Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, ada satu keinginan universal yang selalu membara di hati setiap manusia: kebahagiaan. Bagi Arif, keinginan ini terasa lebih mendesak. Arif, seorang pekerja kantoran berusia akhir dua puluhan, mendapati dirinya terjebak dalam siklus yang terasa hampa. Pagi hari dimulai dengan terburu-buru, siang hari dipenuhi rapat dan target, dan malam hari dihabiskan untuk menatap layar gawai, merasa lelah namun tidak terpenuhi. Arif ingin bahagia, namun definisi kebahagiaan itu sendiri terasa seperti ilusi yang terus menjauh.
Pada awalnya, Arif mendefinisikan kebahagiaan melalui lensa masyarakat umum: pencapaian materi. Ia bekerja keras mengejar promosi, membeli gadget terbaru, dan mencoba mengikuti tren gaya hidup yang dipromosikan media sosial. Namun, setiap kali ia mencapai sebuah target, euforia itu cepat memudar, digantikan oleh kekosongan baru dan kebutuhan untuk mencari pencapaian berikutnya. Pengalaman ini mengajarkannya sebuah pelajaran pahit: kebahagiaan eksternal adalah fondasi yang rapuh.
Titik balik bagi Arif datang ketika ia mulai merenung lebih dalam. Ia menyadari bahwa ia terlalu fokus pada "apa yang harus didapat" daripada "siapa dirinya seharusnya." Perasaan cemas dan stres kronis adalah tamu tetap dalam hidupnya. Ia mulai membaca buku-buku tentang pengembangan diri dan filsafat hidup. Ia menemukan bahwa kebahagiaan sejati, menurut banyak pemikir, berakar pada penerimaan diri, hubungan yang bermakna, dan tujuan hidup yang lebih besar dari diri sendiri.
Proses ini tidaklah instan. Arif harus berani menghadapi bayangannya sendiri. Ia mulai mempraktikkan mindfulness—sekadar duduk diam selama sepuluh menit setiap pagi, tanpa ponsel, hanya mengamati napas. Awalnya sulit; pikirannya berkelana ke tagihan, email, dan kekhawatiran masa depan. Namun, secara bertahap, momen hening itu mulai memberikan ruang bernapas bagi jiwanya yang selama ini sesak. Ia mulai menyadari bahwa kebahagiaan bukanlah tujuan akhir, melainkan cara seseorang menjalani perjalanannya.
Setelah menata batinnya, Arif mengalihkan fokusnya ke luar. Ia menyadari bahwa banyak momen kebahagiaannya datang dari interaksi tulus. Ia mulai meluangkan waktu berkualitas tanpa gangguan teknologi bersama keluarganya. Ia menghubungi teman-teman lama yang telah lama terabaikan. Hubungan sosial yang sehat adalah salah satu prediktor kebahagiaan paling kuat, dan Arif mulai berinvestasi di dalamnya.
Lebih jauh lagi, Arif menemukan makna dalam kontribusi. Ia memutuskan untuk menjadi relawan di dapur umum lokal setiap akhir pekan. Menyentuh kehidupan orang lain, bahkan dalam skala kecil, memberikan rasa tujuan yang tidak pernah bisa diberikan oleh kenaikan gaji. Melihat senyum syukur dari mereka yang ia bantu mengisi kekosongan yang selama ini ia coba tutupi dengan barang-barang konsumtif. Arif ingin bahagia, dan ternyata, kebahagiaan itu sering kali ditemukan saat kita memberi, bukan hanya menerima.
Perjalanan menuju kebahagiaan bukanlah jalan lurus tanpa hambatan. Arif belajar bahwa ada hari-hari buruk, saat kegagalan melanda, dan kesedihan tak terhindarkan. Perbedaan utama sekarang adalah bagaimana ia meresponsnya. Alih-alih melawan emosi negatif atau berpura-pura semuanya baik-baik saja (toxic positivity), Arif kini membiarkan dirinya merasakan kesedihan itu, memahaminya, dan kemudian melepaskannya. Kebahagiaan bukan berarti bebas dari masalah, melainkan memiliki ketahanan mental untuk menavigasi badai hidup dengan damai.
Kini, ketika ditanya tentang kebahagiaan, Arif mungkin tidak memiliki jawaban definitif. Kebahagiaannya mungkin terlihat sederhana: secangkir kopi yang dinikmati di pagi hari, tawa renyah bersama sahabat, atau kepuasan setelah menyelesaikan proyek yang berarti. Ia mengerti bahwa kebahagiaan adalah sebuah praktik harian, sebuah pilihan sadar untuk menghargai momen yang ada. Perjalanan Arif membuktikan bahwa keinginan tulus untuk bahagia adalah langkah pertama yang paling penting, dan proses pencariannya itu sendiri adalah hadiah terindah.