Aristoteles, seorang pemikir Yunani kuno, sering disebut sebagai salah satu arsitek utama peradaban intelektual Barat. Murid Plato ini tidak hanya mewarisi tradisi filosofis gurunya, tetapi juga mengembangkannya dengan pendekatan yang jauh lebih empiris dan sistematis. Warisannya melintasi hampir setiap bidang pengetahuan, mulai dari fisika, biologi, etika, politik, hingga retorika dan logika. Kontribusinya sangat luas sehingga para filsuf abad pertengahan bahkan hanya merujuk kepadanya sebagai "Sang Filsuf" (The Philosopher).
Lahir di Stagira, Makedonia, Aristoteles bergabung dengan Akademi Plato di Athena pada usia muda dan tinggal di sana selama hampir dua dekade. Meskipun awalnya sangat terikat pada ajaran Plato—terutama teori Bentuk (Forms)—seiring waktu, Aristoteles mulai mengembangkan keraguan. Perbedaan utama terletak pada pandangan mereka mengenai realitas. Plato percaya bahwa esensi sejati benda ada di dunia ide yang terpisah (dunia transenden), sementara Aristoteles berpendapat bahwa esensi benda (bentuk) melekat di dalam benda itu sendiri (dunia imanen). Bagi Aristoteles, pengetahuan harus dimulai dari pengamatan dunia fisik.
Kontribusi Aristoteles yang mungkin paling abadi adalah penciptaannya terhadap logika formal, yang ia kumpulkan dalam karya Organon. Logika Aristoteles, khususnya teori silogisme, menjadi alat berpikir standar selama lebih dari dua milenium. Silogisme adalah bentuk penalaran deduktif di mana kesimpulan ditarik dari dua premis yang diasumsikan benar (misalnya: Semua manusia fana; Socrates adalah manusia; maka, Socrates fana). Sistem ini memberikan kerangka kerja yang kokoh untuk analisis, argumentasi, dan pembuktian ilmiah. Kemampuan untuk mengklasifikasikan dan memahami hubungan antar konsep melalui logika inilah yang memungkinkan kemajuan dalam berbagai disiplin ilmu.
Dalam bidang metafisika, Aristoteles memperkenalkan konsep substansi, potensi (dynamis), dan aktualisasi (energeia). Ia menggunakan kerangka kerja empat penyebab untuk menjelaskan keberadaan dan perubahan suatu objek:
Dalam etika, yang dibahas dalam Nicomachean Ethics, tujuan akhir kehidupan manusia adalah eudaimonia—sering diterjemahkan sebagai "kebahagiaan" atau "hidup yang berkembang." Kebahagiaan ini dicapai melalui tindakan kebajikan (virtue) yang merupakan jalan tengah (the golden mean) antara dua ekstrem. Misalnya, keberanian adalah jalan tengah antara kecerobohan (kelebihan) dan kepengecutan (kekurangan). Kebajikan bukanlah bakat bawaan, melainkan kebiasaan yang dikembangkan melalui praktik.
Selanjutnya, dalam Politik, Aristoteles menegaskan bahwa manusia adalah "hewan politik" (zoon politikon) yang secara alami harus hidup dalam komunitas (negara-kota atau polis) untuk mencapai potensi penuh mereka. Ia menganalisis berbagai konstitusi dan menyimpulkan bahwa bentuk pemerintahan terbaik, yang paling stabil, adalah 'politeia'—campuran oligarki dan demokrasi yang berorientasi pada kelas menengah.
Selain filsafat abstrak, Aristoteles adalah seorang naturalis ulung. Ia melakukan observasi ekstensif terhadap dunia hewan dan tumbuhan, mengumpulkan dan mengklasifikasikan ratusan spesies. Kontribusinya dalam biologi—seperti klasifikasi makhluk hidup berdasarkan kesamaan struktural dan fungsi—tetap menjadi landasan ilmu pengetahuan alam hingga periode modern awal. Pendekatan metodisnya dalam mengumpulkan data empiris sebelum menarik kesimpulan menjadi model bagi ilmu pengetahuan.
Secara keseluruhan, Aristoteles mewakili upaya besar untuk memahami alam semesta secara logis, empiris, dan terstruktur. Kejelasan sistematisnya membentuk kerangka kerja intelektual yang mendominasi pemikiran Barat, Islam, dan Yahudi selama Abad Pertengahan, dan pengaruhnya masih terasa kuat dalam setiap disiplin ilmu kontemporer.