Membedah 10 Asas Fundamental dalam Hukum Pidana

Ilustrasi neraca keadilan sebagai simbol fundamental hukum pidana

Hukum pidana merupakan kerangka aturan yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh negara dan disertai sanksi berupa pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Namun, penegakan hukum pidana tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Ia harus berlandaskan pada prinsip-prinsip atau asas-asas fundamental yang menjamin kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia. Asas-asas ini berfungsi sebagai pilar penyangga, jiwa, dan pedoman bagi pembentuk undang-undang, penegak hukum, dan hakim dalam menjalankan sistem peradilan pidana. Memahami asas-asas ini secara mendalam berarti memahami esensi dari hukum pidana itu sendiri.

Di Indonesia, asas-asas ini sebagian besar terkodifikasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan sebagian lainnya berkembang melalui doktrin dan yurisprudensi. Kesepuluh asas ini saling berkaitan, membentuk sebuah sistem yang utuh untuk mencapai tujuan hukum pidana, yaitu melindungi masyarakat dari kejahatan sekaligus melindungi individu dari kesewenang-wenangan negara. Mari kita telaah satu per satu kesepuluh asas fundamental tersebut secara komprehensif.

1. Asas Legalitas (Principle of Legality)

Asas Legalitas adalah tiang pancang utama dalam hukum pidana modern. Asas ini terangkum dalam adagium Latin yang masyhur dari Paul Johann Anselm von Feuerbach: "Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali", yang berarti "tiada delik (tindak pidana), tiada pidana tanpa peraturan pidana yang mendahuluinya". Di Indonesia, asas ini secara tegas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan: "Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya."

Makna dan Implikasi Asas Legalitas

Asas ini mengandung beberapa konsekuensi penting yang menjadi benteng perlindungan bagi warga negara:

Pengecualian dan Perkembangan

Meskipun asas legalitas bersifat kaku, terdapat pengecualian yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP. Jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan setelah perbuatan dilakukan, maka yang diterapkan adalah ketentuan yang paling ringan bagi terdakwa. Pengecualian ini bukan untuk memberatkan, melainkan justru untuk menguntungkan terdakwa, sejalan dengan prinsip keadilan.

Dalam perkembangannya, terutama dalam konteks kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, prinsip non-retroaktif seringkali diperdebatkan. Hukum internasional mengakui kemungkinan penerapan asas retroaktif untuk kejahatan yang dianggap sebagai jus cogens (norma fundamental yang diakui komunitas internasional), dengan alasan bahwa perbuatan tersebut pada hakikatnya sudah merupakan kejahatan menurut kesadaran hukum universal, meskipun belum terkodifikasi dalam hukum nasional saat itu.

Unsur-unsur Turunan Asas Legalitas

Lebih jauh, asas legalitas dapat diurai menjadi beberapa komponen penting:

  1. Lex Scripta (Aturan Tertulis): Hukum pidana harus tertulis dalam bentuk undang-undang. Ini berarti hukum kebiasaan (adat) pada prinsipnya tidak dapat menjadi sumber langsung hukum pidana yang dapat menjatuhkan sanksi pidana, kecuali undang-undang secara tegas merujuk kepadanya. Tujuannya adalah untuk menjamin kepastian dan aksesibilitas hukum bagi seluruh masyarakat.
  2. Lex Stricta (Interpretasi Ketat): Hakim dilarang melakukan penafsiran secara analogi untuk memperluas cakupan suatu delik pidana. Analogi berarti menerapkan suatu ketentuan hukum pada suatu kasus yang tidak diatur secara eksplisit dalam ketentuan tersebut, karena dianggap memiliki kemiripan esensial. Hal ini dilarang karena akan menciptakan delik baru melalui putusan hakim, yang bertentangan dengan semangat asas legalitas. Namun, interpretasi ekstensif (memperluas makna kata dalam rumusan delik selama masih dalam batas wajar bahasa) masih diperbolehkan.

Singkatnya, asas legalitas adalah jaminan fundamental bagi kebebasan individu. Tanpa asas ini, tidak ada yang dapat merasa aman dari tuntutan pidana yang arbitrer dan tidak terduga.

2. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld)

Asas ini, yang juga dikenal dengan adagium Latin "actus non facit reum, nisi mens sit rea" (suatu perbuatan tidak membuat seseorang bersalah, kecuali jika ada niat jahat), menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana hanya karena perbuatannya secara fisik telah memenuhi rumusan delik. Untuk dapat dipidana, harus ada unsur "kesalahan" atau "pertanggungjawaban pidana" pada diri pelaku.

