Ilustrasi: Suasana khidmat di Padang Arafah.
Hari di Arafah adalah momen paling krusial dan puncak dari seluruh rangkaian ibadah haji. Secara harfiah, Arafah adalah sebuah dataran luas yang terletak di pinggiran Kota Mekkah. Namun, makna spiritualnya jauh melampaui batas geografis. Di sinilah jutaan jamaah haji dari seluruh penjuru dunia berkumpul, memohon ampunan, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kehadiran di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah bukan sekadar ritual, melainkan penegasan janji setia seorang hamba kepada Penciptanya.
Rukun haji yang paling utama adalah "wukuf" (berdiam diri) di Arafah, dimulai sejak tergelincir matahari pada 9 Dzulhijjah hingga terbit fajar hari berikutnya (10 Dzulhijjah). Rasulullah Muhammad SAW bersabda, "Haji itu adalah Arafah." Hadis ini menunjukkan betapa pentingnya waktu dan tempat ini. Tanpa wukuf di Arafah, hajinya dianggap tidak sah. Ini adalah hari di mana pintu rahmat Allah terbuka seluas-luasnya, dan kesempatan emas untuk meraih ampunan dosa yang telah lalu.
Suasana di Arafah terasa sangat berbeda. Tidak ada hiruk pikuk duniawi, yang ada hanyalah suara lirih doa, tangisan penyesalan, dan pengagungan nama Allah. Jutaan manusia, tanpa memandang status sosial, warna kulit, atau asal negara, berdiri sejajar, mengenakan pakaian ihram yang putih bersih, melambangkan kesucian dan kesetaraan di hadapan Tuhan. Perbedaan lenyap, hanya menyisakan pengakuan kolektif bahwa mereka semua adalah hamba yang membutuhkan belas kasihan-Nya.
Waktu yang dihabiskan di Arafah diisi dengan shalat, dzikir, membaca Al-Qur'an, dan tentu saja, berdoa (tawakkal). Dikatakan bahwa doa pada hari Arafah memiliki kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah SWT. Ini adalah hari di mana hati diuji keikhlasannya. Jamaah diingatkan untuk benar-benar membersihkan jiwa dari hasad, iri hati, dan segala penyakit hati lainnya, agar doa yang dipanjatkan benar-benar menyentuh sanubari langit.
Para ulama sering menafsirkan Arafah sebagai manifestasi dari Padang Mahsyar, hari kiamat di mana semua manusia dikumpulkan untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya. Dengan merasakan atmosfer pengampunan dan ketakutan yang bercampur aduk di Arafah, seorang muslim diingatkan akan tujuan akhir kehidupannya. Jika di hari wukuf ini dosa diampuni, maka seorang jamaah pulang layaknya bayi baru lahir. Keutamaan ini membuat banyak umat Islam, bahkan yang tidak sedang menunaikan haji, ikut berpuasa sunnah pada tanggal 9 Dzulhijjah (hari Arafah) sebagai bentuk partisipasi spiritual.
Perjalanan menuju Arafah sendiri merupakan bagian integral dari ibadah. Setelah menghabiskan malam di Muzdalifah, jamaah bergerak pagi hari menuju Arafah. Proses ini mengajarkan tentang keteguhan hati dan kesabaran dalam mengikuti sunnah Nabi. Ketika matahari mulai terbenam di ufuk barat Arafah, menandakan berakhirnya waktu wukuf, suasana berubah menjadi harapan besar. Setelah Maghrib, jamaah mulai bergerak perlahan menuju Mina, melalui Muzdalifah lagi, untuk melanjutkan ritual lontar jumrah keesokan harinya.
Setiap langkah yang diambil, setiap tetes keringat yang jatuh di Arafah, diyakini menjadi penebus dosa. Pengalaman berada di lokasi bersejarah ini, tempat Nabi Ibrahim menerima petunjuk, dan tempat Nabi Muhammad SAW menyampaikan khutbah perpisahan yang agung, memberikan dimensi historis dan spiritual yang mendalam. Hari Arafah adalah puncak kepasrahan total, pengakuan bahwa tiada daya dan upaya kecuali dari Allah SWT.
Setelah kembali ke tanah air, pelajaran yang didapat dari hari di Arafah harus terus dijaga. Kemurnian hati, kesetaraan di hadapan sesama, dan semangat bermunajat yang tinggi seharusnya tidak hilang terbawa angin Mekkah. Arafah mengajarkan bahwa hakikat ibadah adalah ketulusan dan pengharapan akan rahmat Ilahi, yang mana hal tersebut harus diterapkan dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari, bukan hanya di tanah suci. Wukuf di Arafah adalah pengingat abadi akan pentingnya taubat nasuha.