Mengurai Realitas: Sebuah Kajian Mendalam tentang Ilmu Maqulat

Dalam samudra luas pemikiran manusia, terdapat sebuah usaha abadi untuk memahami struktur dasar realitas. Bagaimana kita mengkategorikan segala sesuatu yang ada? Apa saja blok bangunan fundamental dari eksistensi? Pertanyaan-pertanyaan ini telah menjadi jantung filsafat selama ribuan tahun. Di dalam tradisi pemikiran Islam, salah satu perangkat analitis paling kuat untuk menjawab pertanyaan ini dikenal sebagai Ilmu Maqulat, atau Ilmu tentang Kategori-kategori. Ilmu ini bukanlah sekadar daftar istilah, melainkan sebuah kerangka konseptual yang sistematis untuk memetakan dan memahami setiap entitas yang mungkin ada, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik.

Ilmu Maqulat pada dasarnya adalah sistem klasifikasi ontologis yang bertujuan untuk mengelompokkan semua predikat yang dapat dilekatkan pada sebuah subjek. Secara sederhana, ketika kita melihat sebuah objek, misalnya sebuah meja, kita bisa mengatakan banyak hal tentangnya: "meja itu kayu," "meja itu cokelat," "meja itu berat," "meja itu ada di dalam ruangan," "meja itu dibuat kemarin." Setiap deskripsi ini—kayu, cokelat, berat, di dalam ruangan, dibuat kemarin—adalah predikat. Ilmu Maqulat bertanya, "Termasuk dalam kategori fundamental apakah predikat-predikat ini?" Dengan menjawabnya, para filsuf berusaha menciptakan sebuah peta konseptual yang komprehensif atas segala sesuatu yang maujud (berwujud).

Kerangka ini, yang berakar dari pemikiran Aristoteles dan kemudian dikembangkan secara ekstensif oleh para filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Suhrawardi, membagi segala sesuatu yang ada ke dalam sepuluh kategori fundamental. Kesepuluh kategori ini tidak setara; mereka terbagi menjadi satu kategori utama yang independen dan sembilan kategori sekunder yang dependen. Pembagian inilah yang menjadi inti dari Ilmu Maqulat: pemisahan antara Jauhar (Substansi) dan 'Aradh (Aksiden). Jauhar adalah esensi sesuatu yang dapat berdiri sendiri, sementara 'Aradh adalah sifat-sifat yang menumpang pada Jauhar. Memahami dikotomi ini adalah langkah pertama untuk membuka gerbang pemahaman yang lebih dalam tentang struktur wujud.

Diagram Ilmu Maqulat Diagram ini menunjukkan pembagian Wujud menjadi Jauhar dan 'Aradh beserta sub-kategorinya. Wujud (Ada) JAUHAR (Substansi) 'ARADH (Aksiden) Akal Nafs Jism Shurah Maddah Kam(Kuantitas) Kaif(Kualitas) Idhafah(Relasi) 'Ayn(Tempat) Mata(Waktu) Wadh'(Posisi) Milk(Milik) Fi'l(Aksi) Infi'al(Pasi) Diagram skematik Ilmu Maqulat yang menunjukkan pembagian Wujud menjadi Jauhar (substansi) dan 'Aradh (aksiden) beserta sub-kategorinya.

Jauhar (الجوهر): Fondasi Wujud yang Mandiri

Jauhar, yang sering diterjemahkan sebagai substansi, adalah kategori pertama dan yang paling fundamental dalam Ilmu Maqulat. Definisinya secara teknis adalah "sesuatu yang jika ada di luar pikiran, maka ia tidak berada dalam suatu subjek." Sederhananya, Jauhar adalah entitas yang keberadaannya tidak bergantung pada hal lain untuk menjadi "wadah"-nya. Ia adalah penyangga eksistensi itu sendiri. Sebuah pohon, seekor kuda, atau seorang manusia adalah contoh Jauhar. Mereka ada dalam dirinya sendiri. Warna hijau pada daun pohon bukanlah Jauhar, karena "kehijauan" itu harus menumpang pada sesuatu, yaitu daun. Tanpa daun (yang merupakan bagian dari Jauhar pohon), "kehijauan" tidak bisa eksis secara mandiri. Para filsuf membagi Jauhar ke dalam lima jenis yang saling berkaitan, dari yang paling abstrak hingga yang paling konkret.