Konsep Kesalahan dalam Hukum Pidana

Kesalahan dalam konteks ini adalah suatu bentuk celaan psikologis yang dapat dialamatkan kepada pelaku karena telah melakukan tindak pidana, padahal ia mampu untuk berbuat sebaliknya. Konsep kesalahan ini mencakup dua elemen utama:

  1. Kemampuan Bertanggung Jawab: Pelaku haruslah orang yang dianggap mampu memahami makna dan akibat dari perbuatannya serta mampu mengendalikan kehendaknya. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab, seperti anak di bawah umur tertentu atau orang dengan gangguan jiwa berat (Pasal 44 KUHP), tidak dapat dipersalahkan dan karenanya tidak dapat dipidana.
  2. Bentuk Kesalahan (Dolus dan Culpa):
    • Kesengajaan (Dolus/Opzet): Pelaku menghendaki perbuatan yang dilarang dan menyadari akibatnya. Kesengajaan dapat berupa kesengajaan sebagai maksud (tujuan utama), kesengajaan dengan kesadaran kepastian (akibat lain pasti terjadi), atau kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan (mengetahui kemungkinan akibat lain dan menerima risikonya).
    • Kealpaan (Culpa): Pelaku tidak menghendaki akibat yang timbul, namun akibat tersebut terjadi karena kurangnya kehati-hatian, kelalaian, atau ketidaktelitian yang seharusnya dapat ia lakukan. Culpa dibedakan menjadi kealpaan berat (culpa lata) dan kealpaan ringan (culpa levis).

Alasan Peniadaan Kesalahan

Hukum pidana mengakui adanya kondisi-kondisi tertentu yang dapat menghapuskan unsur kesalahan, meskipun perbuatannya secara objektif melawan hukum. Kondisi ini disebut alasan pemaaf. Beberapa contoh alasan pemaaf antara lain:

Asas ini menegaskan bahwa hukum pidana tidak bersifat mekanistik. Ia tidak sekadar mencocokkan perbuatan dengan rumusan delik, tetapi juga menelisik ke dalam batin pelaku untuk menentukan ada tidaknya pertanggungjawaban pidana. Ini adalah cerminan dari hukum pidana yang berorientasi pada manusia.

3. Asas Teritorial (Territoriality Principle)

Asas teritorial adalah asas yang paling dasar dan universal dalam menentukan berlakunya hukum pidana suatu negara. Prinsip ini menyatakan bahwa undang-undang pidana suatu negara berlaku bagi setiap orang, baik warga negara maupun orang asing, yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah kedaulatan negara tersebut. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 2 KUHP: "Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia."

Cakupan Wilayah Kedaulatan

Wilayah "Indonesia" dalam konteks ini tidak hanya mencakup daratan, tetapi juga:

Asas ini didasarkan pada kedaulatan negara. Setiap negara berdaulat memiliki hak dan kewajiban utama untuk menjaga ketertiban dan keamanan di dalam wilayahnya sendiri. Kejahatan yang terjadi di dalam wilayahnya adalah gangguan langsung terhadap ketertiban tersebut, sehingga negara yang bersangkutan paling berkepentingan untuk mengadilinya.

Pengecualian Asas Teritorial

Meskipun bersifat fundamental, asas teritorial memiliki beberapa pengecualian yang diakui secara internasional, antara lain:

Asas teritorial memastikan bahwa hukum ditegakkan secara merata di dalam batas-batas negara, menciptakan tatanan yang stabil dan dapat diprediksi bagi semua orang yang berada di dalamnya.

4. Asas Personalitas / Nasionalitas Aktif (Active Personality Principle)

Berbeda dengan asas teritorial yang berpatokan pada lokasi kejahatan (locus delicti), asas personalitas aktif mendasarkan berlakunya hukum pidana pada status kewarganegaraan pelaku. Asas ini menyatakan bahwa hukum pidana suatu negara tetap berlaku bagi warga negaranya yang melakukan tindak pidana di luar negeri.

Di Indonesia, asas ini diatur dalam Pasal 5 KUHP. Pasal ini menyebutkan bahwa ketentuan pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan kejahatan-kejahatan tertentu di luar negeri, seperti kejahatan terhadap keamanan negara, pemalsuan mata uang, atau kejahatan jabatan. Asas ini juga berlaku untuk kejahatan lain yang diancam pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara tertentu, asalkan perbuatan tersebut juga merupakan tindak pidana di negara tempat kejahatan itu dilakukan (prinsip dual criminality).

Tujuan dan Rasionalitas

Rasionalitas di balik asas ini adalah:

Penerapan asas ini seringkali memerlukan kerja sama internasional, misalnya dalam pengumpulan bukti. Asas ini menunjukkan bahwa tanggung jawab hukum seorang warga negara tidak berhenti di batas teritorial negaranya.

