Pemusnahan arsip merupakan salah satu tahapan penting dalam siklus hidup kearsipan. Kegiatan ini dilakukan terhadap arsip yang telah habis memiliki nilai guna, baik nilai guna primer maupun nilai guna sekunder, dan tidak lagi memiliki relevansi untuk disimpan. Namun, sebelum melakukan pemusnahan, terdapat dasar hukum yang mengatur secara rinci mengenai prosedur dan ketentuan yang harus dipatuhi. Memahami dasar hukum pemusnahan arsip menjadi krusial bagi setiap lembaga, baik pemerintah maupun swasta, untuk memastikan bahwa proses ini dilakukan secara tertib, aman, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Landasan hukum paling fundamental terkait kearsipan di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Undang-undang ini memberikan kerangka kerja yang komprehensif mengenai pengelolaan arsip, termasuk penyelenggaraan kearsipan, hak dan kewajiban pengguna arsip, serta ketentuan mengenai pemusnahan arsip.
Dalam UU Kearsipan, pemusnahan arsip diatur secara eksplisit. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan arsip yang memiliki nilai guna tinggi dan berkelanjutan, serta mencegah penumpukan arsip yang tidak perlu dan memakan ruang penyimpanan. UU ini juga menekankan bahwa pemusnahan arsip harus dilakukan berdasarkan jadwal retensi arsip (JRA) yang telah ditetapkan dan disertai dengan berita acara pemusnahan.
Untuk memperjelas dan mengoperasionalkan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Kearsipan, diterbitkan peraturan pelaksana. Salah satu peraturan yang sangat relevan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. PP ini merinci lebih lanjut mengenai berbagai aspek kearsipan, termasuk prosedur pemusnahan arsip.
PP Nomor 28 Tahun 2012 mengatur mengenai:
Selain itu, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pembinaan kearsipan nasional, juga menerbitkan berbagai peraturan teknis, seperti Peraturan Kepala ANRI. Peraturan-peraturan ini seringkali berisi panduan yang lebih detail mengenai penyusunan JRA, kriteria pemusnahan, hingga standar keamanan dalam pemusnahan arsip, terutama bagi arsip vital.
Dalam konteks pemusnahan arsip, Jadwal Retensi Arsip (JRA) memegang peranan sentral. JRA adalah daftar pertelaahan arsip yang berisi jangka waktu penyimpanan atau retensi arsip yang disusun berdasarkan kriteria tertentu, yang berfungsi sebagai pedoman penyusutan arsip. JRA ini disusun oleh lembaga pencipta arsip bekerja sama dengan lembaga kearsipan sesuai dengan kewenangannya.
Setiap jenis arsip yang diciptakan oleh suatu lembaga akan memiliki periode retensi tertentu dalam JRA. Setelah periode retensi tersebut berakhir dan arsip tersebut tidak lagi memiliki nilai guna primer (administrasi, hukum, keuangan, dan operasional) serta nilai guna sekunder (penelitian, pendidikan, budaya, dan sejarah), barulah arsip tersebut dapat dipertimbangkan untuk dimusnahkan. JRA menjadi alat kontrol utama yang memastikan bahwa arsip yang dimusnahkan memang sudah memenuhi syarat untuk dimusnahkan berdasarkan peraturan.
Perlu digarisbawahi bahwa tidak semua arsip dapat dimusnahkan begitu saja. Terdapat kategori arsip vital, yaitu arsip yang keberadaannya mutlak diperlukan bagi kelangsungan operasional, perlindungan hak, dan kewajiban negara atau organisasi. Arsip vital, meskipun telah melewati masa retensi primer, biasanya tidak dimusnahkan kecuali ada kebijakan khusus dan prosedur pengamanan yang sangat ketat untuk menggantikannya. Dasar hukum pemusnahan arsip vital memiliki ketentuan yang lebih ketat lagi.
Dasar hukum pemusnahan arsip juga menekankan pentingnya aspek akuntabilitas dan keamanan. Proses pemusnahan harus terdokumentasi dengan baik melalui berita acara pemusnahan yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Tujuannya adalah untuk menghindari penyalahgunaan, memastikan bahwa arsip yang dimusnahkan benar-benar telah diverifikasi, dan memberikan bukti tertulis atas kegiatan pemusnahan yang telah dilakukan. Metode pemusnahan yang digunakan juga harus memperhatikan aspek keamanan, misalnya dengan cara dihancurkan, dibakar, atau menggunakan mesin penghancur kertas (shredder) untuk menjaga kerahasiaan isi arsip.
Memahami dan menerapkan dasar hukum pemusnahan arsip bukan hanya sekadar kewajiban, melainkan juga bagian dari praktik tata kelola yang baik (good governance). Hal ini berkontribusi pada efisiensi pengelolaan informasi, penghematan biaya dan ruang, serta menjaga kredibilitas dan akuntabilitas sebuah organisasi di mata publik dan hukum.