1. Maddah (المادة) atau Hyle: Materi Prima

Ini adalah jenis Jauhar yang paling dasar dan abstrak, sering disebut sebagai Materi Prima. Maddah adalah potensi murni untuk menerima bentuk. Ia sendiri tidak memiliki bentuk, ukuran, atau kualitas apa pun. Bayangkan Maddah seperti tanah liat yang belum dibentuk. Ia bukan cangkir, bukan vas, bukan batu bata, tetapi ia memiliki potensi untuk menjadi semua itu. Dalam filsafat, Maddah adalah substrat dasar yang mendasari semua benda fisik. Ia tidak pernah bisa diobservasi secara langsung karena ia selalu hadir bersama pasangannya, yaitu Shurah (Bentuk). Konsep ini penting untuk menjelaskan perubahan substansial, seperti ketika kayu (Jauhar) terbakar menjadi abu (Jauhar lain). Yang terjadi adalah Maddah yang sama melepaskan "bentuk kekayuan" dan menerima "bentuk keabuan".

2. Shurah (الصورة) atau Form: Bentuk Substansial

Jika Maddah adalah potensi, maka Shurah adalah aktualitas. Shurah adalah prinsip yang memberikan identitas dan kekhasan pada sebuah Maddah. Ia adalah "apa"-nya sesuatu. "Kekayuan" pada kayu, "kemanusiaan" pada manusia, "kucingan" pada kucing adalah Shurah. Shurah inilah yang membuat seonggok materi menjadi entitas yang spesifik dan dapat dikenali. Penting untuk dibedakan bahwa Shurah di sini bukanlah bentuk geometris (seperti bundar atau persegi), melainkan bentuk esensial atau substansial. Sebuah meja bisa berbentuk bundar atau persegi, tetapi "bentuk" esensialnya adalah "kemejaan" yang membuatnya berfungsi sebagai meja. Sama seperti Maddah, Shurah juga tidak dapat ada secara mandiri di alam fisik; ia selalu menyatu dengan Maddah.

3. Jism (الجسم) atau Jisim: Tubuh Fisik

Jism adalah gabungan atau hasil penyatuan antara Maddah (materi) dan Shurah (bentuk). Inilah Jauhar yang kita temui sehari-hari di alam fisik. Batu, air, pohon, tubuh hewan, dan planet adalah contoh-contoh Jism. Ia didefinisikan sebagai Jauhar yang dapat menerima dimensi tiga: panjang, lebar, dan tinggi. Setiap objek yang menempati ruang adalah Jism. Ia adalah Jauhar komposit yang paling mudah dipahami karena dapat ditangkap oleh panca indera. Dalam hierarki Jauhar, Jism adalah landasan bagi eksistensi Jauhar yang lebih tinggi seperti jiwa.

4. Nafs (النفس) atau Jiwa: Prinsip Kehidupan dan Kesadaran

Nafs adalah jenis Jauhar yang bersifat non-materiil tetapi melekat pada Jism (tubuh) tertentu untuk memberikannya kehidupan, persepsi, dan (pada manusia) pemikiran. Para filsuf membaginya menjadi beberapa tingkatan. Pertama, Nafs Nabatiyyah (jiwa vegetatif) yang dimiliki oleh tumbuhan, fungsinya adalah untuk nutrisi, pertumbuhan, dan reproduksi. Kedua, Nafs Hayawaniyyah (jiwa hewani) yang dimiliki hewan, fungsinya mencakup fungsi vegetatif ditambah kemampuan persepsi (merasakan) dan bergerak. Ketiga, Nafs Natiqah (jiwa rasional) yang hanya dimiliki manusia. Jiwa rasional ini mencakup dua fungsi sebelumnya ditambah kemampuan berpikir abstrak, memahami konsep universal, dan membuat pilihan moral. Nafs dianggap sebagai Jauhar karena ia adalah esensi yang mengatur tubuh, bukan sekadar sifat dari tubuh.