5. Asas Perlindungan / Nasionalitas Pasif (Protective / Passive Personality Principle)

Asas perlindungan atau nasionalitas pasif memperluas yurisdiksi hukum pidana suatu negara untuk melindungi kepentingan nasionalnya dari kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun (baik warga negara maupun orang asing) di luar negeri. Fokus asas ini bukan pada pelaku atau lokasi, melainkan pada objek atau kepentingan yang dilanggar.

Dasar hukum asas ini di Indonesia adalah Pasal 4 KUHP, yang menyebutkan berlakunya hukum pidana Indonesia bagi setiap orang di luar Indonesia yang melakukan kejahatan terhadap:

Logika di Balik Asas Perlindungan

Kejahatan-kejahatan tersebut dianggap sangat membahayakan eksistensi dan stabilitas negara, sehingga negara memiliki kepentingan yang sangat kuat untuk menindaknya, di manapun dan oleh siapapun kejahatan itu dilakukan. Misalnya, kegiatan pemalsuan mata uang Rupiah yang dilakukan di luar negeri oleh sindikat asing secara langsung merusak stabilitas ekonomi Indonesia. Demikian pula dengan kegiatan spionase atau subversi yang direncanakan dan dilakukan dari luar negeri. Menunggu negara lain untuk menindak kejahatan semacam ini mungkin tidak efektif, karena negara tersebut mungkin tidak menganggapnya sebagai prioritas atau bahkan tidak memandangnya sebagai kejahatan.

Asas perlindungan adalah manifestasi dari hak negara untuk membela diri (right of self-defense) dari serangan terhadap kepentingan vitalnya, bahkan jika serangan itu berasal dari luar batas teritorialnya.

6. Asas Universalitas (Universality Principle)

Asas universalitas merupakan asas yurisdiksi pidana yang paling luas. Asas ini memberikan kewenangan kepada setiap negara untuk menuntut dan mengadili pelaku kejahatan tertentu yang dianggap sebagai musuh seluruh umat manusia (hostis humani generis), tanpa memandang kewarganegaraan pelaku, kewarganegaraan korban, atau lokasi kejahatan.

Kejahatan yang masuk dalam kategori ini adalah kejahatan internasional yang sangat serius, seperti:

Dasar Filosofis dan Yuridis

Dasar pemikiran asas ini adalah bahwa kejahatan-kejahatan tersebut begitu mengerikan dan mengancam nilai-nilai kemanusiaan fundamental sehingga setiap negara memiliki kepentingan, bahkan kewajiban, untuk menindaknya. Pelaku kejahatan semacam ini tidak boleh menemukan tempat berlindung yang aman (safe haven) di mana pun di dunia. Prinsip ini sering dirangkum dalam frasa "aut dedere aut judicare", yang berarti negara yang menangkap pelaku kejahatan universal harus memilih antara mengekstradisinya (menyerahkan) ke negara lain yang ingin mengadili atau mengadilinya sendiri.

Di Indonesia, meskipun tidak ada pasal tunggal dalam KUHP yang secara eksplisit merumuskan asas universalitas secara umum, partisipasi Indonesia dalam berbagai konvensi internasional (seperti Konvensi Jenewa tentang Hukum Perang atau Konvensi PBB Melawan Kejahatan Transnasional Terorganisasi) mengimplikasikan pengakuan dan penerapan asas ini untuk kejahatan-kejahatan tertentu. Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, misalnya, adalah wujud dari penerapan prinsip ini dalam skala nasional untuk kejahatan berat.

7. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)

Asas praduga tak bersalah adalah pilar utama dalam hukum acara pidana yang menjamin perlindungan hak asasi seorang tersangka atau terdakwa. Asas ini menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di muka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Asas ini secara tegas diatur dalam Penjelasan Umum KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan juga dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Ini bukan sekadar formalitas, melainkan prinsip yang memiliki implikasi praktis yang sangat signifikan dalam seluruh proses peradilan.

Implikasi Praktis Asas Praduga Tak Bersalah

Asas praduga tak bersalah adalah benteng terakhir yang melindungi individu dari potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh negara. Ia memastikan bahwa penghukuman hanya didasarkan pada bukti yang kuat dan proses hukum yang adil, bukan atas dasar kecurigaan atau tekanan publik.

8. Asas Oportunitas (Principle of Opportunity)

Asas oportunitas adalah prinsip yang memberikan kewenangan kepada penuntut umum untuk tidak melanjutkan penuntutan terhadap suatu perkara pidana dengan alasan demi kepentingan umum (demi kepentingan umum). Prinsip ini merupakan antitesis dari asas legalitas dalam arti sempit (yang menuntut setiap perkara yang memenuhi unsur delik harus dituntut).

