Ilustrasi: Perjalanan yang penuh pertimbangan.
Keputusan untuk kembali ke kampung halaman seringkali dibarengi dengan serangkaian emosi yang kompleks, terutama bagi Arif. Setelah sekian lama merantau, harapan untuk bertemu keluarga selalu menyelimuti benaknya. Namun, seiring mendekatnya hari kepulangan, optimisme itu mulai dibayangi oleh rasa takut yang menggerogoti: takut kecewa.
Arif telah membangun citra dirinya di kota besar. Ia menceritakan kesuksesan, kesulitan yang berhasil ia atasi, dan rencana masa depan yang gemilang kepada orang-orang di rumah. Setiap telepon, setiap pesan singkat, selalu dipenuhi dengan versi terbaik dari kehidupannya. Kini, saatnya menghadapi realitas di mana segala sesuatu mungkin tidak berjalan seindah yang ia gambarkan.
Ketakutan utamanya adalah bagaimana pandangan orang-orang terdekatnya akan berubah. Bagaimana jika pencapaiannya di mata orang kota ternyata dianggap remeh oleh pamannya yang lebih senior? Bagaimana jika harapan orang tuanya terhadap dirinya terlalu tinggi hingga ia merasa tercekik? Keraguan ini bukan tentang kegagalan total, melainkan ketakutan akan persepsi yang berbeda antara 'Arif yang di kota' dan 'Arif yang kembali sejenak'.
Di perantauan, Arif mungkin menemukan kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri tanpa terlalu banyak dihakimi oleh standar lingkungan lama. Namun, pulang berarti kembali memasuki struktur sosial yang sudah mapan. Ia khawatir bahwa meskipun rindu, ada jarak emosional yang terbentuk akibat waktu dan pengalaman yang berbeda. Akankah obrolan terasa canggung? Akankah ia merasa seperti orang asing di rumah sendiri?
Perjalanan pulang itu sendiri menjadi metafora bagi pertempuran batinnya. Setiap kilometer yang dilewati dari hiruk pikuk kota menuju jalanan desa terasa seperti mengupas lapisan-lapisan perlindungan yang ia bangun. Ia membayangkan senyum sambutan hangat, namun sisi pragmatisnya terus membisikkan kemungkinan-kemungkinan terburuk: kritik terselubung, pertanyaan sensitif mengenai status pernikahan, atau perbandingan dengan sepupunya yang lain.
Arif tahu bahwa rasa takut ini adalah bagian alami dari proses pendewasaan dan adaptasi. Kecewa seringkali muncul bukan karena orang lain tidak baik, tetapi karena perbedaan harapan. Untuk menanggulangi hal ini, ia mencoba mengubah fokusnya. Alih-alih berfokus pada penilaian orang lain, ia mencoba mengingatkan dirinya akan alasan utama ia pulang: cinta dan ikatan keluarga.
Ia mulai menyusun rencana mental. Jika ada pertanyaan yang mengusik, ia akan menjawab seperlunya dan segera mengalihkan topik. Jika ia merasa tidak dihargai, ia akan fokus pada momen kebersamaan yang singkat namun berharga—makanan buatan ibu, obrolan ringan dengan ayah, atau tawa bersama adik-adiknya. Momen-momen sederhana inilah yang seharusnya menjadi jangkar, bukan validasi atas kesuksesan karirnya.
Meskipun rasa takut itu nyata, harapan akan kehangatan rumah jauh lebih besar. Kepulangan adalah kesempatan untuk mengisi ulang energi, berbagi cerita secara langsung, dan mengingatkan diri sendiri dari mana ia berasal. Arif menyadari bahwa kekecewaan adalah risiko yang harus diterima demi mendapatkan kebahagiaan sejati yang hanya bisa diberikan oleh keluarga.
Saat ia akhirnya menjejakkan kaki di depan pintu rumahnya, semua keraguan itu seolah menguap tertiup angin. Rasa takut itu kini berganti menjadi kelegaan yang mendalam. Bagaimanapun juga, rumah adalah tempat di mana, meski ada perbedaan, penerimaan selalu menjadi bumbu utama. Dan itulah yang Arif cari, lebih dari sekadar pengakuan atas perjalanannya di dunia luar.