5. ‘Aql (العقل) atau Akal: Intelek Murni

Ini adalah jenis Jauhar yang paling tinggi dan sepenuhnya terpisah dari materi. 'Aql adalah entitas non-fisik, abadi, dan tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dalam kosmologi filsafat Islam (terutama Peripatetik), 'Aql merujuk pada Intelek-intelek surgawi yang menjadi perantara antara Tuhan (Wajib al-Wujud) dan alam materi. Mereka adalah Jauhar murni yang aktivitas utamanya adalah berpikir atau memahami esensi segala sesuatu. Akal manusia (Nafs Natiqah) memiliki potensi untuk terhubung dengan 'Aql ini untuk mendapatkan pengetahuan universal. Karena keberadaannya sama sekali tidak bergantung pada materi, ia dianggap sebagai bentuk Jauhar yang paling sempurna.

Jauhar adalah pilar-pilar realitas. Tanpanya, tidak akan ada subjek untuk menampung sifat, warna, ukuran, atau relasi. Ia adalah "sesuatu" itu sendiri, sebelum ia "bagaimana".

'Aradh (العرض): Sembilan Kategori Sifat yang Menumpang

Berbeda dengan Jauhar yang mandiri, 'Aradh atau aksiden adalah kategori untuk segala sesuatu yang keberadaannya bergantung pada Jauhar. 'Aradh adalah sifat, atribut, atau kondisi dari sebuah substansi. Warna, ukuran, berat, posisi, waktu, dan relasi adalah contoh-contoh 'Aradh. "Kemerahan" tidak bisa melayang-layang di udara tanpa ada sesuatu yang merah, misalnya apel. "Ketinggian" tidak bisa ada tanpa ada sesuatu yang tinggi, misalnya gunung. Dengan kata lain, 'Aradh adalah cara-cara bagaimana sebuah Jauhar berada atau tampil. Ilmu Maqulat mengidentifikasi sembilan jenis 'Aradh yang mencakup semua kemungkinan predikat non-substansial.

1. Kam (الكم) atau Kuantitas

Kategori ini menjawab pertanyaan "Berapa banyak?" atau "Seberapa besar?". Kam adalah aksiden yang dapat diukur atau dihitung. Ia terbagi menjadi dua jenis utama:

Kuantitas adalah salah satu aksiden yang paling mendasar karena ia berkaitan langsung dengan ekstensi sebuah Jism.

2. Kaif (الكيف) atau Kualitas

Kategori ini menjawab pertanyaan "Bagaimana?" atau "Seperti apa?". Kaif adalah aksiden yang tidak dapat diukur secara inheren, melainkan menggambarkan sifat atau keadaan dari suatu substansi. Kualitas adalah kategori yang sangat luas dan dibagi lagi menjadi beberapa jenis:

3. Idhafah (الإضافة) atau Relasi

Kategori ini menjawab pertanyaan "Berhubungan dengan apa?". Idhafah adalah aksiden yang keberadaannya hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan hal lain. Ia selalu melibatkan dua pihak atau lebih. Contohnya adalah "kebapakan" yang tidak bisa dipahami tanpa "keanakan", "di atas" yang tidak bermakna tanpa "di bawah", "lebih besar" yang memerlukan "lebih kecil", atau "guru" yang berelasi dengan "murid". Relasi ini bersifat timbal balik. Jika A adalah ayah dari B, maka secara otomatis B adalah anak dari A. Realitas dipenuhi dengan jejaring relasi seperti ini, dan kategori Idhafah membantu kita memetakannya.

