Panduan Lengkap Mengenai Arah Kloset Menurut Islam
Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh (syumul), mengatur setiap aspek kehidupan pemeluknya, dari urusan ibadah ritual hingga adab dalam aktivitas sehari-hari. Salah satu aspek yang seringkali luput dari perhatian namun memiliki dasar syariat yang kuat adalah etika saat buang hajat, khususnya mengenai arah kloset menurut Islam. Pertanyaan mengenai bolehkah kloset menghadap atau membelakangi kiblat menjadi pembahasan penting dalam fiqih Islam yang menunjukkan betapa luhurnya ajaran ini dalam menanamkan penghormatan terhadap simbol-simbol suci agama.
Pembahasan ini bukan sekadar tentang tata letak kamar mandi, melainkan tentang manifestasi keimanan dan ketakwaan seorang Muslim. Menghormati kiblat, yang merupakan arah salat dan simbol persatuan umat Islam di seluruh dunia, adalah bagian dari pengagungan terhadap syiar-syiar Allah. Artikel ini akan mengupas tuntas dasar hukum, pendapat para ulama, serta solusi praktis terkait permasalahan arah kloset di era modern, agar kita dapat menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai dengan tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Fondasi Utama: Penghormatan Terhadap Kiblat
Untuk memahami mengapa arah kloset menjadi sebuah pembahasan fiqih, kita harus terlebih dahulu memahami kedudukan kiblat dalam Islam. Kiblat, yang merujuk pada Ka'bah di Masjidil Haram, Mekkah, memiliki beberapa fungsi dan keutamaan yang sangat fundamental:
- Arah Salat: Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan umat Islam untuk menghadap ke arah Masjidil Haram saat melaksanakan salat. Ini adalah syarat sah salat dan menjadi simbol ketaatan serta kepatuhan kepada perintah-Nya.
- Simbol Persatuan Umat: Setiap hari, miliaran Muslim di seluruh penjuru dunia menghadap ke satu titik yang sama untuk beribadah. Ini menumbuhkan rasa persaudaraan, kesatuan, dan kebersamaan yang luar biasa, menghapus batasan geografis, etnis, dan budaya.
- Syiar Agung Allah: Ka'bah adalah Baitullah (Rumah Allah) yang pertama kali dibangun untuk manusia beribadah. Menghormatinya adalah bagian dari mengagungkan syiar-syiar Allah, sebagaimana firman-Nya, "Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati." (QS. Al-Hajj: 32).
Karena kemuliaan inilah, para ulama menetapkan adab-adab khusus terkait kiblat. Salah satu adab yang paling utama adalah larangan untuk menghadap atau membelakanginya saat sedang buang hajat (buang air kecil atau besar). Ini adalah bentuk penghormatan tertinggi, di mana seorang Muslim menjaga kesucian dan kemuliaan kiblat bahkan dalam kondisi yang paling pribadi sekalipun. Larangan ini didasarkan pada hadis-hadis yang shahih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalil-Dalil Syar'i Mengenai Arah Buang Hajat
Dasar hukum mengenai larangan ini bersumber langsung dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terdapat beberapa hadis utama yang menjadi rujukan para ulama dalam merumuskan hukum fiqih terkait masalah ini. Memahami hadis-hadis ini beserta konteksnya adalah kunci untuk mengerti perbedaan pendapat yang muncul di kalangan para fuqaha (ahli fiqih).
Hadis Abu Ayyub Al-Anshari: Larangan yang Tegas
Hadis ini merupakan dalil pokok yang paling sering dikutip dalam pembahasan arah kloset. Diriwayatkan dari sahabat mulia, Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
Artinya: "Jika kalian mendatangi tempat buang hajat, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya (saat buang air besar atau kecil). Akan tetapi, menghadaplah ke arah timur atau barat."
(HR. Bukhari no. 394 dan Muslim no. 264)
Abu Ayyub kemudian menceritakan pengalamannya, "Ketika kami tiba di Syam, kami mendapati WC-WC (kloset) telah dibangun menghadap ke arah Ka'bah. Maka kami pun mengubah arah (tubuh kami) darinya dan kami memohon ampun kepada Allah." Perkataan dan perbuatan Abu Ayyub ini menunjukkan betapa kuat pemahaman para sahabat terhadap larangan tersebut. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari posisi yang dilarang, bahkan ketika fasilitas yang ada tidak mendukung.
