakar pada ketakwaan dan kedekatan dengan-Nya, sebuah kehormatan yang tidak akan lekang oleh waktu dan tidak bisa dirampas oleh makhluk lain.
Akar Makna dan Definisi Al-Mu'izz
Untuk memahami kedalaman makna Al-Mu'izz, kita perlu menelusuri akarnya dalam bahasa Arab. Nama ini berasal dari kata dasar ‘ayn-zay-zay (ع-ز-ز), yang mengandung makna kekuatan, kekokohan, kelangkaan, dan kehormatan. Dari akar kata yang sama, lahir kata 'izzah (عِزَّة), yang berarti kemuliaan, kehormatan, atau kekuatan yang membuat seseorang disegani dan tidak mudah dikalahkan. 'Izzah adalah lawan dari dzillah (ذِلَّة), yang berarti kehinaan atau kerendahan.
Ketika nama ini dinisbahkan kepada Allah, Al-Mu’izz, ia menjadi sebuah penegasan bahwa Dialah satu-satunya sumber dari segala 'izzah. Manusia mungkin bisa memberikan jabatan, pujian, atau penghargaan, tetapi semua itu hanyalah sarana atau manifestasi kecil dari kemuliaan yang sesungguhnya dianugerahkan oleh Allah. Kemuliaan dari manusia bersifat fana dan sangat bergantung pada persepsi serta kepentingan. Hari ini dipuji, esok bisa dicaci. Hari ini dihormati, lusa bisa dilupakan. Namun, kemuliaan dari Al-Mu’izz bersifat abadi dan mutlak. Ia tidak bergantung pada penilaian makhluk, melainkan pada ketetapan Sang Khaliq.
Para ulama menjelaskan bahwa kemuliaan dari Allah terbagi menjadi dua jenis. Pertama, kemuliaan umum yang diberikan kepada seluruh makhluk sebagai bagian dari ciptaan-Nya. Setiap makhluk memiliki peran dan kehormatannya masing-masing dalam ekosistem alam semesta. Kedua, kemuliaan khusus yang hanya diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Inilah kemuliaan sejati yang menjadi tujuan hidup seorang mukmin, yaitu kemuliaan di sisi Allah, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Al-Mu'izz dalam Lembaran Al-Qur'an
Al-Qur'an, sebagai firman Allah, berkali-kali menegaskan konsep bahwa kemuliaan hanya milik Allah dan Dia memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Ayat yang paling eksplisit menyebutkan sifat ini adalah dalam Surah Ali 'Imran.
"Katakanlah (Muhammad), 'Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.'" (QS. Ali 'Imran: 26)
Ayat ini adalah deklarasi tauhid yang sangat kuat. Ia mengajarkan kita untuk melepaskan segala ketergantungan pada makhluk dalam mencari kekuasaan dan kemuliaan. Kalimat "Tu’izzu man tasya’" (Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki) dan "tudzillu man tasya’" (Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki) berdiri berdampingan untuk menunjukkan absolutisme kekuasaan Allah. Tidak ada kekuatan lain di alam semesta yang dapat menghalangi kehendak-Nya. Jika Allah berkehendak memuliakan seorang hamba, seluruh penduduk bumi tidak akan mampu menghinakannya. Sebaliknya, jika Allah berkehendak menghinakan seseorang, tidak ada satu pun yang mampu menolong atau mengangkatnya.
Selain ayat tersebut, Al-Qur'an juga menegaskan di banyak tempat lain bahwa kemuliaan sejati hanya milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Dalam Surah Al-Munafiqun, Allah berfirman:
"...padahal kemuliaan itu hanyalah milik Allah, milik Rasul-Nya, dan milik orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui." (QS. Al-Munafiqun: 8)
Ayat ini memberikan peta jalan yang jelas: sumber kemuliaan adalah Allah, dan jalan untuk meraihnya adalah melalui iman dan mengikuti jejak Rasulullah SAW. Orang-orang munafik mencari kemuliaan dengan bersekutu bersama musuh-musuh Islam, berharap mendapat pengakuan dan kekuatan dari mereka. Namun, Allah menegaskan bahwa mereka mencari kemuliaan di tempat yang salah. Kemuliaan tidak akan pernah ditemukan dalam pembangkangan kepada Allah atau dalam menjalin loyalitas dengan mereka yang memusuhi-Nya.
Bentuk-Bentuk Kemuliaan dari Al-Mu'izz
Kemuliaan yang dianugerahkan oleh Al-Mu’izz memiliki banyak dimensi dan manifestasi dalam kehidupan seorang hamba. Kemuliaan ini tidak terbatas pada harta dan takhta, melainkan mencakup aspek spiritual, intelektual, dan sosial yang jauh lebih mendalam dan abadi.
