Tulisan Sunda: Menggali Harta Karun Aksara Warisan Leluhur
Ketika berbicara tentang kekayaan budaya Indonesia, seringkali kita terpukau oleh tarian, musik, atau arsitektur. Namun, ada satu warisan yang menjadi fondasi peradaban dan penjaga ilmu pengetahuan: aksara atau tulisan. Di tanah Pasundan, tulisan Sunda atau yang lebih dikenal dengan Aksara Sunda, berdiri sebagai monumen intelektual yang merekam jejak sejarah, sastra, dan kearifan lokal selama berabad-abad. Ini bukan sekadar kumpulan simbol, melainkan jiwa dari sebuah kebudayaan yang terus berupaya untuk tetap relevan di tengah gempuran zaman.
Artikel ini akan membawa Anda menyelami dunia tulisan Sunda secara mendalam. Kita akan menelusuri lorong waktu, dari goresan pertamanya pada daun lontar dan batu prasasti, hingga kebangkitannya kembali di era digital. Memahami tulisan Sunda adalah memahami cara berpikir dan cara pandang masyarakat Sunda dalam mengabadikan peradabannya. Ini adalah sebuah perjalanan untuk mengenali kembali identitas, menghargai proses, dan merayakan warisan yang hampir terlupakan namun berhasil bangkit dengan gagah.
Jejak Sejarah: Evolusi Tulisan di Tatar Sunda
Perjalanan tulisan Sunda tidaklah linear. Ia mengalami berbagai fase, mulai dari penggunaan aksara pinjaman, penciptaan aksara sendiri, masa-masa dorman, hingga revitalisasi. Setiap fase dipengaruhi oleh konteks sosial, politik, dan budaya yang melingkupinya.
Era Awal: Pengaruh India dan Aksara Pallawa
Seperti halnya wilayah lain di Nusantara, peradaban Sunda kuno tidak luput dari pengaruh kebudayaan India. Masuknya agama Hindu-Buddha membawa serta sistem tulisan sebagai medium penyebaran ajaran dan administrasi kerajaan. Aksara pertama yang dikenal di wilayah Jawa Barat adalah Aksara Pallawa, yang berasal dari India Selatan. Aksara ini digunakan secara luas di Asia Tenggara antara abad ke-4 hingga ke-8 Masehi.
Bukti penggunaan Aksara Pallawa di tanah Sunda ditemukan pada Prasasti Tugu (wilayah Jakarta saat ini) dan Prasasti Ciaruteun (Bogor), yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti-prasasti ini ditulis dalam bahasa Sanskerta menggunakan aksara Pallawa. Pada masa ini, belum ada "tulisan Sunda" yang khas, melainkan penggunaan aksara global pada masanya untuk menuliskan bahasa yang juga bersifat internasional (Sanskerta) dalam konteks keagamaan dan kekuasaan.
Lahirnya Identitas: Aksara Sunda Kuno
Seiring berjalannya waktu dan menguatnya entitas kebudayaan lokal, muncullah kebutuhan untuk memiliki sistem tulis yang lebih sesuai dengan fonologi atau bunyi bahasa Sunda Kuno. Dari sinilah Aksara Sunda Kuno mulai terbentuk, yang diyakini merupakan pengembangan lebih lanjut dari Aksara Pallawa melalui perantara Aksara Kawi Awal. Aksara Sunda Kuno memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakannya dari aksara-aksara lain di Nusantara.
Aksara ini mencapai puncak penggunaannya pada masa Kerajaan Sunda (Pajajaran), sekitar abad ke-14 hingga ke-16. Bukti-bukti otentik penggunaannya tersebar dalam berbagai media:
- Prasasti: Prasasti Kawali di Ciamis dan Prasasti Batutulis di Bogor menjadi contoh utama penggunaan Aksara Sunda Kuno pada batu. Prasasti ini memuat informasi tentang raja-raja Sunda dan pesan-pesan penting kerajaan.
