Hylemorfisme Aristoteles: Landasan Pemahaman Realitas

Bentuk (Morphe) Materi (Hyle) Objek Nyata

Representasi visual: Materi sebagai substratum, Bentuk sebagai esensi.

Hylemorfisme, sebuah konsep filosofis fundamental yang diperkenalkan oleh Aristoteles, merupakan upaya mendasar untuk menjelaskan hakikat benda-benda yang ada di dunia empiris. Kata ini sendiri berasal dari gabungan dua kata Yunani: hyle (materi atau substansi) dan morphe (bentuk atau struktur). Bagi Aristoteles, tidak ada benda fisik yang ada tanpa kedua komponen ini; mereka adalah dua aspek intrinsik yang tak terpisahkan dari setiap entitas individual di alam semesta.

Memahami Materi (Hyle)

Dalam konteks hylemorfisme, Materi (Hyle) bukanlah sekadar bahan mentah dalam pengertian modern. Ia adalah substratum potensial, yaitu apa yang tetap ada di bawah perubahan, meskipun karakteristiknya berubah. Materi adalah aspek 'apa adanya' dari suatu benda yang belum termaterialisasi sepenuhnya menjadi suatu bentuk tertentu. Ia memiliki potensi (potensialitas) untuk menjadi berbagai hal. Contoh paling dasar adalah kayu yang memiliki potensi untuk menjadi meja, kursi, atau terbakar. Materi sendiri tidak memiliki bentuk yang definitif; ia adalah keberadaan yang belum terstruktur.

Penting untuk membedakan materi Aristoteles dari atomisme Demokritos, yang melihat materi sebagai partikel tak terbagi. Bagi Aristoteles, materi bersifat relatif dan selalu terkait pada bentuk yang merealisasikannya. Kita tidak pernah menemukan materi murni tanpa bentuk di dunia pengamatan, meskipun kita dapat memahaminya secara konseptual sebagai substratum yang mendasari.

Peran Sentral Bentuk (Morphe)

Sementara materi menyediakan potensi, Bentuk (Morphe) adalah prinsip yang aktualisasi atau realisasi potensi tersebut. Bentuk adalah esensi, struktur, atau sifat definitif yang menjadikan suatu hal apa adanya. Jika materi adalah potensi untuk menjadi, maka bentuk adalah aktualisasi dari potensi tersebut. Bentuk memberikan identitas pada materi.

Misalnya, sebuah patung perunggu. Perunggu adalah materinya (hyle), sedangkan bentuk patung (misalnya, bentuk dewa tertentu) adalah morphe-nya. Jika patung itu dilebur, materinya (perunggu) tetap ada, tetapi bentuknya hilang, dan ia kembali menjadi materi potensial (atau materi yang memiliki potensi untuk menjadi bentuk baru). Bentuk adalah apa yang memungkinkan kita mengkategorikan dan memahami objek—ia adalah definitif struktural yang memberikan kualitas nyata pada substansi.

Kesatuan Hylemorfik

Inti dari hylemorfisme adalah bahwa materi dan bentuk tidak dapat dipisahkan secara ontologis dalam substansi individu. Sebuah objek nyata (seperti sebuah apel atau seekor kuda) adalah kesatuan tak terpisahkan dari hyle dan morphe. Mereka tidak hanya berdampingan, tetapi saling menyatu. Bentuk memberikan keteraturan pada materi, dan materi memberikan eksistensi empiris pada bentuk.

Konsep ini juga digunakan Aristoteles untuk menjelaskan perubahan (kinesis). Perubahan terjadi ketika sebuah substansi kehilangan satu bentuk dan memperoleh bentuk lainnya, sementara materinya tetap sebagai substratum yang mengalami transformasi. Misalnya, ketika biji ek menjadi pohon ek, perubahan terjadi pada bentuk (dari bentuk biji ke bentuk pohon), tetapi substratum materialnya tetap berkelanjutan.

Implikasi Filosofis

Hylemorfisme memberikan kerangka kerja yang kuat untuk filsafat alam Aristoteles. Ini memungkinkan pemahaman yang koheren tentang bagaimana benda-benda yang majemuk—yang memiliki aspek material dan aspek esensial—dapat eksis, bergerak, dan berubah. Teori ini menjembatani jurang antara realitas yang dapat diubah (dunia inderawi) dan konsep universal (bentuk atau esensi) yang diperjuangkan oleh Plato. Bagi Aristoteles, esensi tidak ada di dunia ide terpisah, melainkan tertanam secara konkret di dalam objek itu sendiri melalui bentuknya. Keseluruhan bangunan metafisika Aristoteles sangat bergantung pada prinsip hylemorfisme ini sebagai penjelasan tentang substansi.

🏠 Homepage