Konteks ucapan "menghadaplah ke arah timur atau barat" ditujukan kepada penduduk Madinah, di mana arah kiblat mereka adalah ke selatan. Dengan demikian, menghadap timur atau barat akan membuat mereka tidak menghadap atau membelakangi kiblat. Bagi kita di Indonesia, yang kiblatnya ke arah barat, maka anjurannya adalah menghadap ke utara atau selatan.
Hadis Abdullah bin Umar: Pengecualian di Dalam Bangunan?
Di sisi lain, terdapat hadis yang seolah-olah memberikan gambaran berbeda. Hadis ini diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, yang berkata:
ارْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِي، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ، مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ
Artinya: "Aku pernah naik ke atap rumah Hafshah untuk suatu keperluanku, lalu aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang buang hajat dengan membelakangi kiblat dan menghadap ke arah Syam (Baitul Maqdis)."
(HR. Bukhari no. 148 dan Muslim no. 266)
Hadis ini menjadi sangat penting karena menyajikan sebuah fakta di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terlihat dalam posisi membelakangi kiblat. Para ulama menganalisis konteks hadis ini dengan sangat cermat. Peristiwa ini terjadi di dalam sebuah bangunan (di atas atap rumah), bukan di tanah lapang atau padang pasir. Adanya dinding atau penghalang antara beliau dengan kiblat menjadi titik kunci yang membedakan hadis ini dengan hadis Abu Ayyub Al-Anshari.
Hadis Salman Al-Farisi dan Jabir bin Abdullah
Ada pula hadis dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu yang menguatkan larangan umum. Beliau berkata, "Sungguh, beliau (Nabi) telah melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar atau kecil..." (HR. Muslim no. 262).
Sementara itu, hadis dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu memberikan perspektif lain. Beliau berkata, "Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menghadap kiblat saat kencing, lalu aku melihat beliau setahun sebelum wafatnya, beliau kencing menghadap kiblat." (HR. Tirmidzi no. 9, dan dinilai hasan oleh sebagian ulama). Hadis ini oleh sebagian ulama dianggap menunjukkan adanya kelonggaran atau bahkan pencabutan (naskh) atas larangan sebelumnya. Namun, mayoritas ulama tidak mengambil kesimpulan ini dan lebih memilih untuk menggabungkan (al-jam'u) dalil-dalil tersebut.
Dari kumpulan dalil-dalil inilah lahir berbagai pandangan fiqih yang akan kita bahas secara mendalam.
Rincian Pendapat Para Ulama (Madhhab Fiqih)
Perbedaan dalam memahami dan menggabungkan dalil-dalil di atas melahirkan beberapa pendapat utama di kalangan ulama empat madhhab. Memahami ragam pendapat ini penting agar kita memiliki wawasan yang luas dan tidak mudah menyalahkan pandangan lain yang juga memiliki dasar argumen yang kuat.
Pendapat Pertama: Larangan Mutlak (Haram Secara Absolut)
Pendapat ini menyatakan bahwa larangan menghadap atau membelakangi kiblat saat buang hajat berlaku secara mutlak, baik di tempat terbuka (padang pasir) maupun di dalam bangunan tertutup (kamar mandi/toilet).
- Penganut Pendapat: Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah (madhhab Hanafi), salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh beberapa ulama terkemuka seperti Imam Mujahid dan Ibrahim An-Nakha'i.
- Dasar Argumen: Mereka berpegang pada keumuman lafaz hadis Abu Ayyub Al-Anshari ("Jika kalian mendatangi tempat buang hajat..."). Lafaz "al-ghaith" (tempat buang hajat) dianggap mencakup segala jenis tempat, baik terbuka maupun tertutup. Mereka memandang dalil larangan ini lebih kuat dan bersifat umum.
- Siklus terhadap Hadis Ibnu Umar: Mengenai hadis Ibnu Umar yang melihat Nabi membelakangi kiblat di dalam bangunan, mereka memiliki beberapa interpretasi:
- Itu adalah perbuatan khusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Kemungkinan hadis Ibnu Umar terjadi sebelum adanya larangan yang tegas dalam hadis Abu Ayyub.