- Naskah Lontar dan Gebang: Mayoritas warisan tulisan Sunda Kuno ditemukan pada naskah-naskah yang ditulis di atas daun lontar dan gebang. Naskah-naskah ini berisi karya sastra, ajaran keagamaan (baik Hindu-Buddha maupun kepercayaan lokal Sunda Wiwitan), dan catatan ilmu pengetahuan. Beberapa naskah monumental yang menggunakan aksara ini adalah Sanghyang Siksakandang Karesian, Carita Parahyangan, dan wiracarita Bujangga Manik.
Aksara Sunda Kuno pada masa ini adalah medium utama kaum intelektual dan agamawan kerajaan untuk merekam dan mewariskan pengetahuan. Keberadaannya menandakan tingkat literasi dan peradaban yang tinggi pada masyarakat Sunda masa itu.
Masa Peralihan dan Kemunduran
Kejayaan Aksara Sunda Kuno mulai meredup seiring dengan perubahan lanskap politik di Jawa pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17. Runtuhnya Kerajaan Sunda dan menguatnya pengaruh Kesultanan Mataram Islam di wilayah Priangan membawa perubahan budaya yang signifikan. Mataram memperkenalkan Aksara Jawa, yang dikenal sebagai Carakan atau Hanacaraka, sebagai aksara resmi untuk urusan administrasi dan sastra.
Selain Carakan, penyebaran agama Islam yang semakin masif juga memperkenalkan Aksara Pegon, yaitu aksara Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Sunda, Jawa, dan Melayu. Aksara Pegon banyak digunakan di lingkungan pesantren untuk menulis kitab-kitab keagamaan.
Dominasi Carakan dan Pegon, yang kemudian disusul oleh masuknya aksara Latin melalui kolonialisme Belanda, secara perlahan menggeser penggunaan Aksara Sunda Kuno. Aksara ini menjadi semakin jarang digunakan, terisolasi di beberapa komunitas kecil, dan akhirnya dianggap "punah" dari penggunaan sehari-hari. Pengetahuan tentang cara membaca dan menulisnya pun hanya dimiliki oleh segelintir ahli dan filolog.
Kebangkitan Kembali: Lahirnya Aksara Sunda Baku
Semangat untuk menggali kembali jati diri dan warisan leluhur mulai tumbuh pada abad ke-20. Kesadaran akan pentingnya memiliki aksara sendiri sebagai simbol identitas budaya Sunda mendorong para budayawan, akademisi, dan pemerintah daerah untuk melakukan upaya revitalisasi.
Puncaknya terjadi pada akhir dekade 1990-an. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat bekerja sama dengan para ahli dari Universitas Padjadjaran (UNPAD) membentuk sebuah tim untuk mengkaji dan membakukan kembali Aksara Sunda. Tim ini melakukan penelitian mendalam terhadap naskah-naskah kuno untuk merekonstruksi dan menstandarisasi aksara yang pernah ada.
Proses ini bukan sekadar "menciptakan" aksara baru, melainkan "menggali kembali" dan mengadaptasi Aksara Sunda Kuno agar sesuai dengan kebutuhan bahasa Sunda modern.
Hasil dari kerja keras ini adalah Aksara Sunda Baku, yang kemudian diresmikan penggunaannya melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat No. 5 Tahun 2003. Aksara Sunda Baku inilah yang kita kenal dan pelajari saat ini. Ia menjadi simbol kebangkitan kembali tulisan Sunda, dari artefak museum menjadi bagian hidup dari kebudayaan Sunda kontemporer.
Mengenal Struktur Aksara Sunda Baku
Aksara Sunda Baku adalah sistem tulisan jenis abugida atau alfasilabis, yang mirip dengan aksara-aksara tradisional India dan Asia Tenggara lainnya. Artinya, setiap konsonan dasar secara inheren telah mengandung bunyi vokal /a/. Untuk mengubah bunyi vokal tersebut atau menambahkan konsonan lain, digunakan tanda diakritik yang disebut rarangkén.
