Di era digital yang serba cepat ini, kemampuan untuk memahami, menggunakan, dan merefleksikan informasi menjadi semakin krusial. Inilah mengapa konsep Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), yang berfokus pada literasi dan numerasi, menjadi garda terdepan dalam reformasi pendidikan. AKM bukan sekadar ujian biasa; ia adalah alat ukur yang dirancang untuk mengidentifikasi kompetensi esensial yang dibutuhkan oleh seluruh siswa untuk dapat belajar sepanjang hayat dan berkontribusi produktif di masyarakat.
Literasi, dalam konteks AKM, tidak hanya terbatas pada kemampuan membaca dan menulis, tetapi meluas pada kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi berbagai jenis teks. Ini mencakup teks informatif, teks sastra, serta kemampuan berkomunikasi secara efektif baik lisan maupun tulisan. Di sisi lain, numerasi berkaitan erat dengan kemampuan berpikir menggunakan konsep, prosedur, dan fakta matematika untuk memecahkan masalah dalam berbagai konteks kehidupan. Kemampuan ini mencakup interpretasi data, pemahaman pola, penggunaan logika, dan penalaran matematis.
Kedua kompetensi ini merupakan fondasi bagi keberhasilan siswa dalam berbagai mata pelajaran dan dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata. Tanpa literasi yang kuat, siswa akan kesulitan memahami instruksi pelajaran, menganalisis informasi dari berbagai sumber, dan mengartikulasikan ide-ide mereka. Demikian pula, tanpa numerasi yang memadai, mereka akan kesulitan dalam mengambil keputusan yang rasional terkait keuangan, kesehatan, maupun pemahaman fenomena alam dan sosial yang seringkali melibatkan data dan perhitungan.
AKM dirancang secara berbeda dari ujian nasional sebelumnya. Alih-alih mengukur penguasaan materi pelajaran tertentu, AKM berfokus pada pengukuran kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills - HOTS) yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Soal-soal AKM biasanya disajikan dalam bentuk konteks yang lebih riil, yang menuntut siswa untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan mereka untuk menyelesaikan masalah.
Dalam subtes literasi, siswa akan dihadapkan pada berbagai jenis teks. Mereka mungkin diminta untuk mengidentifikasi informasi tersurat maupun tersirat, membuat simpulan, mengevaluasi kualitas argumen, dan menghubungkan informasi dalam teks dengan pengetahuan yang sudah dimiliki. Teks yang digunakan bisa beragam, mulai dari artikel berita, fiksi, hingga instruksi penggunaan produk.
Sementara itu, subtes numerasi akan menguji kemampuan siswa dalam memahami dan menggunakan angka, kuantitas, serta menggunakan penalaran matematis untuk memecahkan masalah. Ini bisa berupa soal cerita yang memerlukan interpretasi data dari tabel atau grafik, pemahaman konsep geometri dalam konteks sehari-hari, hingga perhitungan yang berkaitan dengan pengukuran dan skala. Soal-soal numerasi dirancang agar siswa dapat melihat relevansi matematika dalam kehidupan mereka.
Penerapan AKM bertujuan untuk mendorong perbaikan pembelajaran di Indonesia. Dengan mengetahui tingkat literasi dan numerasi siswa secara umum, pemerintah dan institusi pendidikan dapat:
AKM bukan untuk menghakimi siswa atau sekolah, melainkan sebagai alat diagnostik yang berharga. Hasil AKM diharapkan dapat menjadi dasar bagi guru dan pembuat kebijakan untuk merancang strategi pembelajaran yang lebih efektif, berpusat pada siswa, dan relevan dengan tuntutan zaman.
Dengan mengutamakan literasi dan numerasi sebagai kompetensi fundamental, AKM membuka jalan bagi terciptanya generasi muda Indonesia yang lebih kritis, adaptif, dan siap menghadapi segala tantangan di masa depan. Investasi pada literasi dan numerasi adalah investasi pada masa depan bangsa yang lebih cerah dan berdaya saing.