Membedah Makna dan Kaidah "Hadzihi"

Kaligrafi Arab untuk kata Hadzihi هَٰذِهِ

Dalam perjalanan mempelajari bahasa Arab, entah untuk memahami Al-Quran, mendalami hadits, atau sekadar untuk percakapan sehari-hari, kita akan selalu bersinggungan dengan kata-kata dasar yang menjadi fondasi. Salah satu kata yang paling fundamental dan sering muncul adalah هَذِهِ (Hadzihi). Mungkin Anda sering mendengarnya dan secara intuitif mengartikannya sebagai "ini". Namun, pemahaman tersebut baru menyentuh permukaan. Mengapa terkadang kita menggunakan هَذَا (Hadza) dan di lain waktu menggunakan هَذِهِ (Hadzihi)? Apa rahasia di balik perbedaan sederhana ini?

Artikel ini akan membawa Anda menyelami lebih dalam tentang hadzihi artinya apa, bagaimana kaidahnya, dan kapan harus menggunakannya. Kita akan mengupas tuntas konsep yang melatarbelakanginya, yaitu pembagian gender gramatikal dalam bahasa Arab. Dengan pemahaman yang kokoh tentang "hadzihi", Anda tidak hanya menghafal satu kosakata, tetapi membuka pintu untuk memahami struktur kalimat bahasa Arab yang lebih kompleks dan logis. Mari kita mulai perjalanan ini untuk membedah makna dan kaidah di balik kata tunjuk yang sederhana namun sangat penting ini.

1. Definisi Mendasar: Apa Sebenarnya Arti Hadzihi?

Secara harfiah dan paling sederhana, هَذِهِ (Hadzihi) artinya adalah "ini". Kata ini termasuk dalam kategori Isim Isyarah (اِسْمُ الْإِشَارَةِ), yang dalam bahasa Indonesia kita kenal sebagai kata tunjuk. Fungsinya adalah untuk menunjuk sesuatu yang jaraknya dekat dengan si pembicara (lil qarib).

Namun, keunikan bahasa Arab terletak pada adanya gender gramatikal. Setiap kata benda (isim) diklasifikasikan sebagai maskulin (muzakkar) atau feminin (muannats). Di sinilah letak perbedaan krusial antara "hadza" dan "hadzihi".

Jadi, kunci untuk menggunakan "hadzihi" dengan benar adalah kemampuan untuk mengidentifikasi apakah sebuah kata benda bersifat feminin (muannats) atau tidak.

Contoh Sederhana Penggunaan Hadzihi

Perhatikan contoh-contoh berikut untuk mendapatkan gambaran awal:

هَذِهِ مَدْرَسَةٌ Hadzihi madrosatun. (Ini adalah sebuah sekolah).

هَذِهِ سَيَّارَةٌ Hadzihi sayyaarotun. (Ini adalah sebuah mobil).

هَذِهِ فَاطِمَةُ Hadzihi Faathimatun. (Ini adalah Fatimah).

Dalam contoh di atas, kata مَدْرَسَةٌ (sekolah), سَيَّارَةٌ (mobil), dan فَاطِمَةُ (Fatimah) adalah kata-kata yang dianggap feminin dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, kata tunjuk yang digunakan adalah "hadzihi".

Perbandingan dengan Hadza (Maskulin)

Untuk memperjelas kontrasnya, mari kita bandingkan dengan penggunaan "hadza" yang menunjuk pada kata benda maskulin.

هَذَا كِتَابٌ Hadza kitaabun. (Ini adalah sebuah buku).

هَذَا قَلَمٌ Hadza qolamun. (Ini adalah sebuah pulpen).

هَذَا مُحَمَّدٌ Hadza Muhammadun. (Ini adalah Muhammad).

Kata كِتَابٌ (buku), قَلَمٌ (pulpen), dan مُحَمَّدٌ (Muhammad) adalah kata benda maskulin. Sangat jelas perbedaannya, bukan? Dengan demikian, langkah selanjutnya dan yang paling fundamental adalah memahami apa yang membuat sebuah kata benda dianggap feminin atau muannats.

2. Kunci Utama: Memahami Konsep Muannats (Feminin)

Untuk menguasai penggunaan "hadzihi", kita wajib menyelami konsep muannats (مُؤَنَّث). Tidak seperti dalam bahasa Indonesia, di mana gender hanya melekat pada makhluk hidup, dalam bahasa Arab, semua kata benda, baik hidup maupun mati, memiliki gender gramatikal. Secara umum, isim muannats dapat diidentifikasi melalui beberapa ciri atau dikelompokkan berdasarkan konvensi (pendengaran dari orang Arab).