4. ‘Ayn (الأين) atau Tempat

Kategori ini menjawab pertanyaan "Di mana?". 'Ayn (atau kadang disebut Makan) merujuk pada lokasi spasial suatu benda. "Di pasar," "di atas meja," "di dalam rumah" adalah contoh dari kategori ini. Secara filosofis, tempat didefinisikan sebagai permukaan terdalam dari benda yang melingkupi benda lain. Misalnya, tempat dari air di dalam gelas adalah permukaan bagian dalam dari gelas itu. Kategori ini secara eksklusif berlaku untuk Jism (tubuh fisik) karena hanya merekalah yang menempati ruang.

5. Mata (متى) atau Waktu

Kategori ini menjawab pertanyaan "Kapan?". Mata (atau Zaman) merujuk pada posisi suatu peristiwa dalam urutan waktu. "Kemarin," "hari ini," "tahun lalu," "saat fajar" adalah contoh dari kategori waktu. Dalam filsafat Aristotelian-Ibnu Sinian, waktu didefinisikan sebagai ukuran gerak dalam hal sebelum dan sesudah. Tanpa adanya gerak dan perubahan, konsep waktu menjadi tidak bermakna. Oleh karena itu, waktu adalah aksiden yang melekat pada benda-benda yang bergerak dan berubah, yaitu semua entitas di alam fisik.

6. Wadh’ (الوضع) atau Posisi/Sikap

Kategori ini menjawab pertanyaan "Dalam posisi bagaimana?". Wadh' menggambarkan postur atau susunan bagian-bagian suatu benda relatif terhadap lingkungannya atau terhadap bagian-bagiannya sendiri. Berbeda dengan tempat ('Ayn) yang hanya menunjukkan lokasi, Wadh' lebih spesifik pada orientasi. Contohnya adalah "berdiri," "duduk," "berbaring," "terlentang," atau "menghadap ke timur". Semua ini adalah deskripsi tentang bagaimana sebuah substansi (misalnya, tubuh manusia) menata dirinya dalam ruang.

7. Milk (الملك) atau Kepemilikan/Keadaan

Kategori ini, yang juga disebut Jiddah, seringkali dianggap yang paling sulit dipahami. Ia menjawab pertanyaan "Memiliki apa?" atau "Dalam keadaan apa?". Milk merujuk pada sesuatu yang melingkupi sebuah substansi dan menjadi miliknya, biasanya dalam konteks manusia. Contoh klasiknya adalah "berpakaian," "bersepatu," atau "bersenjata." "Berpakaian" bukanlah sekadar relasi antara orang dan baju, tetapi sebuah keadaan di mana baju itu melingkupi dan menjadi atribut orang tersebut. Ini adalah keadaan eksternal yang melekat pada subjek.

8. Fi’l (أن يفعل) atau Aksi/Melakukan

Kategori ini menjawab pertanyaan "Melakukan apa?". Fi'l merujuk pada tindakan atau perbuatan yang berasal dari sebuah subjek yang mempengaruhi objek lain. Ini adalah kategori yang menunjukkan agensi atau kausalitas. Contohnya adalah "memotong," "memanaskan," "mendorong," atau "menulis." Dalam kalimat "Zaid memukul anjing," maka "memukul" adalah Fi'l yang berasal dari Zaid.

9. Infi’al (أن ينفعل) atau Pasi/Dikenai Aksi

Kategori ini adalah kebalikan dari Fi'l dan menjawab pertanyaan "Dikenai apa?". Infi'al adalah keadaan di mana suatu subjek menerima atau dipengaruhi oleh aksi dari subjek lain. Ia menunjukkan kepasifan. Contohnya adalah "dipotong," "dipanaskan," "didorong," atau "ditulis." Dalam kalimat yang sama, "Zaid memukul anjing," maka "dipukul" adalah Infi'al yang diterima oleh anjing. Setiap aksi (Fi'l) selalu berimplikasi pada adanya kepasifan (Infi'al) pada objeknya.

