Menguak Makna Dzalika (ذَٰلِكَ): Lebih dari Sekadar 'Itu'
Dalam samudra luas bahasa Arab, setiap kata adalah permata dengan faset yang tak terhitung jumlahnya. Satu kata dapat menyimpan kedalaman makna yang berlapis-lapis, yang hanya akan terungkap melalui perenungan dan pemahaman konteks yang cermat. Di antara kata-kata yang paling sering dijumpai, terutama dalam kitab suci Al-Quran, adalah Dzalika (ذَٰلِكَ). Terjemahan paling umum dan sederhana untuk kata ini adalah 'itu'. Namun, menyamakan dzalika hanya dengan 'itu' sama seperti menganggap gunung es hanya sebatas puncaknya yang terlihat di permukaan. Makna yang terkandung di dalamnya jauh lebih agung, lebih dalam, dan lebih transformatif. Artikel ini akan membawa kita menyelami kedalaman makna dzalika, dari struktur linguistiknya hingga implikasi teologis dan spiritualnya yang profound.
Kata ini seringkali menjadi gerbang pembuka bagi ayat-ayat yang monumental. Ia bukan sekadar kata penunjuk biasa; ia adalah sebuah alat retoris yang digunakan untuk membangun suasana, menegaskan keagungan, menciptakan jarak penghormatan, dan mengarahkan perhatian pembaca dari hal-hal yang dekat dan duniawi menuju sesuatu yang jauh, luhur, dan abadi. Memahami dzalika artinya memahami cara pandang yang ditawarkan Al-Quran dalam melihat realitas. Ini adalah undangan untuk mengangkat pandangan kita, melampaui apa yang bisa dijangkau oleh tangan, menuju kebenaran yang hanya bisa diraih oleh hati yang tunduk dan akal yang merenung.
Analisis Linguistik dan Gramatikal: Membedah Struktur Dzalika
Untuk benar-benar menghargai kekayaan makna sebuah kata, kita harus terlebih dahulu memahaminya dari akarnya. Dalam tata bahasa Arab, dzalika dikategorikan sebagai ism isyarah lil ba'id, atau kata penunjuk untuk sesuatu yang jauh. Struktur katanya sendiri merupakan gabungan dari tiga elemen yang masing-masing memiliki fungsi spesifik.
Akar Kata dan Komponen Pembentuk
Secara morfologis, kata ذَٰلِكَ (dzalika) dapat dipecah menjadi tiga bagian:
- Dza (ذَا): Ini adalah inti dari kata penunjuk. Dza sendiri pada dasarnya berarti 'ini' atau 'itu', berfungsi sebagai penunjuk dasar.
- Li (لِ): Partikel ini dikenal sebagai lam al-bu'd, atau huruf 'lam' yang menunjukkan jarak (bu'd artinya jauh). Penambahan partikel 'li' inilah yang secara eksplisit mengubah penunjuk dari sesuatu yang dekat menjadi sesuatu yang jauh. Ini adalah komponen kunci yang memberikan dimensi kedalaman pada dzalika.
- Ka (كَ): Partikel ini adalah kaf al-khitab, atau huruf 'kaf' yang berfungsi sebagai kata ganti orang kedua ('kamu' atau 'engkau'). Kehadiran 'ka' menciptakan hubungan langsung dengan lawan bicara. Jadi, ketika Allah berfirman dengan menggunakan dzalika, secara linguistik ada penegasan bahwa pesan ini ditujukan langsung kepadamu, wahai pendengar. Ini membuat pesan terasa personal dan mendesak, meskipun menunjuk pada sesuatu yang agung dan jauh.
Gabungan ketiga elemen ini menciptakan sebuah kata penunjuk yang luar biasa kuat. Ia tidak hanya menunjuk pada sebuah objek, tetapi juga secara bersamaan mendefinisikan hubungan spasial, status, dan personal antara pembicara, pendengar, dan objek yang ditunjuk. Ini adalah sebuah keajaiban efisiensi linguistik yang sarat makna.