Struktur Aksara Sunda Baku terdiri dari beberapa komponen utama:
1. Aksara Swara (Huruf Vokal Mandiri)
Aksara Swara adalah huruf vokal independen yang digunakan untuk menuliskan suku kata yang hanya terdiri dari vokal, biasanya di awal kata. Terdapat 7 Aksara Swara yang mewakili vokal dalam bahasa Sunda:
| Aksara | Latin | Pengucapan (Contoh) |
|---|---|---|
| ᮃ | A | Seperti pada kata "api" (api) |
| ᮄ | I | Seperti pada kata "imah" (rumah) |
| ᮅ | U | Seperti pada kata "ucing" (kucing) |
| ᮆ | É | Seperti 'e' pada kata "serot" (diucapkan 'é') |
| ᮇ | O | Seperti pada kata "obor" (obor) |
| ᮈ | E | Seperti 'e' pada kata "kembang" (pepet) |
| ᮉ | Eu | Bunyi khas Sunda, seperti pada kata "beureum" (merah) |
2. Aksara Ngalagena (Huruf Konsonan + Vokal /a/)
Ini adalah komponen inti dari tulisan Sunda. Terdapat 23 Aksara Ngalagena yang mewakili konsonan dasar. Setiap aksara ini secara otomatis dibaca dengan vokal /a/ jika tidak diberi rarangkén. Contohnya, aksara ᮊ dibaca "ka", ᮌ dibaca "ga", dan seterusnya.
Aksara Ngalagena Dasar:
Aksara Ngalagena Serapan/Rekaan:
Untuk mengakomodasi bunyi-bunyi dari bahasa asing (terutama Arab dan Indonesia/Melayu), diciptakan beberapa aksara tambahan:
3. Rarangkén (Tanda Vokalisasi dan Modifikasi)
Rarangkén adalah kunci untuk menuliskan variasi suku kata dalam tulisan Sunda. Fungsinya adalah mengubah vokal dasar /a/ pada Aksara Ngalagena, menambahkan konsonan di akhir suku kata, atau membentuk gugus konsonan. Rarangkén dibagi berdasarkan posisinya terhadap aksara dasar.
A. Rarangkén di Atas Huruf (5 jenis)
- Panghulu ( ᮤ ): Mengubah vokal /a/ menjadi /i/. Contoh: ᮊ (ka) + ᮤ → ᮊᮤ (ki).
- Pamepet ( ᮨ ): Mengubah vokal /a/ menjadi /e/ (seperti pada 'e' dalam "kemaren"). Contoh: ᮊ (ka) + ᮨ → ᮊᮨ (ke).
- Paneuleung ( ᮩ ): Mengubah vokal /a/ menjadi /eu/. Contoh: ᮊ (ka) + ᮩ → ᮊᮩ (keu).
- Panglayar ( ᮁ ): Menambahkan konsonan /r/ di akhir suku kata. Contoh: ᮊ (ka) + ᮁ → ᮊᮁ (kar).
- Panyecek ( ᮀ ): Menambahkan konsonan /ng/ di akhir suku kata. Contoh: ᮊ (ka) + ᮀ → ᮊᮀ (kang).
B. Rarangkén di Bawah Huruf (3 jenis)
- Panyuku ( ᮥ ): Mengubah vokal /a/ menjadi /u/. Contoh: ᮊ (ka) + ᮥ → ᮊᮥ (ku).
- Panyakra ( ᮢ ): Menambahkan sisipan konsonan /r/ di tengah suku kata (gugus konsonan). Contoh: ᮊ (ka) + ᮢ → ᮊᮢ (kra).
- Panyiku ( ᮣ ): Menambahkan sisipan konsonan /l/ di tengah suku kata. Contoh: ᮊ (ka) + ᮣ → ᮊᮣ (kla).
C. Rarangkén Sejajar dengan Huruf (5 jenis)
- Panéléng ( ᮦ ): Diletakkan di depan, mengubah vokal /a/ menjadi /é/. Contoh: ᮦ + ᮊ (ka) → ᮦᮊ (ké).
