Dalam diskursus hukum dan sosial di Indonesia, nama Arif Gosita sering kali muncul dalam konteks yang erat kaitannya dengan isu perlindungan dan pemulihan korban kejahatan. Perannya, baik sebagai praktisi maupun pemikir, menyoroti betapa pentingnya perspektif korban dalam sistem peradilan pidana yang selama ini cenderung berfokus pada pelaku. Isu mengenai bagaimana korban diperlakukan, hak-hak mereka dipenuhi, dan bagaimana mereka dapat pulih dari trauma menjadi inti dari pembahasan seputar kontribusi pemikiran Arif Gosita.
Pergeseran Paradigma: Dari Pelaku ke Korban
Secara historis, sistem peradilan pidana cenderung menganut model retributif yang berpusat pada pembalasan terhadap pelaku. Pelaku adalah subjek utama yang dicari dan dihukum. Dalam model ini, korban sering kali dianggap hanya sebagai alat pembuktian (saksi) atau objek dalam kasus, bukan sebagai individu yang menderita dan memerlukan pemulihan. Arif Gosita, melalui analisisnya, konsisten menyuarakan perlunya pergeseran paradigma menuju keadilan restoratif atau setidaknya keadilan yang lebih sensitif terhadap korban.
Pergeseran ini menuntut agar hak-hak dasar korban diakui dan dilindungi sejak dini. Hak untuk mendapatkan informasi mengenai proses hukum, hak untuk aman selama persidangan, dan yang paling krusial, hak untuk mendapatkan ganti rugi atau reparasi atas kerugian yang diderita, sering kali terabaikan. Dalam banyak kasus kejahatan serius, trauma psikologis yang dialami korban bisa berlangsung jauh lebih lama daripada masa hukuman yang dijalani pelaku.
Tantangan dalam Penanganan Korban Kejahatan
Menangani masalah korban kejahatan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan struktural dan kultural. Secara struktural, belum semua aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian hingga hakim, memiliki pemahaman yang mendalam tentang viktimologi terapan. Hal ini sering menyebabkan viktimisasi sekunder—di mana korban justru mengalami perlakuan yang merugikan atau tidak sensitif dari sistem itu sendiri saat mereka mencari keadilan.
Misalnya, proses pelaporan yang berulang, pertanyaan yang menyudutkan, atau kurangnya fasilitas pendukung seperti rumah aman dan layanan konseling profesional. Pemikiran yang diusung oleh para ahli seperti Arif Gosita menekankan bahwa sistem harus dirancang untuk meminimalkan dampak negatif proses peradilan terhadap kondisi psikologis dan sosial korban.
Relevansi Perlindungan Hukum Bagi Korban
Relevansi pemikiran mengenai korban kejahatan semakin mendesak seiring dengan kompleksitas jenis kejahatan modern, termasuk kejahatan siber dan kekerasan berbasis gender. Dalam konteks ini, perlindungan bukan hanya berarti keamanan fisik, tetapi juga perlindungan data, privasi, dan martabat. Advokasi untuk undang-undang yang secara eksplisit mengatur restitusi dan rehabilitasi korban menjadi sangat vital. Restitusi harus dipandang sebagai bagian integral dari pemulihan, bukan sekadar tambahan opsional.
Pengakuan terhadap penderitaan korban juga membantu menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum. Ketika korban merasa didengar dan dilindungi, mereka lebih termotivasi untuk berpartisipasi aktif dalam proses pencarian keadilan. Hal ini pada akhirnya berkontribusi pada kualitas peradilan yang lebih baik secara keseluruhan.
Mendorong Implementasi Keadilan Restoratif
Salah satu solusi yang sering dikaitkan dengan isu korban adalah penerapan keadilan restoratif. Konsep ini bertujuan untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan melalui pertemuan antara korban, pelaku, dan komunitas yang relevan. Meskipun penerapan keadilan restoratif memerlukan kehati-hatian, terutama dalam kasus-kasus berat, prinsip dasarnya—yaitu memulihkan hubungan dan memulihkan korban—sangat sejalan dengan apa yang diperjuangkan oleh para pemikir yang fokus pada korban.
Fokus pada Arif Gosita masalah korban kejahatan adalah pengingat bahwa keadilan sejati tidak hanya diukur dari berapa banyak pelaku yang dipenjara, tetapi seberapa baik sistem mampu memulihkan mereka yang paling dirugikan. Upaya berkelanjutan diperlukan untuk mengintegrasikan perspektif korban secara substantif dalam setiap tahapan hukum, memastikan bahwa suara mereka didengar dan kebutuhan mereka terpenuhi.