Perbandingan Esensial: Dzalika (Itu) vs. Hadza (Ini)
Pemahaman tentang dzalika menjadi lebih tajam ketika kita membandingkannya dengan pasangannya, Hadza (هَٰذَا), yang berarti 'ini'. Jika hadza menunjuk pada sesuatu yang dekat, dapat dijangkau, dan berada dalam ruang dan waktu yang sama dengan pembicara, maka dzalika melakukan sebaliknya. Namun, konsep 'jarak' yang diciptakan oleh dzalika tidak terbatas pada dimensi fisik semata. Jarak ini bisa berwujud dalam beberapa bentuk:
- Jarak Fisik (Al-Bu'd al-Hissi): Ini adalah penggunaan yang paling dasar. Misalnya, menunjuk sebuah gunung di kejauhan dan berkata, "Dzalikal jabal" (Itu gunung).
- Jarak Waktu (Al-Bu'd al-Zamani): Dzalika dapat digunakan untuk menunjuk pada peristiwa di masa lalu yang jauh atau masa depan yang belum tiba. Contohnya dalam Al-Quran, "Dzalikal yaumul haqq" (Itulah hari yang benar), merujuk pada Hari Kiamat yang secara waktu masih di masa depan.
- Jarak Status dan Kedudukan (Al-Bu'd al-Manzilawi): Inilah penggunaan yang paling signifikan dan mendalam dalam Al-Quran. Ketika sesuatu ditunjuk dengan dzalika, seringkali tujuannya adalah untuk menunjukkan betapa tinggi, agung, mulia, dan luhur kedudukannya. Objek tersebut berada pada tingkatan yang 'jauh' di atas hal-hal biasa. Ia terpisah dari jangkauan pemahaman manusia yang terbatas, meskipun teksnya ada di hadapan kita. Jarak di sini adalah jarak penghormatan dan pengagungan.
Perbedaan ini sangat krusial. Ketika Al-Quran menggunakan hadza, ia seringkali merujuk pada hal-hal duniawi, perumpamaan yang konkret, atau realitas yang langsung dialami manusia. Sebaliknya, ketika ia beralih ke dzalika, itu adalah sinyal bagi pembaca untuk beralih mode, untuk bersiap menerima sesuatu yang berasal dari sumber yang Maha Tinggi, yang memiliki bobot kebenaran abadi, dan yang martabatnya tak tertandingi.
Makna Dzalika dalam Konteks Agung Al-Quran
Penggunaan dzalika dalam Al-Quran adalah sebuah fenomena retoris yang menakjubkan. Kata ini menjadi kunci untuk membuka pemahaman tentang bagaimana Allah SWT mempresentasikan firman-Nya, janji-janji-Nya, dan ancaman-Nya kepada manusia.
Studi Kasus Monumental: "Dzalika Al-Kitab" di Awal Surat Al-Baqarah
Tidak ada contoh yang lebih ikonik mengenai penggunaan dzalika selain pada ayat kedua dari Surat Al-Baqarah:
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ "Itulah Kitab (Al-Quran) yang tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 2)
Secara nalar sederhana, kita mungkin bertanya: Mengapa menggunakan 'Itu' (Dzalika) untuk menunjuk pada Al-Quran yang secara fisik berada di hadapan kita atau sedang kita baca? Bukankah seharusnya menggunakan 'Ini' (Hadza)? Para ulama tafsir telah memberikan penjelasan mendalam mengenai pilihan kata yang jenius ini, yang membuka beberapa lapisan makna:
- Penegasan Keagungan dan Ketinggian Martabat: Penggunaan dzalika adalah untuk mengangkat status Al-Quran jauh di atas segala tulisan dan ciptaan manusia. Seolah-olah dikatakan, "Kitab yang sedang engkau baca ini, sumbernya, hakikatnya, dan kedudukannya berada di tempat yang sangat tinggi dan mulia, jauh dari jangkauanmu." Jarak yang diciptakan di sini adalah jarak penghormatan (li al-ta'zhim). Ini secara instan menanamkan rasa takzim dalam diri pembaca, mengingatkan mereka bahwa mereka sedang berinteraksi dengan firman dari Dzat Yang Maha Tinggi.