- Panolong ( ᮧ ): Diletakkan di belakang, mengubah vokal /a/ menjadi /o/. Contoh: ᮊ (ka) + ᮧ → ᮊᮧ (ko).
- Pamingkal ( ᮡ ): Diletakkan di belakang, menambahkan sisipan konsonan /y/ di tengah suku kata. Contoh: ᮊ (ka) + ᮡ → ᮊᮡ (kya).
- Pamaéh ( ᮪ ): Diletakkan di belakang, berfungsi "mematikan" vokal /a/ pada aksara dasar, menjadikannya konsonan murni. Ini sangat penting untuk menulis konsonan di akhir kata atau sebelum konsonan lain. Contoh: ᮊ (ka) + ᮪ → ᮊ᮪ (k).
- Pangwisad ( ᮂ ): Diletakkan di belakang, menambahkan konsonan /h/ di akhir suku kata. Contoh: ᮊ (ka) + ᮂ → ᮊᮂ (kah).
4. Angka (Wilangan)
Tulisan Sunda juga memiliki set angkanya sendiri, dari 0 hingga 9. Penulisan angka dalam kalimat diapit oleh dua tanda pipa vertikal (|).
Contoh penulisan angka 2023: |᮲᮰᮲᮳|
5. Tanda Baca (Tanda Waca)
Aksara Sunda modern juga mengadopsi beberapa tanda baca Latin, namun memiliki beberapa bentuk khas yang bisa digunakan, seperti koma (,), titik (.), titik dua (:), tanda seru (!), dan tanda tanya (?). Penggunaannya mirip dengan dalam tulisan Latin untuk mengatur struktur kalimat.
Kaidah dan Contoh Penulisan dalam Tulisan Sunda
Setelah memahami komponennya, mari kita lihat bagaimana semua itu bekerja dalam praktik. Menulis dalam Aksara Sunda memerlukan pemecahan kata per suku kata.
Contoh 1: Menulis Kata "Sunda"
- Pecah kata menjadi suku kata: Sun - da.
- Suku kata pertama, "Sun": Kita mulai dengan aksara dasar ᮞ (sa). Untuk mengubah vokalnya menjadi /u/, kita tambahkan panyuku ( ᮥ ) di bawahnya, menjadi ᮞᮥ (su). Kemudian, untuk menambahkan konsonan /n/ di akhir, kita perlukan aksara ᮔ (na) yang dimatikan. Caranya adalah dengan menambahkan pamaéh ( ᮪ ) padanya, menjadi ᮔ᮪ (n). Jadi, "Sun" ditulis ᮞᮥᮔ᮪.
- Suku kata kedua, "da": Ini mudah, kita hanya perlu menggunakan Aksara Ngalagena ᮓ (da).
- Gabungkan keduanya: ᮞᮥᮔ᮪ᮓ.
Contoh 2: Menulis Kalimat "Urang Sunda Asli"
Mari kita pecah kalimat ini kata per kata.
- Urang: Dimulai dengan vokal 'u', maka kita pakai Aksara Swara ᮅ (U). Sisa suku kata adalah "rang". Kita ambil ᮛ (ra) dan tambahkan panyecek ( ᮀ ) di atasnya untuk bunyi /ng/. Hasilnya: ᮅᮛᮀ.
- Sunda: Seperti contoh sebelumnya, ᮞᮥᮔ᮪ᮓ.
- Asli: Dimulai dengan vokal 'a', maka kita pakai Aksara Swara ᮃ (A). Suku kata berikutnya adalah "sli". Ini adalah gugus konsonan. Kita mulai dengan ᮞ (sa), matikan dengan pamaéh menjadi ᮞ᮪ (s). Kemudian, kita tulis suku kata "li", yaitu ᮜ (la) ditambah panghulu menjadi ᮜᮤ (li). Hasilnya: ᮃᮞ᮪ᮜᮤ.