Relasi Tak Terpisahkan dan Penerapan Ilmu Maqulat

Meskipun secara konseptual Jauhar dan 'Aradh dapat dipisahkan, dalam realitas konkret keduanya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tidak ada Jauhar yang bisa eksis tanpa memiliki setidaknya beberapa 'Aradh. Sebuah apel (Jauhar) harus memiliki kuantitas (ukuran), kualitas (warna, rasa), posisi (di atas meja), dan seterusnya. Sebaliknya, tidak ada 'Aradh yang bisa eksis tanpa menumpang pada Jauhar. Tidak ada "kemanisan" yang mengambang bebas tanpa ada sesuatu yang manis. Hubungan ini sering diibaratkan seperti subjek dan predikat dalam sebuah kalimat; Jauhar adalah subjeknya, dan 'Aradh adalah predikat-predikat yang menjelaskannya.

Lalu, untuk apa kerangka yang rumit ini diciptakan? Manfaat Ilmu Maqulat sangat luas dan mendalam, terutama dalam tiga bidang utama:

  1. Dalam Ilmu Mantiq (Logika): Ilmu Maqulat menyediakan fondasi untuk membuat definisi (ta'rif) yang akurat. Definisi yang baik harus menyebutkan genus (jenis yang lebih umum) dan diferensia spesifik (pembeda). Kategori-kategori ini membantu para ahli logika untuk mengklasifikasikan konsep secara hierarkis, menghindari kerancuan, dan membangun argumen yang valid. Ketika kita mendefinisikan "manusia" sebagai "hewan yang berpikir," kita menggunakan kategori Jauhar (hewan sebagai genus) dan kualitas (berpikir sebagai pembeda).
  2. Dalam Filsafat (Metafisika): Ilmu Maqulat adalah peta ontologi itu sendiri. Ia membantu para filsuf menganalisis struktur dasar dari wujud, membedakan antara esensi dan atribut, serta memahami konsep-konsep kunci seperti perubahan, kausalitas, dan relasi. Diskusi tentang Tuhan, jiwa, dan alam semesta seringkali menggunakan kerangka Maqulat untuk memperjelas argumen.
  3. Dalam Ilmu Kalam (Teologi Dialektis): Para teolog (mutakallimin) menggunakan perangkat Ilmu Maqulat untuk membahas sifat-sifat Tuhan. Muncul perdebatan besar: apakah sifat-sifat Tuhan (seperti Maha Mengetahui, Maha Kuasa) adalah esensi-Nya (identik dengan Jauhar-Nya) ataukah merupakan atribut yang 'menumpang' pada esensi-Nya (seperti 'Aradh)? Penggunaan kategori ini memungkinkan diskusi teologis yang lebih presisi dan sistematis, meskipun dengan interpretasi yang berbeda-beda di antara berbagai mazhab pemikiran.

Kesimpulan: Peta untuk Memahami Realitas

Ilmu Maqulat, dengan sepuluh kategorinya (satu Jauhar dan sembilan 'Aradh), adalah sebuah pencapaian intelektual yang monumental. Ia merupakan upaya ambisius untuk menciptakan sistem klasifikasi universal yang dapat mencakup segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Lebih dari sekadar daftar kuno, ia adalah alat analisis yang tajam untuk membedah realitas, menstrukturkan pemikiran, dan membangun argumen dengan landasan yang kokoh. Dari materi prima yang paling abstrak hingga tindakan memotong sehelai kertas, dari sifat keberanian dalam jiwa hingga posisi bintang di angkasa, semua dapat dipetakan dalam kerangka ini.

Mempelajari Ilmu Maqulat bukan hanya tentang menghafal istilah-istilah Arab atau Yunani, tetapi tentang melatih pikiran untuk melihat dunia dengan lebih jernih dan terstruktur. Ia mengajak kita untuk bertanya: Apa esensi dari sesuatu? Dan apa saja sifat-sifat yang melekat padanya? Dengan membedakan antara apa yang esensial (Jauhar) dan apa yang aksidental ('Aradh), kita dipandu menuju pemahaman yang lebih fundamental tentang diri kita sendiri dan alam semesta di sekitar kita. Inilah warisan abadi dari Ilmu Maqulat: sebuah peta konseptual yang terus relevan dalam perjalanan manusia untuk mengurai misteri wujud.

🏠 Homepage