- Isyarat kepada Sumber yang Gaib (Lauh al-Mahfuz): Beberapa mufasir berpendapat bahwa dzalika tidak menunjuk pada mushaf fisik, melainkan pada prototipe Al-Quran yang tersimpan di Lauh al-Mahfuz (Kitab yang Terpelihara) di sisi Allah. "Itu" adalah Al-Quran dalam esensinya yang murni dan sempurna, yang darinya wahyu ini diturunkan. Ini menghubungkan ayat yang dibaca di dunia dengan sumber aslinya yang abadi dan terjaga, memberikan bobot dan kesakralan yang luar biasa.
- Pemenuhan Janji dalam Kitab-Kitab Terdahulu: Tafsiran lain menyebutkan bahwa dzalika merujuk pada kitab yang telah dijanjikan kedatangannya dalam kitab-kitab suci sebelumnya, seperti Taurat dan Injil. Seolah-olah Allah berfirman, "Itulah kitab yang dahulu telah Aku janjikan kepada kalian melalui para nabi sebelum Muhammad." Ini memberikan konteks historis dan kontinuitas risalah kenabian, menegaskan bahwa Al-Quran bukanlah sesuatu yang baru muncul tanpa dasar, melainkan puncak dari wahyu ilahi.
- Menghilangkan Keraguan Sejak Awal: Penggunaan kata penunjuk yang tegas seperti dzalika, yang menunjuk pada sesuatu yang agung dan pasti, berfungsi untuk mematahkan keraguan sejak kalimat pertama. "Itulah Kitab itu," sebuah pernyataan definitif yang tidak menyisakan ruang untuk spekulasi. Kemudian dilanjutkan dengan frasa "la raiba fih" (tidak ada keraguan di dalamnya), yang semakin memperkuat kepastian absolut dari Al-Quran.
Dzalika sebagai Penunjuk pada Realitas Gaib dan Hari Akhir
Al-Quran secara konsisten menggunakan dzalika untuk merujuk pada hal-hal yang berada di luar persepsi indrawi manusia, seperti surga, neraka, dan Hari Kiamat. Pilihan kata ini sangat tepat karena realitas-realitas tersebut memang 'jauh' dari pengalaman kita saat ini, baik dari segi waktu maupun hakikatnya.
Contohnya dalam Surat An-Naba':
ذَٰلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ "Itulah hari yang benar (pasti terjadi)..." (QS. An-Naba': 39)
Penggunaan dzalika di sini menekankan beberapa hal. Pertama, meskipun Hari Kiamat terasa jauh secara temporal, kepastiannya adalah sebuah kebenaran mutlak (al-haqq). Kedua, keagungan dan kengerian hari tersebut berada 'jauh' di luar imajinasi manusia. Kata 'itu' menciptakan jarak yang membuat kita merenungkan betapa dahsyatnya peristiwa tersebut, yang tidak dapat dibandingkan dengan peristiwa duniawi manapun.
Demikian pula ketika Al-Quran menggambarkan balasan bagi orang-orang beriman atau orang-orang kafir. Seringkali setelah deskripsi surga yang indah, Allah menutupnya dengan firman seperti "Dzalikal fauzul 'azhim" (Itulah kemenangan yang agung). Kata dzalika mengangkat konsep 'kemenangan' ke tingkat yang transendental, jauh melampaui kemenangan-kemenangan kecil yang kita kenal di dunia. Sebaliknya, ketika menggambarkan hukuman, penggunaan dzalika juga memberikan efek psikologis yang kuat, menunjukkan betapa 'jauh' dan mengerikannya penderitaan tersebut dari apa pun yang pernah kita rasakan.