A. Muannats dengan Tanda yang Jelas (Lafzhi)

Ini adalah cara termudah untuk mengidentifikasi kata benda feminin, yaitu dengan melihat tanda fisik pada akhir katanya. Ada tiga tanda utama:

1. Ta' Marbuthah (ة / ـة)

Ini adalah tanda feminin yang paling umum dan paling sering ditemui. Hampir semua kata benda yang diakhiri dengan huruf ta' marbuthah (ta yang diikat) adalah muannats.

Berikut adalah banyak contoh penggunaannya dalam kalimat sederhana agar Anda terbiasa:

2. Alif Ta'nits Maqshurah (ى)

Tanda ini berupa huruf alif layyinah atau alif bengkok di akhir kata. Kata-kata yang diakhiri dengan tanda ini juga dianggap feminin. Tanda ini lebih jarang dibandingkan ta' marbuthah.

Contohnya antara lain:

3. Alif Ta'nits Mamdudah (اء)

Tanda ini berupa huruf alif yang diikuti oleh hamzah di akhir kata. Kata benda yang memiliki akhiran ini juga tergolong muannats.

Contohnya antara lain:

B. Muannats Tanpa Tanda (Majazi / Sama'i)

Inilah bagian yang terkadang sedikit menantang. Ada sekelompok kata benda yang dianggap feminin bukan karena memiliki tanda fisik, melainkan karena konvensi atau kebiasaan penutur asli bahasa Arab. Kategori ini disebut muannats majazi (kiasan) atau sama'i (didengar). Kita mempelajarinya melalui hafalan dan pembiasaan.

Beberapa kategori utamanya adalah:

1. Nama-nama untuk Perempuan

Semua nama yang secara alami merujuk pada perempuan adalah muannats, terlepas dari apakah ia memiliki tanda feminin atau tidak.

2. Anggota Tubuh yang Berpasangan

Kaidah yang sangat membantu adalah bahwa sebagian besar anggota tubuh yang jumlahnya ada sepasang (dua) dianggap muannats.

Anggota Tubuh (Muannats) Contoh Kalimat Arti
يَدٌ (Yadun) هَذِهِ يَدٌ. Ini adalah tangan.
عَيْنٌ ('Aynun) هَذِهِ عَيْنٌ. Ini adalah mata.
أُذُنٌ (Udzunun) هَذِهِ أُذُنٌ. Ini adalah telinga.
رِجْلٌ (Rijlun) هَذِهِ رِجْلٌ. Ini adalah kaki.

Bandingkan dengan anggota tubuh yang tunggal, yang umumnya dianggap maskulin (muzakkar):

3. Nama Kota, Negara, atau Suku

Banyak nama tempat seperti kota atau negara yang dihukumi sebagai muannats.

4. Kata-kata Sama'i Lainnya

Ini adalah daftar kata yang perlu dihafal karena tidak memiliki tanda fisik dan tidak masuk kategori di atas, tetapi dihukumi muannats oleh orang Arab.

Kata (Muannats) Contoh Kalimat Arti
شَمْسٌ (Syamsun) هَذِهِ شَمْسٌ. Ini adalah matahari.
أَرْضٌ (Ardhun) هَذِهِ أَرْضٌ. Ini adalah bumi.
نَارٌ (Naarun) هَذِهِ نَارٌ. Ini adalah api.
نَفْسٌ (Nafsun) هَذِهِ نَفْسٌ مُطْمَئِنَّةٌ. Ini adalah jiwa yang tenang.
دَارٌ (Daarun) هَذِهِ دَارٌ. Ini adalah rumah/negeri.
رِيْحٌ (Riihun) هَذِهِ رِيْحٌ. Ini adalah angin.
سَمَاءٌ (Samaa'un) هَذِهِ سَمَاءٌ. Ini adalah langit.

3. Kaidah Emas: "Hadzihi" untuk Jamak Tidak Berakal

Sekarang kita sampai pada salah satu kaidah paling penting dan menarik terkait penggunaan "hadzihi". Kaidah ini seringkali menjadi titik kebingungan bagi pemula, namun jika dipahami dengan baik, akan sangat memudahkan pemahaman struktur kalimat bahasa Arab.