Di Indonesia, asas oportunitas dianut secara terbatas dan pelaksanaannya merupakan hak prerogatif Jaksa Agung. Kewenangan ini disebut sebagai hak seponering (dari bahasa Belanda, seponeren). Jaksa Agung, setelah mempertimbangkan saran dari lembaga negara terkait, dapat mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Alasan dan Pertimbangan Penggunaan Hak Seponering

"Kepentingan umum" adalah konsep yang luas dan fleksibel. Beberapa pertimbangan yang dapat mendasari keputusan seponering antara lain:

Asas oportunitas menunjukkan bahwa penegakan hukum pidana bukanlah proses mekanis yang kaku. Ada kalanya, kearifan dan pertimbangan kemanfaatan sosial (utilitas) harus didahulukan daripada penerapan hukum secara harfiah. Namun, penggunaan asas ini harus dilakukan secara transparan dan akuntabel untuk menghindari penyalahgunaan wewenang.

9. Asas Ne Bis in Idem (Prohibition of Double Jeopardy)

Asas ne bis in idem, yang berarti "tidak dua kali dalam perkara yang sama", adalah sebuah prinsip fundamental yang melarang seseorang untuk dituntut dan diadili untuk kedua kalinya atas perbuatan yang sama yang telah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Asas ini diatur dalam Pasal 76 KUHP, yang menyatakan bahwa seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang sama yang telah diadili dan mendapat putusan akhir dari hakim. Putusan akhir ini dapat berupa putusan pemidanaan, putusan bebas (vrijspraak), atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).

Unsur-unsur Kunci dalam Ne Bis in Idem

Untuk dapat dikatakan melanggar asas ini, harus terpenuhi tiga unsur kumulatif:

  1. Orang yang Sama (Dezelfde Persoon): Tuntutan kedua harus ditujukan kepada orang yang sama dengan yang telah diadili pada tuntutan pertama.
  2. Perbuatan yang Sama (Hetzelfde Feit): Ini adalah unsur yang paling sering diperdebatkan. "Perbuatan yang sama" tidak selalu berarti rumusan delik yang sama, tetapi lebih kepada kompleks perbuatan materiil yang sama yang menjadi dasar tuntutan. Misalnya, seseorang yang telah diadili dan dibebaskan dari tuduhan pencurian mobil tidak dapat dituntut lagi atas dasar penggelapan mobil yang sama pada waktu dan tempat yang sama.
  3. Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap: Harus ada putusan akhir dari hakim yang tidak lagi dapat diajukan upaya hukum biasa (banding atau kasasi).

Tujuan Asas Ne Bis in Idem

Asas ini memiliki beberapa tujuan penting:

10. Asas Kemanusiaan dan Tujuan Pemidanaan

Asas ini mungkin tidak terkodifikasi secara eksplisit dalam satu pasal tunggal seperti asas lainnya, tetapi ia menjiwai seluruh sistem hukum pidana modern. Asas ini menyatakan bahwa proses penegakan hukum pidana, mulai dari penyidikan hingga pelaksanaan pidana, harus selalu menjunjung tinggi martabat manusia. Tujuan pemidanaan tidak lagi semata-mata sebagai pembalasan (retribusi), tetapi lebih berorientasi pada tujuan yang lebih manusiawi.

Pergeseran Paradigma Tujuan Pemidanaan

Secara historis, tujuan utama pidana adalah pembalasan (vergeldings-theorie). Seseorang yang bersalah harus menderita setimpal dengan penderitaan yang ia sebabkan. Namun, seiring dengan perkembangan peradaban, muncul teori-teori lain yang lebih humanis:

Manifestasi Asas Kemanusiaan

Asas kemanusiaan ini termanifestasi dalam berbagai aspek hukum pidana, seperti:

Asas ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap status "tersangka", "terdakwa", atau "terpidana", ada seorang manusia yang memiliki hak-hak dasar yang tidak dapat dicabut. Hukum pidana, pada akhirnya, harus bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik, bukan sekadar memproduksi penderitaan.


Kesepuluh asas hukum pidana ini bukanlah sekadar teori akademis yang kaku. Mereka adalah prinsip-prinsip hidup yang menjadi penopang sistem peradilan pidana yang adil, beradab, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dari jaminan kepastian hukum melalui Asas Legalitas, pengakuan martabat individu dalam Asas Praduga Tak Bersalah, hingga visi perbaikan dalam Asas Kemanusiaan, semuanya saling terkait untuk membentuk sebuah bangunan hukum yang kokoh. Memahami dan menghormati asas-asas ini adalah kewajiban bagi setiap praktisi hukum dan hak bagi setiap warga negara untuk menuntut peradilan yang sejati.

🏠 Homepage