Dzalika sebagai Penegas Hukum dan Ketetapan Final
Fungsi lain dari dzalika adalah sebagai penutup yang memberikan stempel finalitas dan otoritas pada sebuah hukum atau perintah Allah. Setelah menjelaskan serangkaian aturan, Al-Quran seringkali menyimpulkannya dengan frasa yang dimulai dengan dzalika atau bentuk jamaknya, dzalikum.
ذَٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ "...Itulah hukum Allah, yang ditetapkan-Nya di antara kamu..." (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Dalam konteks ini, dzalikum berfungsi untuk memisahkan dengan tegas antara hukum Ilahi dengan hukum buatan manusia. "Itulah" hukum yang sejati, yang sempurna, yang adil, yang kedudukannya 'jauh' di atas segala sistem hukum yang bisa dirancang oleh akal manusia yang terbatas. Penggunaannya memberikan bobot finalitas yang tidak bisa ditawar. Ia seolah berkata, "Inilah ketetapan-Nya, maka terimalah dan patuhilah, karena ia berasal dari sumber yang Maha Tinggi dan Maha Bijaksana." Ini menuntut kepatuhan total dari seorang hamba, bukan karena paksaan, tetapi karena pengakuan akan superioritas dan keagungan sumber hukum tersebut.
Dimensi Psikologis dan Spiritual dari Pemahaman Dzalika
Memahami kedalaman makna dzalika bukan hanya latihan intelektual dalam bidang linguistik atau tafsir. Pemahaman ini memiliki dampak langsung pada kondisi psikologis dan spiritual seorang Muslim saat berinteraksi dengan Al-Quran dan dalam memandang kehidupannya secara keseluruhan.
Mengarahkan Fokus dari yang Dekat (Dunia) ke yang Jauh (Akhirat)
Secara fitrah, manusia cenderung terpaku pada apa yang ada di hadapannya—dunia yang dekat, yang bisa dilihat, dirasa, dan dinikmati (hadza). Kesenangan, kekayaan, status sosial, dan tantangan hidup sehari-hari adalah realitas 'ini' yang menyita perhatian kita. Al-Quran, melalui penggunaan strategis dzalika, secara konstan menarik kesadaran kita menjauh dari kefanaan dunia menuju realitas abadi yang 'itu'—akhirat.
Setiap kali kita membaca dzalika yang merujuk pada janji surga atau ancaman neraka, kita diajak untuk melakukan perjalanan mental. Kita diminta untuk berhenti sejenak dari kesibukan dunia (hadza) dan merenungkan tujuan akhir perjalanan kita (dzalika). Ini adalah latihan spiritual yang membantu kita menata ulang prioritas. Apakah kita akan mengorbankan "itu" yang abadi dan agung demi "ini" yang sementara dan remeh? Pemahaman ini membentuk sebuah paradigma, sebuah cara pandang di mana keputusan-keputusan kecil sehari-hari selalu ditimbang dengan neraca akhirat yang 'jauh' namun pasti.
Menanamkan Rasa Takzim (Pengagungan) dan Kerendahan Hati
Seperti yang telah dibahas, salah satu fungsi utama dzalika adalah untuk menunjukkan keagungan (li al-ta'zhim). Ketika kita membaca "Dzalika Al-Kitab", hati kita secara otomatis terdorong untuk merasakan kebesaran firman Allah. Kita menyadari bahwa kita sedang berhadapan dengan sesuatu yang suci, luhur, dan transenden. Perasaan ini melahirkan kerendahan hati. Kita sadar akan keterbatasan akal dan kecilnya diri kita di hadapan keagungan wahyu Ilahi.
