Ilustrasi: Kelembutan dan Sumber Kehidupan
Isu seputar penggunaan Air Susu Ibu (ASI) seringkali berfokus pada manfaat nutrisinya bagi bayi. Namun, dalam ranah hukum Islam dan praktik sosial, muncul pertanyaan mengenai status kesucian dan kebolehan penggunaan ASI untuk keperluan lain, seperti mandi. Pembahasan mengenai "mandi ASI dalam Islam" memerlukan penelusuran mendalam terhadap kaidah fikih terkait air musta’mal (air bekas), najis, dan benda-benda yang keluar dari tubuh manusia.
Secara umum, cairan tubuh manusia, termasuk ASI, memiliki status yang berbeda di mata syariat. ASI adalah cairan yang secara alami dikeluarkan oleh wanita untuk menyusui anaknya. Dalam konteks ini, mayoritas ulama sepakat bahwa ASI tidak tergolong najis seperti halnya darah atau kotoran. Namun, kesuciannya dalam konteks ibadah, seperti wudhu atau mandi wajib, adalah subjek yang perlu dikaji lebih lanjut.
Dasar utama dalam Islam mengenai kesucian adalah air yang digunakan untuk bersuci (air mutlak). Air mutlak adalah air yang suci mensucikan (thahur), seperti air hujan, air zamzam, air sungai, atau air sumur, selama tidak berubah rasa, warna, atau baunya karena sesuatu yang najis.
Pertanyaan krusialnya adalah: Apakah ASI dapat menggantikan air suci untuk bersuci? Jawabannya menurut mazhab fikih empat adalah: tidak. ASI, meskipun secara asal bukan najis, tetap bukan digolongkan sebagai air yang dapat digunakan untuk menghilangkan hadas besar maupun hadas kecil. Oleh karena itu, mandi yang dilakukan hanya menggunakan ASI tidak akan sah sebagai pengganti mandi wajib (ghusl) atau mandi biasa untuk membersihkan diri dari hadas.
Meskipun ASI tidak dapat digunakan untuk bersuci, statusnya sebagai sesuatu yang najis juga perlu diklarifikasi. Sebagian besar ulama kontemporer dan klasik cenderung memandang ASI sebagai zat yang suci (thahir) karena merupakan makanan yang Allah ciptakan untuk bayi. Ia tidak dikeluarkan sebagai kotoran atau hasil metabolisme yang dibuang.
Jika ASI tercecer di pakaian atau tubuh, umumnya tidak memerlukan ritual pencucian khusus seperti yang diperlukan untuk najis berat (misalnya darah haid atau kotoran). Hal ini berbeda dengan cairan tubuh lain yang dianggap najis oleh kebanyakan fuqaha. Karena statusnya yang suci, jika ASI tercampur dengan air dalam jumlah yang banyak sehingga air tersebut tidak berubah, air tersebut tetap dianggap suci. Namun, jika ASI digunakan secara sengaja untuk mandi—bukan untuk membersihkan kotoran, tetapi sebagai ritual mandi itu sendiri—maka mandi tersebut tidak memenuhi syarat syariat untuk ibadah.
Di luar konteks ibadah ritual (wudhu dan mandi wajib), pembahasan bergeser ke ranah adat dan etika. Penggunaan ASI untuk tujuan non-konsumsi atau non-medis, seperti mandi, sangat jarang dibahas secara eksplisit dalam literatur fikih klasik karena praktik semacam ini tidak lazim dan bukan merupakan kebutuhan mendesak.
Ulama menekankan pentingnya menjaga kehormatan seorang ibu dan cairan yang dikeluarkannya. ASI adalah sumber kehidupan. Oleh karena itu, meskipun tidak haram secara substansi (karena tidak najis), penggunaannya harus dilakukan dengan cara yang menghormati nilai keberkahan dan manfaat utamanya, yaitu nutrisi bayi. Melakukan ritual mandi yang tidak disyariatkan dengan cairan yang memiliki fungsi mulia (seperti ASI) bisa dianggap sebagai tindakan berlebih-lebihan (ghuluw) atau bahkan tasyabbuh (menyerupai ritual non-Islam) jika motifnya adalah keyakinan bahwa ASI memiliki kekuatan spiritual pembersih melebihi air biasa.
Penting untuk membedakan mandi ASI dari praktik lain yang diizinkan dalam Islam, seperti mandi susu (yang hukumnya berbeda tergantung pada jenis susunya, apakah susu binatang atau susu manusia). Mandi susu sapi, misalnya, meskipun sering digunakan dalam tradisi tertentu, juga memerlukan pertimbangan hukum yang cermat; namun, dalam konteks ASI, fokus utamanya adalah pada statusnya sebagai cairan tubuh manusia.
Kesimpulannya, jika seseorang ingin mandi untuk membersihkan diri dari hadas, ia wajib menggunakan air mutlak yang suci mensucikan. Mandi yang dilakukan hanya dengan ASI tidak memenuhi syarat keabsahan tersebut. Walaupun ASI itu sendiri suci (tidak najis), ia tidak memiliki daya pensucian (thahur) yang disyaratkan agama untuk ritual ibadah. Semua praktik harus kembali pada panduan Al-Qur'an dan Sunnah yang mengutamakan kesucian air yang mengalir dan membasuh.