1. Kemuliaan Iman dan Hidayah
Anugerah kemuliaan terbesar yang dapat diterima oleh seorang manusia adalah hidayah untuk mengenal Allah dan beriman kepada-Nya. Ini adalah kehormatan tertinggi. Di saat miliaran manusia hidup dalam kegelapan syirik atau ateisme, seorang mukmin diangkat derajatnya oleh Al-Mu’izz untuk mampu bersujud kepada-Nya, mengakui-Nya sebagai satu-satunya Tuhan. Kemuliaan ini bersifat internal, menanamkan ketenangan jiwa (sakinah) dan rasa percaya diri yang tidak tergoyahkan oleh dinamika dunia. Umar bin Khattab pernah berkata, "Dahulu kita adalah kaum yang paling hina, lalu Allah memuliakan kita dengan Islam. Maka, kapan pun kita mencari kemuliaan selain dari apa yang Allah telah muliakan kita dengannya, niscaya Allah akan menghinakan kita."
2. Kemuliaan Ilmu dan Hikmah
Allah memuliakan hamba-Nya dengan memberikan ilmu, khususnya ilmu agama yang bermanfaat. Ilmu mengangkat seseorang dari kebodohan menuju cahaya pengetahuan. Dengan ilmu, seseorang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil, antara petunjuk dan kesesatan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
"...Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al-Mujadilah: 11)
Kemuliaan melalui ilmu bukan hanya tentang pengakuan sosial sebagai seorang 'alim atau cendekiawan. Kemuliaan sejatinya terletak pada rasa takut (khasyyah) kepada Allah yang lahir dari ilmu tersebut. Semakin seseorang berilmu tentang keagungan Allah, semakin ia merasa rendah di hadapan-Nya, dan kerendahan hati di hadapan Allah inilah yang justru mengangkat derajatnya.
3. Kemuliaan Ketaatan dan Ibadah
Setiap tindakan ketaatan adalah sebuah langkah menuju kemuliaan. Ketika seorang hamba memilih untuk menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, ia sedang menempatkan dirinya di bawah naungan kemuliaan Al-Mu’izz. Shalat, puasa, zakat, dan haji bukan sekadar ritual, melainkan sarana untuk meraih 'izzah. Ibadah membersihkan jiwa dari noda dosa yang merupakan sumber kehinaan. Seseorang yang tekun beribadah akan merasakan kemuliaan dalam hatinya; ia merasa cukup dengan Allah dan tidak lagi membutuhkan pengakuan dari makhluk. Ia terbebas dari perbudakan hawa nafsu dan dunia, yang merupakan bentuk kehinaan terbesar.
4. Kemuliaan Akhlak yang Terpuji
Al-Mu’izz memuliakan hamba-Nya dengan menghiasi mereka dengan akhlak yang mulia. Sifat-sifat seperti sabar, syukur, jujur, amanah, pemaaf, dan rendah hati adalah perhiasan jiwa yang mendatangkan kehormatan sejati. Orang yang sabar saat diuji dimuliakan oleh Allah dengan pahala tanpa batas. Orang yang bersyukur saat diberi nikmat dimuliakan dengan ditambahkannya nikmat tersebut. Orang yang rendah hati karena Allah, akan diangkat derajatnya oleh Allah. Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seorang bersikap rendah hati karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat (derajat)-nya." Kemuliaan yang lahir dari akhlak mulia akan abadi dan meninggalkan kesan mendalam di hati manusia.
Meneladani Sifat Al-Mu'izz dalam Kehidupan
Meyakini bahwa Allah adalah Al-Mu’izz memiliki implikasi mendalam dalam cara kita menjalani hidup. Keyakinan ini membentuk karakter, sikap, dan pandangan hidup seorang muslim. Meneladani sifat ini bukan berarti kita bisa memberi kemuliaan seperti Allah, tetapi meniru perilaku yang dicintai oleh Sang Maha Memuliakan.
1. Mencari Kemuliaan Hanya dari Allah
Implikasi utama dari iman kepada Al-Mu’izz adalah memurnikan niat dan tujuan hidup. Kemuliaan tidak dicari dengan menjilat atasan, menipu demi jabatan, atau memamerkan kekayaan untuk mendapatkan pujian. Seorang mukmin sejati memahami bahwa semua itu adalah fatamorgana. Ia hanya mencari kemuliaan di "wajah" Allah. Setiap perbuatannya ditujukan untuk mendapatkan ridha-Nya. Ia tidak akan bersedih jika tidak dihargai oleh manusia, dan tidak akan sombong jika dipuji oleh mereka, karena standar kemuliaannya adalah penilaian Allah, bukan penilaian makhluk.
2. Tidak Merendahkan Orang Lain
Kesadaran bahwa Allah-lah yang memuliakan dan menghinakan akan melahirkan rasa hormat kepada sesama makhluk, terutama sesama muslim. Kita tidak akan pernah tahu siapa di antara manusia yang lebih mulia di sisi Allah. Boleh jadi seorang pekerja kebersihan yang ikhlas lebih mulia daripada seorang pejabat yang korup. Boleh jadi seorang miskin yang sabar lebih tinggi derajatnya daripada orang kaya yang kikir. Keyakinan ini mencegah kita dari sifat sombong, meremehkan, atau menghakimi orang lain berdasarkan penampilan luar mereka. Kita diajarkan untuk menghormati setiap individu karena kita tidak tahu rahasia hati dan kedudukannya di sisi Al-Mu'izz.
