Visualisasi persaingan antara Karna dan Arjuna.
Kisah Mahabharata adalah epik tak berujung yang penuh dengan intrik politik, dharma, dan tragedi personal. Di antara banyak tokohnya, persaingan antara Karna dan Arjuna menempati posisi sentral yang dramatis. Keduanya adalah pemanah ulung, ksatria yang tak tertandingi, namun dipisahkan oleh takdir, kelahiran, dan kesetiaan yang bertolak belakang. Hubungan mereka bukan sekadar rivalitas; itu adalah cerminan dari dilema moral yang dihadapi setiap karakter dalam peperangan besar Kurukshetra.
Arjuna, putra Pandu dan Kunti, diakui sebagai pahlawan terhebat di antara Pandawa, dianugerahi bakat luar biasa sejak muda dan didukung oleh dewa-dewa. Sementara itu, Karna, yang memiliki nama asli Vasusena, adalah putra Dewi Kunti yang lahir sebelum pernikahannya dengan Pandu, dan dibesarkan sebagai kusir kereta (suta). Kesalahan identitas dan nasib tragis inilah yang membentuk fondasi konflik abadi antara kedua maestro busur panah ini.
Karna adalah lambang dari ambisi yang dibalut rasa sakit karena penolakan. Meskipun ia memiliki kemampuan memanah yang setara, bahkan melebihi, Arjuna, status sosialnya sebagai ‘anak kusir’ terus-menerus menghalanginya. Ketika ia menunjukkan kehebatannya dalam sayembara Drupadi, Duryodana segera mengangkatnya menjadi Raja Anga, memberinya pengakuan yang tidak pernah diberikan oleh Hastinapura melalui Drona atau Kripa.
Kesetiaan Karna kepada Duryodana adalah inti dari tragedinya. Ia berutang budi pada Duryodana karena dukungan tanpa syarat tersebut. Kesetiaan ini membutakannya dari kebenaran bahwa Pandawa, terutama Arjuna, adalah saudara kandungnya (melalui Kunti). Keinginannya untuk mengalahkan Arjuna bukan hanya soal persaingan, tetapi juga tentang pembuktian diri—membuktikan bahwa ia pantas mendapatkan kemuliaan yang secara otomatis melekat pada Arjuna karena garis keturunannya.
Arjuna, di sisi lain, adalah representasi dari dharma yang ditegakkan. Ia adalah murid kesayangan Resi Drona dan dihormati sebagai ksatria utama. Kehidupannya relatif lebih mudah karena ia memiliki tempat yang jelas di antara para pangeran Kuru. Namun, tantangan terbesarnya datang dari ego dan persaingan yang sehat (awalnya) terhadap Karna.
Bagi Arjuna, Karna adalah rival terberat yang selalu muncul di setiap tonggak penting dalam hidupnya. Tanpa mengetahui ikatan darah mereka, Arjuna melihat Karna sebagai penghalang terbesar untuk meraih ketenaran tertinggi. Persaingan mereka dipicu oleh kecemburuan profesional dan kebutuhan untuk membuktikan siapa yang paling layak menyandang gelar pemanah terbaik di benua itu.
Semua ketegangan terakumulasi di medan perang Kurukshetra. Setelah serangkaian pertempuran yang menewaskan banyak pahlawan, momen yang paling ditunggu tiba: duel langsung antara Karna dan Arjuna. Pertarungan ini adalah puncak dari seluruh narasi Mahabharata.
Di tengah pertempuran, kutukan yang menimpa Karna mulai berlaku. Kereta perangnya terperosok ke lumpur, momen yang sama persis seperti yang pernah ia gunakan untuk meminta waktu bagi Arjuna agar tidak menembak seorang ksatria yang terhalang peraturannya. Arjuna, yang didorong oleh Krishna, menyadari bahwa kesempatan ini mungkin tidak akan datang lagi. Dilema moral kembali muncul: apakah seorang ksatria harus menembak musuh yang sedang dalam posisi tidak menguntungkan?
Keputusan akhir jatuh pada takdir yang telah ditetapkan. Karna gugur di tangan Arjuna, mengakhiri rivalitas yang telah berlangsung seumur hidup. Kematian Karna membawa kesedihan mendalam bagi Arjuna dan seluruh keluarga Pandawa ketika kebenaran tentang ikatan darah mereka akhirnya terungkap. Karna meninggal tanpa pernah mencapai pengakuan penuh atas bakatnya, sebuah pengorbanan tragis demi kesetiaan yang salah tempat.
Kisah Karna dan Arjuna berfungsi sebagai studi kasus yang kuat tentang bagaimana garis keturunan (birthright) berbenturan dengan usaha keras (meritocracy). Karna membuktikan bahwa bakat sejati tidak mengenal kasta, tetapi ia terhambat oleh prasangka sosial. Sementara itu, Arjuna menunjukkan bahwa bakat bawaan harus didukung oleh integritas moral yang kuat.
Persaingan mereka mengajarkan bahwa musuh terbesar seringkali adalah takdir yang tersembunyi dan pilihan yang dibuat di bawah tekanan ekstrem. Meskipun keduanya adalah pemanah terhebat, hanya satu yang bisa menang. Rivalitas abadi ini memastikan bahwa nama Karna dan Arjuna akan selalu bergema bersama, bukan sebagai teman, melainkan sebagai dua sisi dari koin kehormatan ksatria dalam mitologi India.