Pertanyaan mengenai berapa lama seorang astronot bisa bertahan di luar angkasa adalah topik yang menarik dan kompleks. Jawabannya tidak tunggal, karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari misi yang dijalani, kondisi kesehatan, hingga kemajuan teknologi. Namun, secara umum, astronot bisa menghabiskan waktu yang sangat lama di orbit Bumi atau bahkan di destinasi yang lebih jauh.
Saat ini, Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) menjadi rumah bagi para astronot untuk jangka waktu yang lebih lama dibandingkan era sebelumnya. Misi standar di ISS biasanya berlangsung selama sekitar enam bulan. Selama periode ini, astronot melakukan berbagai eksperimen ilmiah, memelihara stasiun, dan melakukan kegiatan penelitian lainnya yang tidak dapat dilakukan di Bumi.
Namun, durasi enam bulan ini bukanlah batas maksimal. Beberapa astronot telah mencatat rekor waktu yang jauh lebih lama. Lonjakan durasi misi ini dimungkinkan oleh kemajuan dalam teknologi pendukung kehidupan, sistem pasokan, dan pemahaman yang lebih baik tentang efek fisiologis jangka panjang dari berada di lingkungan mikrogravitasi.
Rekor waktu terlama yang pernah dicatat oleh seorang astronot di luar angkasa adalah oleh Valeri Polyakov, seorang kosmonot Rusia. Ia menghabiskan waktu luar biasa selama 437 hari berturut-turut di stasiun luar angkasa Mir. Pengalaman ini memberikan wawasan yang sangat berharga mengenai adaptasi tubuh manusia terhadap kondisi luar angkasa dalam jangka waktu yang sangat panjang.
Misi Polyakov tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga menjadi dasar penting bagi perencanaan misi jangka panjang di masa depan, termasuk potensi misi berawak ke Mars. Data dari misinya membantu para ilmuwan memahami bagaimana tubuh manusia bereaksi terhadap radiasi antariksa, penurunan kepadatan tulang, atrofi otot, dan tantangan psikologis yang mungkin timbul.
Meskipun teknologi terus berkembang, bertahan di luar angkasa dalam jangka waktu yang lama tetap menghadirkan tantangan yang signifikan. Lingkungan mikrogravitasi memiliki efek yang cukup besar pada tubuh manusia. Tanpa beban gravitasi, tulang astronot dapat kehilangan kepadatannya (osteoporosis antariksa) dan otot mereka dapat menyusut (atrofi otot). Untuk mengatasi hal ini, astronot harus melakukan latihan fisik intensif selama beberapa jam setiap hari menggunakan peralatan khusus.
Selain itu, paparan radiasi antariksa merupakan perhatian utama. Di luar medan magnet pelindung Bumi, astronot terpapar tingkat radiasi yang lebih tinggi dari matahari dan sumber luar angkasa lainnya, yang dapat meningkatkan risiko kanker dan masalah kesehatan lainnya. Stasiun luar angkasa dan pakaian antariksa dirancang untuk memberikan perlindungan, tetapi untuk misi yang lebih jauh dari orbit Bumi, perlindungan tambahan akan diperlukan.
Faktor psikologis juga tidak bisa diabaikan. Mengisolasi diri dari Bumi, jauh dari keluarga dan teman, serta hidup dalam ruang terbatas dapat memicu stres, kebosanan, dan rasa kesepian. Pemilihan kru yang cermat, pelatihan intensif untuk manajemen stres, serta komunikasi rutin dengan Bumi sangat penting untuk menjaga kesejahteraan mental para astronot.
Dengan adanya rencana eksplorasi Mars dan misi berawak ke objek langit lainnya di masa depan, durasi misi di luar angkasa diperkirakan akan terus bertambah. Misi ke Mars, misalnya, dapat memakan waktu berbulan-bulan hanya untuk perjalanan pulang-pergi, belum termasuk waktu yang dihabiskan di permukaan planet merah.
Oleh karena itu, penelitian terus dilakukan untuk mengembangkan teknologi baru yang dapat meningkatkan daya tahan manusia di luar angkasa. Ini termasuk sistem pendukung kehidupan yang lebih efisien dan mandiri, metode perlindungan radiasi yang lebih baik, serta upaya untuk mengatasi efek fisiologis dan psikologis dari penjelajahan antariksa jangka panjang. Dengan kemajuan yang berkelanjutan, batasan lama astronot di luar angkasa kemungkinan akan terus bergeser.