Maka, kalimat lengkapnya adalah: ᮅᮛᮀ ᮞᮥᮔ᮪ᮓ ᮃᮞ᮪ᮜᮤ.
Kaidah Penting Lainnya
- Aturan Pamepet: Rarangkén pamepet ( ᮨ ) untuk vokal /e/ tidak boleh digunakan pada Aksara Ngalagena ᮛ (ra) dan ᮜ (la). Untuk menulis "re" dan "le", digunakan bentuk khusus: ᮛᮨ (re) dan ᮜᮨ (le) tidak ada. Sebagai gantinya, ada aksara rekaan ᮬ (re) dan ᮭ (le).
- Penulisan Gugus Konsonan: Cara utama adalah dengan menggunakan pamaéh. Misalnya, untuk menulis "pra", bisa ditulis ᮕ᮪ᮛ (pa + pamaéh + ra). Namun, untuk gugus dengan /r/, /l/, dan /y/, lebih diutamakan menggunakan panyakra, panyiku, dan pamingkal. Contoh: ᮕᮢ (pra), ᮕᮣ (pla), ᮕᮡ (pya).
- Penulisan Kata Serapan: Untuk menulis bunyi yang tidak ada dalam fonologi Sunda asli, seperti F, V, Z, Q, X, digunakan Aksara Ngalagena rekaan (ᮖ, ᮗ, ᮐ, ᮋ, ᮟ). Contoh: "Fakultas" ditulis ᮖᮊᮥᮜ᮪ᮒᮞ᮪.
Tulisan Sunda di Era Digital: Tantangan dan Peluang
Kebangkitan tulisan Sunda tidak akan lengkap tanpa adaptasinya di dunia digital. Era teknologi informasi membawa tantangan sekaligus peluang besar bagi pelestarian dan penyebaran Aksara Sunda.
Standardisasi Unicode
Langkah paling krusial adalah pendaftaran Aksara Sunda ke dalam standar Unicode. Unicode adalah standar industri komputasi untuk pengkodean teks, memastikan bahwa setiap karakter dari setiap bahasa dapat ditampilkan secara konsisten di berbagai perangkat dan platform. Tanpa Unicode, Aksara Sunda hanya akan menjadi gambar, bukan teks yang bisa diproses komputer.
Berkat upaya para pegiat, Aksara Sunda secara resmi masuk dalam standar Unicode versi 5.1, yang dirilis pada April 2008. Aksara Sunda menempati blok U+1B80 hingga U+1BBF. Ini adalah kemenangan besar yang membuka gerbang bagi pengembangan lebih lanjut.
Pengembangan Font dan Papan Ketik
Dengan adanya standar Unicode, para desainer tipografi dapat menciptakan berbagai jenis font (typeface) yang mendukung Aksara Sunda. Kehadiran font yang baik secara estetika dan fungsional sangat penting untuk penggunaan aksara ini dalam desain grafis, percetakan, dan tampilan situs web. Beberapa font populer antara lain Sundanese Unicode dan Noto Sans Sundanese dari Google.
Selanjutnya, tantangan teknis adalah bagaimana cara mengetiknya. Para pengembang perangkat lunak telah menciptakan berbagai solusi:
- Papan Ketik Virtual (Keyboard): Untuk perangkat seluler (Android dan iOS), kini tersedia aplikasi papan ketik yang memungkinkan pengguna mengetik langsung dalam Aksara Sunda.
- Metode Input di Komputer: Untuk sistem operasi seperti Windows, macOS, dan Linux, telah dikembangkan metode input yang memungkinkan pengetikan Aksara Sunda menggunakan papan ketik Latin.
- Konverter Online: Banyak situs web menyediakan alat konversi (transliterator) dari tulisan Latin ke Aksara Sunda secara otomatis. Meskipun tidak selalu 100% akurat karena kompleksitas kaidah, alat ini sangat membantu pemula.
