Panduan Lengkap Contoh Asesmen Diagnostik Kelas 1 SD Kurikulum Merdeka

Memasuki jenjang Sekolah Dasar (SD), khususnya kelas 1, merupakan sebuah lompatan besar bagi anak. Setiap anak datang dengan bekal pengalaman, kemampuan, dan kondisi emosional yang sangat beragam. Ada yang sudah lancar membaca, ada yang baru mengenal beberapa huruf, ada yang sangat percaya diri, dan ada pula yang masih merasa cemas berpisah dari orang tua. Di sinilah peran krusial asesmen diagnostik dalam kerangka Kurikulum Merdeka. Asesmen ini bukanlah ujian untuk memberi label "pintar" atau "kurang", melainkan sebuah "peta" awal yang membantu guru memahami titik berangkat setiap siswa.

Artikel ini akan mengupas secara mendalam dan komprehensif mengenai contoh asesmen diagnostik kelas 1 SD Kurikulum Merdeka. Tujuannya adalah memberikan panduan praktis bagi para pendidik untuk dapat merancang dan melaksanakan asesmen yang efektif, sehingga pembelajaran yang dirancang benar-benar sesuai dengan kebutuhan unik setiap anak. Dengan asesmen diagnostik, guru tidak lagi mengajar "rata-rata", melainkan mengajar setiap individu sesuai dengan level kesiapan belajarnya.

Kognitif Non-Kognitif
Konsep Asesmen Diagnostik mencakup pemahaman aspek Kognitif (kemampuan berpikir) dan Non-Kognitif (kesejahteraan emosional).
Ilustrasi konsep Asesmen Diagnostik Kognitif dan Non-Kognitif dengan simbol bola lampu dan hati.

Memahami Esensi Asesmen Diagnostik di Awal Jenjang

Asesmen diagnostik, sesuai dengan namanya, berfungsi untuk "mendiagnosis" atau mengidentifikasi kondisi awal peserta didik. Tujuannya bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memahami. Dalam konteks Kurikulum Merdeka, asesmen ini memiliki dua pilar utama yang tidak dapat dipisahkan: Asesmen Non-Kognitif dan Asesmen Kognitif.

"Tujuan asesmen diagnostik adalah untuk mengidentifikasi kompetensi, kekuatan, dan kelemahan peserta didik. Hasilnya digunakan guru sebagai rujukan dalam merencanakan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan pembelajaran peserta didik."

1. Asesmen Diagnostik Non-Kognitif

Aspek ini seringkali menjadi yang pertama dan utama dilakukan, terutama di minggu-minggu awal sekolah. Tujuannya adalah untuk memahami kesejahteraan psikologis, kondisi sosial-emosional, gaya belajar, serta latar belakang keluarga siswa. Anak yang merasa aman, nyaman, dan bahagia akan lebih siap untuk belajar. Sebaliknya, anak yang merasa cemas atau tertekan akan sulit menyerap informasi seberapa pun bagusnya metode mengajar yang digunakan.

2. Asesmen Diagnostik Kognitif

Setelah kondisi non-kognitif siswa mulai terpeta, guru dapat melanjutkan ke asesmen kognitif. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi capaian kompetensi siswa pada materi prasyarat. Untuk kelas 1, ini berarti memetakan kemampuan dasar literasi dan numerasi yang mereka bawa dari jenjang PAUD atau dari lingkungan rumah. Apakah siswa sudah mengenal semua huruf? Apakah ia bisa membilang benda hingga 10? Informasi ini sangat vital untuk menentukan titik awal pembelajaran.

Kedua asesmen ini saling berkaitan. Siswa yang memiliki masalah non-kognitif (misalnya, kesulitan beradaptasi) mungkin akan menunjukkan performa rendah pada asesmen kognitif, meskipun sebenarnya ia memiliki potensi. Oleh karena itu, guru perlu melihat hasil keduanya secara holistik untuk mendapatkan gambaran utuh tentang setiap anak.


Contoh Praktis Pelaksanaan Asesmen Diagnostik Non-Kognitif Kelas 1 SD

Pelaksanaan asesmen non-kognitif harus dilakukan dengan cara yang menyenangkan, tidak mengintimidasi, dan membangun kedekatan antara guru dan siswa. Berikut adalah beberapa metode dan contoh instrumen yang bisa digunakan.

