Arisan, sebuah kegiatan sosial ekonomi yang sangat lazim di Indonesia, sering kali dipandang hanya sebagai kegiatan gotong royong atau perkumpulan sosial biasa. Namun, seiring berkembangnya modus arisan, terutama yang melibatkan nilai uang yang besar, aspek hukum dari kegiatan ini menjadi krusial untuk dipahami. Arisan, pada dasarnya, adalah sebuah perjanjian di mana sekelompok orang sepakat mengumpulkan sejumlah uang secara periodik, dan uang tersebut diserahkan kepada salah satu anggota secara bergilir.
Salah satu isu utama yang sering muncul adalah apakah arisan dapat dikategorikan sebagai perjudian. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 303, perjudian didefinisikan sebagai segala permainan di mana kemungkinan menang atau kalah bergantung pada keberuntungan atau kesempatan semata, dan di mana pihak yang menang akan mengambil uang atau barang dari pihak yang kalah.
Dalam konteks arisan, penentuan siapa yang mendapat giliran (siapa yang menerima uang) sering kali dilakukan melalui undian atau ketepatan waktu pembayaran. Jika sistem undian mendominasi dan tidak ada unsur keterampilan yang berperan, arisan berpotensi besar untuk dikategorikan sebagai perjudian, yang mana hal tersebut dilarang oleh hukum Indonesia. Namun, banyak praktik arisan yang menggunakan sistem "sistem buka" atau penawaran (misalnya, siapa yang paling membutuhkan uang cepat akan mengambil dengan potongan tertentu), yang cenderung menggeser fokus dari keberuntungan murni menjadi kesepakatan bersama dan kebutuhan finansial anggota. Para ahli hukum umumnya cenderung memandang arisan sebagai kontrak perdata atau perjanjian sosial selama tidak ada unsur perjudian yang nyata.
Ketika arisan dipandang sebagai kesepakatan bersama, ia masuk dalam ranah hukum perdata, diatur terutama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya mengenai perjanjian. Arisan yang sah harus memenuhi syarat sahnya perjanjian: kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat perikatan, adanya objek tertentu, dan sebab yang halal.
Arisan adalah perjanjian timbal balik yang saling mengikat. Setiap anggota wajib menyetor sejumlah uang sesuai kesepakatan, dan berhak menerima setoran secara bergiliran. Jika terjadi wanprestasi (ingkar janji) oleh salah satu anggota, misalnya tidak menyetor atau gagal menyerahkan hasil arisan saat gilirannya, maka anggota lain yang dirugikan dapat menuntut secara perdata. Gugatan perdata ini bertujuan untuk meminta pemenuhan hak (menerima uang) atau ganti rugi.
Munculnya arisan berbasis daring (online), terutama melalui media sosial, membawa kompleksitas hukum baru. Arisan online seringkali memiliki anggota yang tidak saling kenal secara tatap muka, membuat unsur kepercayaan menjadi sangat rentan. Jika penyelenggara arisan online terbukti melakukan penipuan (misalnya, menerima setoran namun menghilang atau tidak pernah membayarkan hak anggota), maka masalah ini tidak lagi hanya ranah perdata, tetapi juga dapat masuk ke ranah pidana, yaitu tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP).
Peran kesepakatan tertulis menjadi sangat penting dalam arisan online. Meskipun sering kali hanya berupa grup chat, teks percakapan dan bukti transfer dapat menjadi alat bukti yang sah di pengadilan untuk membuktikan adanya perjanjian dan wanprestasi. Tanpa bukti yang kuat, korban penipuan arisan online akan kesulitan mencari keadilan.
Untuk meminimalisir risiko hukum, baik dalam arisan konvensional maupun online, transparansi dan dokumentasi sangat diperlukan. Membuat sebuah 'AD/ART' (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) atau setidaknya catatan kesepakatan yang ditandatangani oleh seluruh anggota sangat dianjurkan. Dokumen ini harus mencakup jumlah setoran, jadwal pengundian/penentuan giliran, konsekuensi jika telat membayar, dan mekanisme penyelesaian sengketa.
Kesimpulannya, arisan secara yuridis dapat diakomodasi sebagai perjanjian perdata selama tidak melanggar norma kesusilaan dan tidak dikategorikan sebagai perjudian berdasarkan sistem pengelolaannya. Namun, dalam praktiknya, ketidakjelasan aturan main dan kepercayaan buta sering kali menjadi pintu masuk bagi perselisihan yang memerlukan intervensi hukum. Kehati-hatian dalam memilih anggota dan membuat kesepakatan yang jelas adalah benteng hukum terbaik bagi para pelaku arisan.