Kaidah Emas: "Setiap kata benda jamak yang tidak berakal (جَمْعٌ غَيْرُ عَاقِلٍ) dihukumi sebagai tunggal feminin (مُفْرَدٌ مُؤَنَّثٌ)."

Mari kita pecah kaidah ini:

Artinya, meskipun kata benda tunggalnya adalah maskulin (menggunakan "hadza"), bentuk jamaknya yang tidak berakal akan menggunakan "hadzihi"!

Analisis dan Contoh-contoh Rinci

Mari kita lihat transformasi ini melalui banyak contoh agar kaidah ini benar-benar meresap.

Contoh 1: Buku (كِتَابٌ)

Perhatikan perubahannya dari Hadza menjadi Hadzihi.

Contoh 2: Rumah (بَيْتٌ)

Contoh 3: Pulpen (قَلَمٌ)

Contoh 4: Gunung (جَبَلٌ)

Contoh 5: Pintu (بَابٌ)

Perbandingan dengan Jamak Berakal

Untuk memahami keunikan kaidah ini, kita harus membandingkannya dengan perlakuan terhadap jamak yang berakal (manusia). Untuk jamak berakal, kita menggunakan kata tunjuk jamak khusus, yaitu هَؤُلَاءِ (Haa-ulaa'i), yang berarti "ini (banyak)".

Contoh Jamak Berakal (Laki-laki)

Kita tidak mengatakan هذه طلاب, karena "siswa" adalah jamak berakal.

Contoh Jamak Berakal (Perempuan)

Dengan membandingkan perlakuan antara jamak berakal dan tidak berakal, kaidah penggunaan "hadzihi" untuk benda-benda jamak menjadi semakin jelas dan logis dalam kerangka tata bahasa Arab.

4. Aplikasi dalam Kalimat: Struktur Mubtada' dan Khabar

Memahami arti dan kaidah "hadzihi" saja tidak cukup. Kita perlu melihat bagaimana ia berfungsi dalam sebuah kalimat utuh (jumlah mufidah). Dalam struktur kalimat nominal (jumlah ismiyyah), "hadzihi" sering kali berperan sebagai subjek atau Mubtada' (مُبْتَدَأٌ).

A. Kalimat Sederhana (Hadzihi + Isim Nakirah)

Ketika "hadzihi" diikuti oleh sebuah kata benda indefinit (nakirah), yaitu kata benda yang tidak diawali "Al-" (ال) dan biasanya berakhiran tanwin, maka keduanya akan membentuk sebuah kalimat sempurna.

Strukturnya adalah: Ini (adalah) [sesuatu].

Contoh analisis kalimat:

هَذِهِ سَيَّارَةٌ
Hadzihi sayyaarotun. (Ini adalah sebuah mobil).

- هَذِهِ: Mubtada'
- سَيَّارَةٌ: Khabar

هَذِهِ بُيُوْتٌ
Hadzihi buyuutun. (Ini adalah rumah-rumah).

- هَذِهِ: Mubtada'
- بُيُوْتٌ: Khabar (berbentuk jamak tidak berakal)

B. Frasa, Bukan Kalimat (Hadzihi + Isim Ma'rifah)

Skenario akan berubah total ketika "hadzihi" diikuti oleh kata benda definit (ma'rifah), yaitu kata benda yang diawali dengan "Al-" (ال). Kombinasi ini TIDAK membentuk kalimat sempurna, melainkan sebuah frasa.

Dalam struktur ini, kata benda yang mengikuti "hadzihi" disebut sebagai Badal (بَدَلٌ), atau pengganti/penjelas untuk kata tunjuk tersebut.

Strukturnya menjadi: [Benda] ini... (kalimatnya menggantung).

Contoh frasa:

Perhatikan bagaimana terjemahannya belum lengkap. Frasa-frasa ini membutuhkan predikat (Khabar) untuk menjadi sebuah kalimat yang bisa dipahami.

C. Membentuk Kalimat Lengkap dengan Isim Ma'rifah

Untuk melengkapi frasa di atas menjadi kalimat, kita perlu menambahkan Khabar setelahnya. Khabar ini harus dalam bentuk nakirah (tanpa "Al-").

Strukturnya: Hadzihi (Mubtada') + Isim Ma'rifah (Badal) + Khabar (Nakirah).

Tabel Perbandingan

Mari kita bandingkan antara kalimat sederhana dan kalimat dengan badal untuk melihat perbedaannya secara jelas.