Aktivitas menggambar bisa menjadi jendela untuk memahami perasaan dan dunia internal siswa.
Ilustrasi seorang anak yang sedang tersenyum sambil menggambar matahari dan bukit di atas kertas.

Metode 1: Wawancara Singkat dan Personal

Gunakan pendekatan informal. Ajak siswa berbicara satu per satu di sela-sela waktu bermain atau saat kegiatan santai. Tujuannya bukan untuk menginterogasi, tetapi untuk mendengarkan. Ciptakan suasana yang nyaman agar anak mau bercerita.

Contoh Pertanyaan Pemandu:

Catat jawaban-jawaban kunci secara deskriptif pada buku catatan guru. Misalnya: "Ahmad, terlihat antusias saat bercerita tentang kucing peliharaannya, namun menunduk saat ditanya tentang teman di sekolah. Perlu observasi lebih lanjut pada interaksi sosialnya."

Metode 2: Aktivitas Menggambar dan Bercerita

Anak-anak seringkali lebih mudah mengekspresikan diri melalui gambar daripada kata-kata. Berikan mereka kertas kosong dan alat gambar, lalu berikan instruksi sederhana.

Contoh Instruksi:

Setelah selesai, ajak anak untuk menceritakan gambarnya. "Wah, gambarmu bagus sekali! Boleh ceritakan ini gambar apa?" Dari cerita mereka, guru bisa mendapatkan wawasan tentang kondisi keluarga, emosi, dan minat anak.

Metode 3: Observasi Selama Aktivitas Bermain

Waktu bermain adalah saat paling otentik untuk mengamati perilaku sosial-emosional anak. Guru dapat menyiapkan lembar observasi sederhana untuk mencatat hal-hal penting.

Contoh Lembar Observasi Sederhana:
Aspek yang Diamati Nama Siswa: [Tulis Nama] Catatan/Deskripsi Perilaku
Interaksi dengan Teman ( ) Mudah bergaul
( ) Memilih teman
( ) Cenderung menyendiri
Contoh: Bermain bersama 3 teman lain dalam permainan balok, terlihat aktif memberi ide.
Ekspresi Emosi ( ) Ceria/Antusias
( ) Tenang/Datar
( ) Cemas/Murung
Contoh: Tersenyum saat berhasil menyusun menara tinggi, namun menangis saat menaranya jatuh.
Kepatuhan pada Aturan ( ) Mengikuti instruksi
( ) Perlu diingatkan
( ) Sulit mengikuti aturan
Contoh: Langsung merapikan mainan setelah guru memberi aba-aba.
Kepercayaan Diri ( ) Berani mencoba hal baru
( ) Ragu-ragu/Perlu dorongan
( ) Menghindari tantangan
Contoh: Awalnya ragu untuk memanjat, namun setelah didorong guru akhirnya mau mencoba.

Lakukan observasi ini pada beberapa siswa setiap harinya secara bergantian selama minggu-minggu pertama, sehingga semua siswa mendapatkan perhatian.


Contoh Komprehensif Asesmen Diagnostik Kognitif Kelas 1 SD

Asesmen kognitif untuk kelas 1 harus fokus pada kemampuan fundamental yang menjadi dasar untuk pembelajaran selanjutnya, yaitu literasi dan numerasi. Pelaksanaannya harus individual, singkat, dan menggunakan media yang menarik bagi anak.

A 1
Asesmen kognitif awal berfokus pada pengenalan huruf, angka, dan konsep dasar literasi-numerasi.
Ilustrasi blok mainan dengan huruf A, angka 1, dan sebuah buku terbuka, merepresentasikan asesmen literasi dan numerasi.

Bagian 1: Asesmen Kemampuan Literasi Dasar

Gunakan kartu huruf, kartu kata, atau buku cerita sederhana. Panggil siswa satu per satu ke meja guru.

Aktivitas 1: Mengenal Huruf Abjad

Nama Siswa Huruf Vokal (a,i,u,e,o) Huruf Konsonan yang Dikenal Catatan Khusus
Budi 5/5 (Lancar) b, c, d, m, s, p, t Masih tertukar antara 'b' dan 'd'.
Citra 5/5 (Lancar) Semua konsonan (Lancar) Sudah mengenal semua huruf.
Deni 2/5 (mengenal a, i) Tidak ada Baru mengenal beberapa huruf vokal.