Penggunaan di Dunia Maya
Media sosial, blog, dan situs web menjadi arena baru bagi ekspresi menggunakan tulisan Sunda. Komunitas-komunitas online bermunculan, berbagi pengetahuan, karya seni kaligrafi digital, hingga meme dalam Aksara Sunda. Hal ini membuktikan bahwa aksara ini bukan lagi sekadar warisan kuno, melainkan bagian dari budaya pop dan komunikasi modern generasi muda Sunda.
Pemerintah daerah dan lembaga budaya juga mulai memanfaatkan media digital untuk sosialisasi. Situs web resmi, papan nama digital di ruang publik, dan konten edukasi di platform seperti YouTube semakin sering menampilkan Aksara Sunda sebagai bagian dari identitas visualnya.
Pentingnya Pelestarian dan Masa Depan Tulisan Sunda
Upaya revitalisasi yang telah dilakukan adalah sebuah permulaan yang gemilang, namun perjuangan untuk melestarikan tulisan Sunda masih panjang. Pelestarian bukan hanya tentang menyimpan aksara di museum atau mengajarkannya dalam beberapa jam pelajaran di sekolah. Pelestarian sejati adalah ketika aksara tersebut hidup dan digunakan oleh masyarakatnya.
Peran Pendidikan
Pendidikan formal memegang peran sentral. Memasukkan Aksara Sunda ke dalam kurikulum muatan lokal di semua jenjang pendidikan di Jawa Barat adalah langkah strategis. Namun, metode pengajaran haruslah kreatif dan relevan dengan dunia anak muda, misalnya melalui permainan, aplikasi, atau kompetisi menulis kreatif, agar tidak terasa sebagai beban hafalan.
Dukungan Pemerintah dan Komunitas
Konsistensi dukungan dari pemerintah sangat dibutuhkan, tidak hanya dalam bentuk regulasi, tetapi juga dalam implementasi nyata. Penggunaan Aksara Sunda pada papan nama jalan, gedung pemerintahan, dan media informasi publik secara masif akan membiasakan mata masyarakat dan menciptakan rasa bangga.
Di sisi lain, inisiatif dari komunitas-komunitas akar rumput seringkali menjadi motor penggerak yang paling efektif. Sanggar seni, kelompok literasi, para kreator konten, dan pegiat budaya memiliki fleksibilitas untuk menciptakan program-program inovatif yang menjangkau audiens lebih luas.
Menuju Penggunaan Sehari-hari
Tantangan terberat adalah mengembalikan Aksara Sunda ke dalam fungsi praktis sehari-hari, bahkan dalam skala kecil. Mungkin dimulai dari hal sederhana seperti menulis nama di profil media sosial, membuat ucapan selamat dalam bentuk kaligrafi Sunda, atau menggunakannya dalam karya seni dan produk kreatif. Semakin sering aksara ini terlihat dan digunakan, semakin kuat pula posisinya dalam lanskap budaya modern.
Kesimpulan: Sebuah Identitas yang Tertulis
Tulisan Sunda adalah lebih dari sekadar sistem abjad. Ia adalah cerminan perjalanan panjang sebuah peradaban, dari masa kerajaan kuno yang agung, melalui periode-periode sulit yang nyaris melenyapkannya, hingga perjuangan gigih untuk bangkit kembali di era modern. Setiap goresan Aksara Swara, setiap bentuk Aksara Ngalagena, dan setiap fungsi rarangkén menyimpan filosofi dan sejarahnya sendiri.
Mempelajari, menggunakan, dan melestarikan tulisan Sunda adalah sebuah tindakan untuk merawat ingatan kolektif dan memperkuat identitas budaya. Di tengah arus globalisasi yang seringkali menyeragamkan, memiliki dan menghidupkan kembali aksara sendiri adalah sebuah pernyataan kuat tentang siapa kita dan dari mana kita berasal. Tulisan Sunda adalah harta karun yang tak ternilai, sebuah warisan yang kini berada di tangan kita untuk dijaga, dikembangkan, dan diwariskan kepada generasi-generasi mendatang.