Arisan, sebuah kegiatan sosial dan finansial yang sangat populer di Indonesia, melibatkan pengumpulan uang secara berkala dari sekelompok orang, di mana setiap anggota akan mendapatkan giliran menerima seluruh jumlah uang yang terkumpul pada periode tertentu. Kegiatan ini bertujuan membantu anggota mencapai kebutuhan finansial tertentu, seperti membeli perabot rumah tangga, biaya pendidikan, atau keperluan mendesak lainnya.
Namun, karena melibatkan aspek finansial, muncul pertanyaan mendasar: Bagaimana pandangan Islam atau fiqih arisan terhadap praktik ini? Memahami hukum dan etika dalam arisan sangat penting agar kegiatan tersebut terhindar dari unsur-unsur yang dilarang syariat, terutama yang berkaitan dengan riba atau judi.
Apa Itu Arisan dalam Perspektif Fiqih?
Secara istilah fiqih, arisan sering dikategorikan sebagai bentuk ta’awun (tolong-menolong) atau qardh (pinjaman) yang bersifat kolektif. Fiqih Islam sangat menganjurkan tolong-menolong dalam kebaikan. Selama mekanisme arisan tidak mengandung unsur yang diharamkan, maka hukum asalnya adalah mubah (boleh).
Terdapat dua pandangan utama dalam fiqih kontemporer mengenai arisan. Mayoritas ulama kontemporer, termasuk yang terafiliasi dengan lembaga fatwa di Indonesia, cenderung membolehkan arisan dengan syarat-syarat ketat. Keberbolehannya didasarkan pada tiga akad utama yang mungkin terlibat:
- Ujrah (Upah): Jika ada biaya administrasi yang jelas.
- Qardh (Pinjaman): Anggota yang menerima uang di awal dianggap meminjamkan kepada anggota yang belum menerima.
- Syirkah (Persekutuan): Kepemilikan uang terkumpul adalah milik bersama hingga dibagikan.
Batasan dan Syarat Agar Arisan Halal
Agar arisan terhindar dari unsur haram, terutama riba (bunga atau tambahan nilai yang disyaratkan) dan qimar (judi), beberapa syarat harus dipenuhi:
1. Larangan Riba
Riba adalah penambahan nilai dari pokok utang yang disyaratkan di awal. Dalam arisan murni, jumlah yang dibayarkan setiap periode harus sama dengan jumlah yang diterima saat mendapatkan giliran. Jika ada anggota yang wajib membayar lebih besar dari yang ia terima, maka kelebihan tersebut berpotensi menjadi riba.
Contoh: Jika iuran Rp100.000, maka saat mendapatkan giliran, anggota tersebut harus menerima utuh Rp100.000 dikali jumlah peserta. Keharusan membayar lebih mahal untuk mendapatkan giliran lebih awal adalah riba nasi’ah (riba karena penundaan).
2. Larangan Judi (Qimar)
Judi adalah pertaruhan dengan menggunakan uang di mana hasil akhirnya bergantung pada untung-untungan. Arisan yang menggunakan sistem undian (acak) untuk menentukan siapa yang berhak menerima uang terlebih dahulu umumnya dianggap tidak masuk kategori judi, karena semua anggota dipastikan akan menerima haknya, hanya masalah waktu saja.
Namun, jika uang yang dikumpulkan digunakan sebagai ‘hadiah’ bagi yang menang undian, dan bagi yang kalah tidak mendapatkan apa-apa (selain uangnya kembali), maka ini mendekati praktik judi dan haram.
3. Kejelasan Akad (Kesepakatan)
Sangat penting bagi seluruh anggota arisan untuk menyepakati aturan main di awal secara jelas. Misalnya, bagaimana jika ada yang menunggak pembayaran? Apa konsekuensinya jika anggota mengundurkan diri di tengah jalan? Ketidakjelasan akad dapat menimbulkan sengketa dan kezaliman.
Hukum Pengambilan Uang di Awal (Mendahului)
Ini adalah isu paling sensitif dalam fiqih arisan. Seseorang yang ingin mengambil uang di awal seringkali harus membayar 'sogokan' atau 'uang jasa' kepada anggota lain. Dalam fiqih, hal ini dikategorikan sebagai:
- Jual Beli Hak Giliran: Jika yang mengambil uang di awal membayar sejumlah uang tambahan kepada anggota lain sebagai kompensasi atas hak giliran yang ia ambil, ini hukumnya perselisihan ulama. Mayoritas melarang jika uang tambahan tersebut bersifat wajib.
- Qardh dengan Imbalan: Jika uang tambahan tersebut bukan dari peserta arisan, melainkan dari kas luar dan disepakati sebagai biaya administrasi, maka diperbolehkan selama jelas jumlahnya dan tidak melebihi biaya riil pengelolaan.
Intinya, setiap kelebihan uang yang diterima oleh penerima manfaat harus dapat dipertanggungjawabkan secara syar'i, bukan semata-mata karena ‘memotong’ hak peserta lain.
Kesimpulan Fiqih Arisan
Arisan pada dasarnya adalah sebuah praktik sosial yang diperbolehkan dalam Islam, asalkan dilakukan dengan prinsip keadilan dan transparansi. Fiqih arisan menekankan bahwa kegiatan ini harus terbebas dari unsur riba dan qimar.
Jika arisan hanya sebatas kesepakatan tolong-menolong mengumpulkan dana tanpa ada syarat penambahan nilai (bunga) bagi yang mendapat giliran lebih dulu, maka arisan tersebut sah dan berkah. Selalu utamakan kejujuran dan pastikan semua pihak memahami dan menyetujui syarat dan ketentuan arisan sebelum bergabung. Dengan demikian, arisan dapat menjadi sarana mempererat silaturahmi sekaligus solusi finansial yang diridai Allah SWT.