- Perbuatan Nabi tidak bisa menandingi kekuatan larangan dalam bentuk ucapan yang ditujukan untuk seluruh umat. Kaidah ushul fiqih menyebutkan bahwa ucapan (qaul) lebih didahulukan daripada perbuatan (fi'l) jika terjadi pertentangan, karena ucapan bersifat umum untuk umat sedangkan perbuatan bisa jadi bersifat khusus.
Bagi penganut pendapat ini, tidak ada toleransi dalam hal arah kloset. Idealnya, setiap toilet harus dibangun dengan posisi menyamping dari arah kiblat, baik di utara maupun selatan (untuk konteks Indonesia).
Pendapat Kedua: Boleh di Dalam Bangunan, Terlarang di Tempat Terbuka (Pendapat Mayoritas)
Ini adalah pendapat yang paling populer dan dianut oleh mayoritas ulama. Mereka membedakan hukum antara buang hajat di tempat terbuka dengan di dalam bangunan yang memiliki dinding atau penghalang.
- Penganut Pendapat: Ini adalah pendapat madhhab Maliki, Syafi'i, dan pendapat yang paling masyhur dalam madhhab Hanbali. Ini juga merupakan pandangan dari banyak sahabat dan tabi'in.
- Dasar Argumen: Mereka menggunakan metode al-jam'u wat taufiq (menggabungkan dan menyelaraskan) dalil-dalil yang ada.
- Hadis Abu Ayyub Al-Anshari yang berisi larangan, dipahami berlaku untuk kondisi di tempat terbuka seperti padang pasir, di mana tidak ada penghalang antara orang tersebut dengan kiblat. Ini adalah bentuk penghormatan maksimal.
- Hadis Abdullah bin Umar yang menceritakan perbuatan Nabi, dipahami sebagai dalil yang membolehkan hal tersebut jika dilakukan di dalam bangunan atau di tempat yang ada penghalangnya (sutrah). Dinding bangunan dianggap sebagai penghalang yang cukup untuk menghilangkan hukum larangan.
- Logika Penghalang: Logika di balik ini adalah bahwa adanya penghalang (dinding, partisi) secara fisik dan simbolis telah memutus "hubungan langsung" antara orang yang buang hajat dengan Ka'bah. Sehingga, illat (alasan) dari larangan tersebut, yaitu kurangnya penghormatan, menjadi tidak relevan lagi karena adanya penghalang.
Menurut pendapat mayoritas ini, jika seseorang membangun rumah dan klosetnya berada di dalam ruangan tertutup (kamar mandi), maka secara hukum fiqih dibolehkan jika arahnya menghadap atau membelakangi kiblat. Namun demikian, banyak dari ulama penganut pendapat ini yang tetap menyatakan bahwa yang lebih utama (afdhal) dan lebih menunjukkan sikap kehati-hatian (wara') adalah dengan tetap menghindari arah kiblat meskipun di dalam bangunan. Ini sebagai bentuk keluar dari perselisihan ulama (khuruj minal khilaf) dan untuk meraih keutamaan yang lebih tinggi dalam beradab.
Pendapat Ketiga: Larangan Telah Dihapuskan (Naskh) atau Hanya Makruh
Pendapat ini lebih longgar dan menyatakan bahwa larangan yang ada pada awalnya telah dihapuskan (mansukh) oleh perbuatan Nabi yang terakhir, atau hukumnya tidak sampai haram melainkan hanya makruh (tidak disukai).
- Penganut Pendapat: Sebagian kecil ulama, terkadang merujuk pada pemahaman dari hadis Jabir bin Abdullah yang melihat Nabi buang hajat menghadap kiblat setahun sebelum wafatnya.
- Dasar Argumen: Mereka berargumen bahwa perbuatan Nabi yang terakhir menunjukkan hukum yang berlaku saat itu. Hadis Jabir dianggap sebagai dalil naskh (penghapus) bagi hadis Abu Ayyub yang melarang. Karena perbuatan terakhir Nabi membolehkan, maka larangan awal menjadi tidak berlaku lagi.
- Status Hukum: Sebagian lain yang tidak meyakini adanya naskh, melihat pertentangan dalil ini sebagai indikasi bahwa larangannya tidak bersifat tegas (haram), melainkan hanya anjuran untuk dihindari (makruh tanzih). Artinya, meninggalkannya lebih baik dan berpahala, tetapi jika dilakukan tidak sampai berdosa.