Kalimat Sederhana (Hadzihi + Nakirah) Kalimat dengan Badal (Hadzihi + Ma'rifah + Khabar)
هَذِهِ سَاعَةٌ. Ini (adalah) jam. هَذِهِ السَّاعَةُ جَمِيْلَةٌ. Jam ini indah.
هَذِهِ مَدْرَسَةٌ. Ini (adalah) sekolah. هَذِهِ الْمَدْرَسَةُ كَبِيْرَةٌ. Sekolah ini besar.
هَذِهِ بُيُوْتٌ. Ini (adalah) rumah-rumah. هَذِهِ الْبُيُوْتُ قَدِيْمَةٌ. Rumah-rumah ini tua/lama.
هَذِهِ كُتُبٌ. Ini (adalah) buku-buku. هَذِهِ الْكُتُبُ مُفِيْدَةٌ. Buku-buku ini bermanfaat.

Perhatikan pada contoh terakhir: karena الْكُتُبُ adalah jamak tidak berakal, maka Khabar (kata sifat) yang mengikutinya juga harus dalam bentuk tunggal feminin, yaitu مُفِيْدَةٌ (mufrad muannats), bukan bentuk jamak. Ini adalah konsistensi dari kaidah emas yang telah kita bahas sebelumnya.

5. Jejak "Hadzihi" dalam Al-Quran dan Hadits

Teori dan kaidah tata bahasa akan menjadi lebih hidup dan bermakna ketika kita melihat penerapannya secara langsung dalam sumber-sumber utama Islam, yaitu Al-Quran dan Hadits. Menemukan dan menganalisis penggunaan "hadzihi" dalam teks-teks mulia ini akan memperkuat pemahaman kita.

A. Penggunaan "Hadzihi" dalam Al-Quran

Al-Quran penuh dengan contoh penggunaan isim isyarah yang presisi. Berikut adalah beberapa ayat yang menggunakan kata "hadzihi" beserta analisisnya.

1. Surah An-Naml, Ayat 91

إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ رَبَّ هَٰذِهِ الْبَلْدَةِ الَّذِي حَرَّمَهَا... "Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri (Mekah) ini yang Dia telah menjadikannya suci..."

Analisis: Dalam ayat ini, "hadzihi" digunakan untuk menunjuk kata الْبَلْدَةِ (al-baldati) yang berarti "negeri" atau "kota". Kata الْبَلْدَةُ diakhiri dengan ta' marbuthah, yang merupakan tanda muannats yang jelas. Oleh karena itu, kata tunjuk yang digunakan haruslah dalam bentuk feminin, yaitu "hadzihi". Ini adalah contoh langsung dari kaidah dasar.

2. Surah Az-Zukhruf, Ayat 51

وَنَادَىٰ فِرْعَوْنُ فِي قَوْمِهِ قَالَ يَا قَوْمِ أَلَيْسَ لِي مُلْكُ مِصْرَ وَهَٰذِهِ الْأَنْهَارُ تَجْرِي مِنْ تَحْتِي ۖ أَفَلَا تُبْصِرُونَ "Dan Fir'aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata, 'Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat?'"

Analisis: Ini adalah contoh sempurna dari "kaidah emas" jamak tidak berakal. Kata yang ditunjuk adalah الْأَنْهَارُ (al-anharu), yang merupakan bentuk jamak dari kata نَهْرٌ (nahrun) yang berarti "sungai". Karena sungai adalah benda tidak berakal, maka bentuk jamaknya dihukumi sebagai tunggal feminin. Akibatnya, Al-Quran menggunakan kata tunjuk "hadzihi", bukan "hadza" atau "ha'ula'i".

3. Surah Al-An'am, Ayat 76

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَىٰ كَوْكَبًا ۖ قَالَ هَٰذَا رَبِّي ۖ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ (76) فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَٰذَا رَبِّي ۖ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ (77) فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَٰذَا رَبِّي هَٰذَا أَكْبَرُ ۖ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (78)

Dalam kisah Nabi Ibrahim a.s. yang mencari Tuhannya, terdapat pelajaran menarik. Ketika melihat bintang (كَوْكَبًا) dan bulan (الْقَمَرَ), keduanya adalah isim muzakkar, beliau berkata "هَٰذَا رَبِّي" (Ini Tuhanku). Namun, ketika beliau melihat matahari (الشَّمْسَ), yang merupakan isim muannats sama'i (feminin tanpa tanda), kata kerjanya pun disesuaikan menjadi bentuk feminin: أَفَلَتْ (afalat - ia telah terbenam). Meskipun dalam ayat ini Nabi Ibrahim tetap berkata "هَٰذَا رَبِّي" untuk penegasan, perlakuan kata kerja "afalat" menunjukkan status muannats dari kata "syamsun". Hal ini menunjukkan betapa konsistennya kaidah gender dalam Al-Quran.

