Dalam perjalanan hidup yang penuh liku, setiap insan pasti pernah berbuat salah. Dosa dan kekhilafan adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman manusia, yang datang dalam berbagai bentuk dan ukuran. Terkadang, penyesalan itu datang setelah berlalunya waktu, ketika kita merenungi setiap jejak langkah yang telah terukir. Di saat-saat seperti inilah, kalimat "Astaghfirullah" menjadi pelipur lara, pengingat akan kekuasaan Sang Pencipta, dan mercusuar harapan untuk memohon ampunan atas segala dosa yang telah diperbuat, terutama yang berkaitan dengan masa lalu.
"Astaghfirullah" adalah sebuah ungkapan dalam bahasa Arab yang memiliki makna mendalam: "Aku memohon ampunan kepada Allah." Lebih dari sekadar ucapan, ia adalah pengakuan atas kelemahan diri, kesadaran akan keterbatasan manusia, dan keyakinan pada Maha Pengampunnya Allah SWT. Ketika kita mengucapkan istighfar ini dengan tulus, hati kita tergerak untuk bertaubat dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Masa lalu, dengan segala kenangan indah dan kelamnya, seringkali menjadi sumber beban. Ada kesilapan yang disadari kini telah merugikan diri sendiri maupun orang lain. Ada keputusan yang diambil tanpa pertimbangan matang, yang kini mendatangkan penyesalan. Ada ucapan yang keluar tanpa filter, yang mungkin telah melukai hati seseorang. Ada tindakan yang dilakukan dalam kealpaan, yang kini terasa seperti duri dalam daging. Semua ini, tanpa terkecuali, adalah bagian dari masa lalu yang ingin kita perbaiki atau setidaknya dapatkan pengampunan untuknya.
"Dan orang-orang yang bertaubat dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nisa' ayat 14)
Pengucapan "Astaghfirullah" secara konsisten dan penuh penghayatan adalah langkah awal yang krusial dalam proses penyembuhan diri dari luka masa lalu. Ketika kita berulang kali memohon ampunan, kita secara sadar sedang melepaskan beban rasa bersalah dan penyesalan yang menumpuk. Ini bukan berarti melupakan kesalahan, melainkan mengakui, menerima, dan berusaha untuk bangkit dari kegagalan tersebut.
Lebih jauh lagi, istighfar yang tulus adalah bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Ini menunjukkan bahwa kita tidak berpuas diri dengan keadaan diri kita yang penuh kekurangan, melainkan terus berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan memohon ampun, kita membuka pintu rahmat dan keberkahan dari Allah. Seringkali, istighfar menjadi kunci untuk membuka jalan keluar dari kesulitan, mempermudah rezeki, dan memberikan ketenangan jiwa. Terutama bagi mereka yang merasa terbebani oleh dosa-dosa masa lalu, istighfar adalah terapi jiwa yang paling mujarab.
Proses memohon ampunan atas masa lalu bukan hanya tentang ucapan lisan, tetapi juga harus disertai dengan tindakan nyata. Setelah mengakui kesalahan, langkah selanjutnya adalah bertekad untuk tidak mengulanginya. Jika kesalahan tersebut berkaitan dengan hak orang lain, maka upaya perbaikan diri harus mencakup permintaan maaf dan penggantian kerugian jika memang memungkinkan. Menjaga lisan agar tidak kembali menyakiti, menjaga pandangan agar tidak terjerumus pada hal yang dilarang, dan menjaga perbuatan agar senantiasa berada dalam koridor kebaikan adalah bentuk aplikasi dari istighfar itu sendiri.
Masa lalu memang tidak bisa diubah, namun bagaimana kita menyikapinya adalah pilihan yang sepenuhnya ada di tangan kita. Dengan mengucapkan "Astaghfirullah" secara berkesinambungan, kita tidak hanya berharap pengampunan dari Allah, tetapi juga membebaskan diri dari belenggu penyesalan. Kita memberikan ruang bagi diri sendiri untuk belajar dari kesalahan, tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, dan melangkah maju dengan optimisme dan keyakinan yang lebih kuat. Setiap kali kalimat "Astaghfirullah" terucap dari lisan, ia adalah bisikan perubahan, janji perbaikan, dan bukti kebesaran hati seorang hamba yang menyadari kekhilafannya dan merindukan rahmat Sang Maha Pengasih.