Pendapat ini adalah yang paling lemah di antara ketiganya menurut jumhur (mayoritas) ulama, karena metode penggabungan dalil (seperti pada pendapat kedua) lebih diutamakan daripada mengasumsikan adanya naskh selama dalil-dalil tersebut masih mungkin untuk diselaraskan.
Aplikasi Praktis di Era Modern
Setelah memahami landasan teori dan perbedaan pendapat ulama, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita mengaplikasikannya dalam kehidupan modern? Berikut adalah panduan praktis untuk berbagai situasi.
1. Saat Membangun atau Merenovasi Rumah
Ini adalah kondisi ideal. Jika Anda sedang dalam tahap perencanaan pembangunan rumah baru atau melakukan renovasi besar pada kamar mandi, maka inilah kesempatan terbaik untuk menerapkan adab ini secara sempurna.
- Konsultasikan dengan Arsitek/Tukang: Sampaikan sejak awal kepada arsitek atau kepala tukang bahwa Anda menginginkan posisi kloset tidak menghadap atau membelakangi kiblat.
- Tentukan Arah Kiblat dengan Akurat: Sebelum menentukan tata letak, pastikan Anda mengetahui arah kiblat yang presisi di lokasi rumah Anda. Gunakan kompas, aplikasi penentu arah kiblat yang terpercaya di ponsel, atau perhatikan arah masjid terdekat.
- Pilih Arah Samping: Posisikan kloset (baik kloset duduk maupun jongkok) agar menghadap ke arah utara atau selatan (jika kiblat di barat). Ini adalah posisi paling aman yang disepakati kebaikannya oleh semua ulama. Dengan melakukan ini, Anda telah mengamalkan sunnah, menunjukkan adab yang tinggi, dan keluar dari perselisihan pendapat.
2. Menghadapi Kloset yang Sudah Terpasang di Rumah Sendiri
Banyak dari kita tinggal di rumah yang sudah jadi, di mana kita tidak terlibat dalam proses desain kamar mandinya. Seringkali kita mendapati kloset di rumah kita sudah terpasang menghadap atau membelakangi kiblat. Apa yang harus dilakukan?
Mengacu pada pendapat mayoritas ulama, jika kloset berada di dalam bangunan tertutup, maka hal tersebut dimaafkan dan tidak berdosa. Namun, jika Anda ingin mengejar keutamaan dan sikap kehati-hatian, ada beberapa solusi:
- Solusi Ideal (Jika Memungkinkan): Jika Anda memiliki dana dan kesempatan, merenovasi posisi kloset adalah pilihan terbaik. Ini mungkin melibatkan pembongkaran lantai dan pemindahan pipa, namun hasilnya akan memberikan ketenangan batin.
- Solusi Praktis Tanpa Renovasi: Mengubah Posisi Tubuh. Ini adalah solusi yang paling mudah dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Saat menggunakan kloset, usahakan untuk tidak duduk dengan posisi lurus sempurna menghadap atau membelakangi kiblat.
- Geser Sedikit (Serong): Cukup dengan memiringkan atau menyerongkan tubuh Anda sedikit ke kanan atau ke kiri. Pergeseran sekitar 30-45 derajat sudah cukup untuk mengeluarkan Anda dari posisi lurus menghadap atau membelakangi kiblat.
- Pada Kloset Jongkok: Ini relatif lebih mudah dilakukan. Anda bisa berjongkok dengan posisi tubuh yang sedikit menyamping.
- Pada Kloset Duduk: Meskipun sedikit lebih sulit, ini tetap memungkinkan. Duduklah dengan posisi panggul yang agak miring ke satu sisi. Meskipun klosetnya tetap mengarah ke kiblat, yang terpenting adalah tubuh Anda saat proses buang hajat tidak lagi lurus menghadap atau membelakanginya.
Dengan melakukan ikhtiar sederhana ini, Anda telah menunjukkan niat dan usaha untuk mengamalkan adab yang diajarkan, dan insyaAllah itu sudah dinilai sebagai sebuah kebaikan.
3. Saat Menggunakan Toilet Umum, Hotel, atau Tempat Lainnya
Ketika berada di luar rumah, seperti di kantor, pusat perbelanjaan, hotel, atau fasilitas umum lainnya, kita sama sekali tidak memiliki kendali atas desain toilet. Dalam kondisi ini, berlaku beberapa kaidah:
- Tidak Ada Dosa bagi Pengguna: Tanggung jawab atas desain yang kurang tepat berada pada pihak yang membangun dan mendesain fasilitas tersebut. Sebagai pengguna, Anda tidak dibebani dosa atas hal tersebut.