Aktivitas 2: Kemampuan Fonologis (Mengenal Bunyi Huruf)

Aktivitas 3: Membaca Suku Kata dan Kata Sederhana

Bagian 2: Asesmen Kemampuan Numerasi Dasar

Gunakan benda-benda konkret seperti stik es krim, kelereng, atau balok untuk membuat asesmen lebih nyata dan menyenangkan.

Aktivitas 1: Mengenal dan Membilang Angka 1-10

Aktivitas 2: Konsep Perbandingan (Lebih Banyak, Lebih Sedikit)

Aktivitas 3: Operasi Dasar Sederhana (Konteks Konkret)


Menganalisis Hasil dan Merancang Tindak Lanjut Pembelajaran

Setelah semua data terkumpul, langkah terpenting adalah menganalisisnya dan menjadikannya dasar untuk merancang pembelajaran. Inilah inti dari asesmen untuk pembelajaran (assessment for learning).

Langkah 1: Pengelompokan Berdasarkan Kebutuhan

Dari hasil asesmen kognitif, guru dapat mengelompokkan siswa ke dalam beberapa kategori fleksibel. Ingat, kelompok ini tidak permanen dan bertujuan untuk memberikan intervensi yang tepat.

Contoh Pengelompokan untuk Kemampuan Membaca Awal:
Kelompok Karakteristik Siswa Anggota Kelompok (Contoh) Fokus Intervensi
Kelompok Pengenalan Huruf Baru mengenal sebagian kecil huruf vokal dan/atau konsonan. Belum bisa membunyikan huruf. Deni, Eko Penguatan pengenalan bentuk dan bunyi semua huruf abjad melalui permainan kartu, lagu, dan plastisin.
Kelompok Suku Kata Sudah mengenal hampir semua huruf, namun masih kesulitan merangkai menjadi suku kata. Budi, Sari Latihan merangkai vokal dan konsonan menjadi suku kata (ba, bi, bu, ca, ci, cu). Menggunakan roda suku kata atau kartu pasang.
Kelompok Kata Sudah lancar membaca suku kata dan mulai bisa membaca kata-kata sederhana. Citra, Fahmi Pengayaan dengan membaca kata-kata yang lebih bervariasi dan kalimat pendek. Diberikan buku cerita bergambar sederhana.

Analisis serupa juga dilakukan untuk kemampuan numerasi dan aspek non-kognitif yang memerlukan perhatian khusus.

Langkah 2: Merancang Pembelajaran Terdiferensiasi

Pembelajaran terdiferensiasi adalah jantung dari Kurikulum Merdeka. Berdasarkan data asesmen, guru tidak memberikan tugas yang sama untuk semua siswa, melainkan menyesuaikannya dengan tingkat kesiapan mereka.

GURU A, B, C Pengenalan ba, bi, bu Suku Kata buku Membaca Kata
Guru merancang aktivitas yang berbeda untuk setiap kelompok siswa sesuai hasil asesmen diagnostik.
Ilustrasi seorang guru memberikan materi yang berbeda kepada tiga kelompok siswa dengan tingkat kemampuan yang beragam.
Contoh Penerapan dalam Satu Sesi Pembelajaran (Topik: Mengenal Huruf 'm')

Dengan cara ini, semua siswa belajar materi yang sama (huruf 'm') tetapi dengan tingkat kesulitan dan dukungan yang berbeda, sesuai dengan hasil asesmen diagnostik mereka.

Kesimpulan: Asesmen Diagnostik Sebagai Kompas Pembelajaran

Melaksanakan asesmen diagnostik di kelas 1 SD dalam Kurikulum Merdeka bukanlah sekadar tugas administratif di awal tahun ajaran. Ia adalah fondasi dari sebuah filosofi pendidikan yang menghargai keunikan setiap anak. Dengan meluangkan waktu untuk memahami kondisi non-kognitif dan memetakan kemampuan kognitif awal, guru mendapatkan kompas yang sangat akurat untuk menavigasi perjalanan belajar siswa selama satu tahun ke depan.

Asesmen ini mengubah paradigma dari "anak harus menyesuaikan diri dengan kurikulum" menjadi "kurikulum dan pembelajaran yang harus disesuaikan dengan anak". Dengan menggunakan contoh-contoh yang telah dipaparkan, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, suportif, dan efektif, di mana setiap anak dapat bertumbuh dan berkembang dari titik manapun mereka memulai, menuju potensi terbaik mereka.

🏠 Homepage