B. Penggunaan "Hadzihi" dalam Hadits

Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga memberikan kita banyak contoh praktis.

1. Hadits tentang Niat

Meskipun hadits yang paling masyhur tentang niat tidak secara langsung menggunakan "hadzihi", variasinya dalam menjelaskan hijrah menunjukkan penerapan kaidah gender secara sempurna.

...فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَىٰ دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَىٰ مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ "...Maka barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin diraihnya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang ia tuju."

Analisis: Perhatikan kata هِجْرَتُهُ (hijratuhu). Kata dasar هِجْرَةٌ (hijrah) diakhiri dengan ta' marbuthah, menjadikannya muannats. Oleh karena itu, ketika hadits tersebut merujuk kembali pada "hijrahnya", ia menggunakan kata ganti dan preposisi yang sesuai. Pemahaman tentang muannats, yang menjadi dasar penggunaan "hadzihi", sangat esensial di sini.

2. Hadits tentang Kepemilikan

Dalam percakapan sehari-hari, Rasulullah SAW juga menggunakan kata tunjuk ini dengan tepat. Jika seseorang bertanya kepada beliau tentang seekor kambing betina (شَاةٌ), beliau akan menjawab misalnya:

هَذِهِ لِي Hadzihi lii. (Ini milikku).

Beliau menggunakan "hadzihi" karena kata شَاةٌ (syatun - kambing betina) adalah muannats. Sebaliknya, jika yang ditunjuk adalah seekor domba jantan (كَبْشٌ - kabsyun), jawabannya akan menjadi "هَذَا لِي" (hadza lii).


Kesimpulan: Fondasi Kokoh untuk Melangkah Lebih Jauh

Dari penelusuran panjang ini, kita dapat menyimpulkan bahwa hadzihi artinya jauh lebih dari sekadar "ini". Ia adalah sebuah penanda gramatikal yang membawa informasi tentang gender (feminin) dan jumlah (tunggal, atau jamak yang dihukumi tunggal). Menguasai "hadzihi" berarti memahami salah satu pilar fundamental dalam tata bahasa Arab.

Mari kita rangkum kembali poin-poin terpenting:

  1. Arti Dasar: "Hadzihi" adalah kata tunjuk untuk sesuatu yang dekat, yang berarti "ini".
  2. Kaidah Utama: Ia digunakan khusus untuk menunjuk kata benda tunggal yang bersifat feminin (muannats).
  3. Identifikasi Muannats: Sebuah kata benda bisa diidentifikasi sebagai muannats melalui tanda fisik (seperti ta' marbuthah ة) atau karena konvensi (seperti nama perempuan, anggota tubuh berpasangan, atau kata-kata sama'i).
  4. Kaidah Emas: Kaidah yang paling krusial adalah bahwa setiap jamak yang tidak berakal (buku-buku, rumah-rumah, pulpen-pulpen) akan dihukumi sebagai tunggal feminin, sehingga harus menggunakan kata tunjuk "hadzihi".
  5. Fungsi Kalimat: Kombinasi "hadzihi" dengan kata benda tanpa "Al-" akan membentuk kalimat sempurna, sementara kombinasinya dengan kata benda ber-"Al-" akan membentuk frasa yang membutuhkan pelengkap.

Memahami "hadzihi" bukanlah sekadar tujuan akhir, melainkan sebuah gerbang awal. Dengan fondasi yang kokoh pada konsep ini, Anda akan lebih siap untuk mempelajari struktur kalimat yang lebih rumit, memahami ayat-ayat Al-Quran dengan lebih presisi, dan merasakan keindahan serta logika yang tertata dalam bahasa Arab. Teruslah berlatih, perhatikan setiap kata benda yang Anda temui, dan tanyakan pada diri sendiri: "Apakah ini muzakkar atau muannats? Haruskah saya menggunakan 'hadza' atau 'hadzihi'?" Dengan pembiasaan, kaidah ini akan menjadi intuisi yang alami.

🏠 Homepage