- Tetap Berusaha Menerapkan Adab: Meskipun demikian, jika memungkinkan, tetap amalkan solusi praktis yaitu dengan menyerongkan posisi tubuh saat menggunakan kloset. Lakukan semampu Anda tanpa memberatkan diri sendiri.
- Fokus pada Kebersihan: Di toilet umum, adab lain yang tidak kalah penting adalah menjaga kebersihan (thaharah), beristinja dengan benar, dan tidak meninggalkan toilet dalam keadaan kotor yang dapat mengganggu pengguna lain.
Hikmah dan Filosofi di Balik Larangan
Syariat Islam tidaklah datang dengan aturan-aturan kosong tanpa makna. Di balik setiap perintah dan larangan, terkandung hikmah yang mendalam bagi kehidupan manusia. Demikian pula dengan adab mengenai arah buang hajat ini.
1. Pengagungan terhadap Syiar Allah
Ini adalah hikmah yang paling utama. Melarang perbuatan yang dianggap kurang pantas untuk dilakukan ke arah kiblat adalah cara Islam mendidik umatnya untuk senantiasa memiliki rasa hormat dan pengagungan (ta'zhim) terhadap simbol-simbol suci agama. Jika dalam keadaan paling pribadi dan tersembunyi saja kita dituntut untuk menghormati kiblat, maka tentu dalam keadaan lain yang lebih terbuka kita akan lebih menghormatinya lagi. Ini adalah latihan ketakwaan yang meresap hingga ke dalam sanubari.
2. Membangun Karakter Muslim yang Beradab
Islam adalah agama adab. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia. Adab di kamar mandi mengajarkan bahwa seorang Muslim adalah pribadi yang memperhatikan detail, memiliki rasa malu, dan menjaga kesopanan dalam segala situasi. Ini membentuk karakter yang utuh, di mana nilai-nilai luhur tidak hanya ditampilkan di ruang publik, tetapi juga dipraktikkan dalam kesendirian.
3. Pembeda dari Umat Lain
Pada masa awal Islam, ajaran-ajaran detail seperti ini menjadi pembeda yang jelas antara kaum Muslimin dengan kaum lainnya. Sebagaimana dalam hadis Salman Al-Farisi, ketika seorang musyrik berkata kepadanya dengan nada mengejek, "Sungguh, Nabi kalian telah mengajarkan kalian segala sesuatu sampai-sampai (adab) buang hajat." Salman dengan bangga menjawab, "Benar!" Ini menunjukkan bahwa kelengkapan ajaran Islam adalah suatu kebanggaan, bukan sesuatu yang memalukan.
Kesimpulan
Permasalahan mengenai arah kloset menurut Islam adalah cerminan dari kesempurnaan ajaran Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan. Dari pembahasan yang mendalam, dapat kita simpulkan beberapa poin penting:
- Hukum asal adalah terlarang untuk menghadap atau membelakangi kiblat saat buang hajat di tempat terbuka, berdasarkan hadis Abu Ayyub Al-Anshari.
- Terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hukumnya di dalam bangunan. Pendapat mayoritas (jumhur) ulama adalah membolehkannya karena adanya penghalang (dinding), berdasarkan penggabungan antara hadis Abu Ayyub dan hadis Ibnu Umar.
- Meskipun dibolehkan menurut pendapat mayoritas, sikap yang paling utama (afdhal) dan menunjukkan kehati-hatian (wara') adalah dengan tetap menghindari arah kiblat, bahkan di dalam bangunan sekalipun. Ini adalah cara untuk keluar dari perselisihan ulama dan meraih pahala yang lebih sempurna.
- Dalam situasi praktis, saat membangun rumah baru, usahakan untuk mendesain posisi kloset menyamping dari arah kiblat. Jika kloset sudah terpasang, solusi termudah adalah dengan menyerongkan posisi tubuh saat menggunakannya.
Pada akhirnya, niat dan usaha seorang hamba untuk mengikuti sunnah Nabinya adalah hal yang paling berharga di sisi Allah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa memberikan kita taufik untuk memahami agama ini dengan benar dan mengamalkannya dalam setiap detail kehidupan kita. Wallahu a'lam bish-shawab.