3. Menjaga Kehormatan Diri dengan Ketaatan
Cara terbaik untuk mendapatkan kemuliaan dari Al-Mu’izz adalah dengan menjaga kehormatan diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Dosa adalah sumber kehinaan. Ia mengotori jiwa, merusak reputasi, dan mendatangkan murka Allah. Seorang yang menjaga pandangannya, lisannya, dan perbuatannya dari yang haram sesungguhnya sedang membangun benteng kemuliaan di sekitar dirinya. Ia tidak akan mengorbankan kehormatan abadinya di akhirat demi kenikmatan sesaat yang menghinakan di dunia.
4. Memuliakan Orang Lain Sesuai Syariat
Sebagai cerminan dari sifat Al-Mu’izz, seorang muslim juga dianjurkan untuk memuliakan orang lain. Ini dapat diwujudkan dengan menghormati orang tua, memuliakan para ulama dan guru, menghargai tetangga, menyantuni anak yatim, dan berbuat baik kepada sesama. Memuliakan orang lain karena Allah adalah salah satu cara untuk dimuliakan oleh Allah. Rasulullah SAW adalah teladan terbaik dalam hal ini. Beliau selalu memuliakan para sahabatnya, bahkan kepada anak kecil dan orang yang lebih rendah status sosialnya sekalipun.
Kisah-Kisah Kemuliaan dari Al-Mu'izz
Sejarah Islam penuh dengan kisah-kisah nyata tentang bagaimana Al-Mu’izz mengangkat derajat hamba-hamba pilihan-Nya dari keadaan yang dianggap hina oleh manusia menjadi pribadi yang terhormat dan mulia.
Kisah Nabi Yusuf 'Alaihissalam
Kisah Nabi Yusuf adalah contoh paling dramatis tentang bagaimana Al-Mu’izz bekerja. Beliau memulai perjalanannya dari seorang anak yang dibuang ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya sendiri, dijual sebagai budak dengan harga murah, lalu difitnah dan dipenjara selama bertahun-tahun. Secara kasat mata, ini adalah puncak dari kehinaan. Namun, di tengah semua ujian itu, Nabi Yusuf tetap menjaga ketakwaannya, kesabarannya, dan imannya kepada Allah. Pada akhirnya, Al-Mu’izz mengangkatnya dari dasar penjara menjadi seorang bendahara negara Mesir yang memiliki kekuasaan dan kebijaksanaan luar biasa. Saudara-saudaranya yang dulu merendahkannya, kini datang menunduk di hadapannya memohon bantuan. Ini adalah bukti nyata dari firman-Nya: "Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki."
Kisah Bilal bin Rabah
Bilal bin Rabah adalah seorang budak dari Habasyah (Ethiopia). Di mata masyarakat Arab jahiliyah yang sangat mementingkan status dan keturunan, Bilal tidak memiliki nilai apa-apa. Namun, ketika cahaya Islam masuk ke dalam hatinya, ia memeluknya dengan teguh. Ia disiksa dengan kejam oleh tuannya, Umayyah bin Khalaf, ditindih dengan batu panas di tengah padang pasir, tetapi dari lisannya hanya keluar satu kata: "Ahad, Ahad" (Yang Maha Esa). Allah, Al-Mu’izz, melihat keteguhan imannya. Kemudian, Allah memuliakannya melalui tangan Abu Bakar Ash-Shiddiq yang memerdekakannya. Tidak berhenti di situ, Allah memberinya kehormatan yang tidak diberikan kepada bangsawan Quraisy sekalipun: menjadi muazin pertama Rasulullah SAW. Suaranya yang merdu mengumandangkan adzan dari atas Ka'bah pada hari penaklukan Mekkah, sebuah pemandangan yang menggetarkan hati dan menjadi simbol kemenangan kemuliaan iman atas kehinaan kekafiran.
Kesimpulan: Meraih Kemuliaan Hakiki
Memahami dan mengimani nama Allah, Al-Mu’izz, adalah sebuah revolusi dalam cara pandang kita terhadap kehidupan. Ia membebaskan kita dari belenggu pencarian pengakuan makhluk dan mengarahkan kita pada satu-satunya sumber kemuliaan yang abadi. Kemuliaan sejati tidak terletak pada banyaknya harta, tingginya jabatan, atau luasnya popularitas. Itu semua adalah perhiasan dunia yang bisa sirna dalam sekejap.
Kemuliaan hakiki adalah kemuliaan yang bersumber dari iman yang kokoh, ketaatan yang tulus, ilmu yang bermanfaat, dan akhlak yang terpuji. Itulah 'izzah yang dianugerahkan oleh Al-Mu’izz kepada hamba-hamba yang dicintai-Nya. Kemuliaan ini tidak akan bisa dirampas oleh siapa pun, tidak akan pudar oleh fitnah, dan akan terus bersinar bahkan setelah kita meninggalkan dunia ini. Dengan senantiasa memohon kepada Al-Mu’izz dan berusaha menapaki jalan-jalan yang Dia ridhai, semoga kita semua dianugerahi kemuliaan sejati di dunia dan di akhirat. Karena hanya di tangan-Nya-lah segala kemuliaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.