Sikap takzim ini adalah kunci untuk menerima petunjuk. Seseorang yang mendekati Al-Quran dengan kesombongan, merasa dirinya setara atau bahkan lebih superior dari teks, tidak akan pernah mendapatkan hidayah. Namun, seseorang yang hatinya dipenuhi rasa takzim, yang diciptakan oleh pemahaman akan keagungan yang diisyaratkan oleh dzalika, akan membuka dirinya untuk menerima cahaya petunjuk. Inilah mengapa ayat tersebut berlanjut dengan "hudan lil muttaqin" (petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa), karena takwa lahir dari rasa takzim dan pengagungan kepada Allah dan firman-Nya.
Dzalika sebagai Motivasi dan Peringatan yang Abadi
Sebagai alat retoris, dzalika juga berfungsi ganda sebagai motivator dan pemberi peringatan. Ketika Allah menggambarkan surga dan menutupnya dengan "Dzalika huwa al-fawzul 'adhim" (Itulah kemenangan yang besar), kalimat tersebut menjadi sumber motivasi yang luar biasa. "Kemenangan" yang ditunjuk itu begitu luhur dan mulia sehingga setiap kesulitan, setiap pengorbanan, dan setiap perjuangan di dunia ini terasa ringan dan sepadan untuk meraihnya. Kata 'itu' membuatnya menjadi tujuan akhir yang layak diperjuangkan dengan segenap jiwa.
Di sisi lain, ketika dzalika digunakan untuk menunjuk pada azab dan hukuman, ia menjadi peringatan yang menusuk kalbu. "Itu" adalah konsekuensi yang mengerikan dan berada pada tingkat penderitaan yang tak terbayangkan. Jarak yang diciptakan oleh dzalika dalam konteks ini bukanlah jarak yang menenangkan, melainkan jarak yang menakutkan, mendorong kita untuk menjauh sejauh mungkin dari perbuatan-perbuatan yang akan mengantarkan kita ke sana. Dengan demikian, dzalika menjadi kompas moral yang kuat, menarik kita ke arah kebaikan dan mendorong kita menjauhi keburukan.
Kesimpulan: Dzalika sebagai Kunci Pembuka Wawasan
Dari sebuah kata sederhana yang biasa diterjemahkan sebagai 'itu', kita telah menemukan sebuah lautan makna yang dalam. Dzalika (ذَٰلِكَ) bukanlah sekadar kata penunjuk biasa. Ia adalah sebuah lensa teologis, sebuah alat retoris, dan sebuah kunci pembuka wawasan yang memungkinkan kita untuk melihat realitas sebagaimana Al-Quran ingin kita melihatnya.
Melalui dzalika, kita belajar untuk membedakan antara yang dekat dan yang jauh, yang sementara dan yang abadi, yang rendah dan yang luhur. Kita diajarkan untuk menanamkan rasa takzim dan pengagungan terhadap firman Allah, hukum-hukum-Nya, dan janji-janji-Nya. Kita diingatkan bahwa di balik realitas duniawi yang kita jalani (hadza), terdapat sebuah realitas akhir yang lebih besar, lebih benar, dan lebih pantas menjadi tujuan hidup kita (dzalika).
Maka, setiap kali kita membaca Al-Quran dan bertemu dengan kata dzalika, marilah kita berhenti sejenak. Jangan hanya membacanya sebagai 'itu'. Rasakanlah getaran keagungan yang dikandungnya. Tanyakan pada diri kita: Apa yang sedang ditunjuk? Mengapa ia digambarkan sebagai sesuatu yang 'jauh'? Jarak macam apa yang dimaksud—jarak waktu, jarak fisik, ataukah jarak kemuliaan? Dengan perenungan semacam ini, interaksi kita dengan Al-Quran akan menjadi lebih hidup, lebih dalam, dan lebih transformatif. Kita tidak lagi hanya membaca teks, tetapi kita sedang diajak dalam sebuah dialog yang mengangkat jiwa kita dari bumi menuju cakrawala langit yang tak terbatas.