Representasi konsep keseimbangan dalam Polis
Aristoteles, salah satu filsuf Yunani kuno yang paling berpengaruh, meninggalkan warisan pemikiran yang fundamental dalam ilmu politik. Berbeda dengan gurunya, Plato, yang cenderung idealis dalam mencari bentuk negara yang sempurna (seperti yang diuraikan dalam Republik), Aristoteles mengambil pendekatan yang lebih empiris dan pragmatis. Baginya, politik adalah ilmu praktis yang harus didasarkan pada pengamatan terhadap konstitusi-konstitusi yang ada.
Inti dari teori politik Aristoteles terletak pada premis terkenalnya: "Manusia pada hakikatnya adalah zoon politikon", atau makhluk politik. Ini berarti bahwa manusia tidak dapat mencapai potensi penuh kemanusiaannya, yaitu kehidupan yang baik (eudaimonia), kecuali di dalam sebuah komunitas politik terorganisir, yaitu polis (negara-kota). Negara bukanlah sekadar alat untuk keamanan atau pertukaran ekonomi; negara adalah arena tertinggi untuk pengembangan moral dan intelektual warga negaranya.
Bagi Aristoteles, keluarga dan desa adalah tahap-tahap pembentukan awal, namun polis adalah puncak dari asosiasi sosial. Tujuan akhir dari pembentukan negara adalah memungkinkan warganya hidup secara bajik dan bahagia.
Salah satu kontribusi terbesar Aristoteles adalah analisis sistematisnya terhadap berbagai konstitusi atau bentuk pemerintahan yang ia kumpulkan dari studi empiris. Ia mengklasifikasikannya berdasarkan dua kriteria utama:
Tabel klasifikasi ini menghasilkan enam bentuk pemerintahan:
Meskipun Aristoteles mengidentifikasi Monarki dan Aristokrasi sebagai bentuk murni yang secara teori paling ideal, ia skeptis terhadap penerapannya di dunia nyata karena sangat bergantung pada kesempurnaan moral penguasa. Oleh karena itu, dalam praktiknya, ia menganjurkan bentuk pemerintahan yang dianggap paling stabil dan layak, yaitu Politeia.
Politeia adalah bentuk pemerintahan campuran yang menggabungkan elemen-elemen oligarki (pemerintahan oleh orang kaya) dan demokrasi (pemerintahan oleh rakyat bebas). Keseimbangan ini dicapai melalui dominasi kelas menengah. Aristoteles berpendapat bahwa kelas menengah adalah penengah yang stabil antara ekstrem kekayaan (oligarki) dan ekstrem kemiskinan (demokrasi radikal). Dengan adanya kelas menengah yang kuat, konflik sosial cenderung mereda, dan kebijakan yang diambil lebih moderat dan rasional.
Aspek krusial lainnya dalam teori Aristoteles adalah supremasi hukum. Bahkan dalam bentuk pemerintahan terbaik, hukum harus tetap menjadi otoritas tertinggi, bukan kehendak sewenang-wenang penguasa. Hukum memberikan stabilitas, prediktabilitas, dan memastikan bahwa kekuasaan dijalankan secara objektif demi kebaikan bersama. Di samping struktur pemerintahan, Aristoteles sangat menekankan pentingnya pendidikan warga negara yang baik, karena kebajikan individu adalah prasyarat bagi keberlangsungan negara yang baik.
Teori politik Aristoteles, dengan penekanannya pada empirisme, keseimbangan, dan peran etika dalam politik, terus menjadi landasan penting dalam pemikiran politik Barat hingga hari ini.