Kampung Naga, yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, bukan sekadar sebuah desa tradisional. Ia adalah sebuah permata budaya yang menyimpan kekayaan kearifan lokal yang tercermin kuat dalam setiap aspek kehidupannya, terutama dalam arsitektur rumah dan lingkungannya. Konsep arsitektur kampung naga merujuk pada gaya bangunan dan tata ruang yang tidak hanya fungsional, tetapi juga sarat makna, selaras dengan alam, dan diwariskan secara turun-temurun. Keunikan ini menjadikannya destinasi menarik bagi siapa saja yang ingin memahami warisan budaya Indonesia yang otentik.
Rumah tradisional Kampung Naga yang terbuat dari material alami.
Salah satu ciri paling menonjol dari arsitektur kampung naga adalah penggunaan material alami yang melimpah di sekitarnya. Hampir seluruh bangunan di Kampung Naga, mulai dari rumah tinggal hingga bangunan sarana umum, dibuat dari bambu dan kayu. Dinding rumah umumnya terbuat dari anyaman bambu (bilik), sementara kerangka dan tiangnya menggunakan kayu yang kuat. Atapnya pun khas, terbuat dari daun tepus atau ijuk yang memberikan kesan natural dan mampu meredam panas. Penggunaan material alami ini bukan hanya sekadar ketersediaan sumber daya, tetapi juga mencerminkan filosofi hidup masyarakat Kampung Naga yang menghargai dan menjaga keseimbangan alam.
Tata letak Kampung Naga juga sangat teratur dan mengikuti kontur tanah. Rumah-rumah dibangun berjejer di sepanjang jalan setapak yang terbuat dari susunan batu atau tanah padat. Setiap rumah memiliki halaman yang cukup luas dan ditanami berbagai jenis tumbuhan. Penataan ini menciptakan kesan harmonis dan fungsional, memudahkan interaksi antarwarga sekaligus menjaga estetika desa. Kepadatan bangunan diatur sedemikian rupa sehingga tidak menghilangkan ruang hijau, yang sangat vital bagi ekosistem desa.
Setiap detail dalam arsitektur kampung naga memiliki makna filosofis. Misalnya, struktur rumah yang umumnya berbentuk panggung (meskipun tidak terlalu tinggi) dipercaya sebagai adaptasi terhadap lingkungan dan juga memiliki makna simbolis dalam kosmologi masyarakat Sunda. Ruang-ruang di dalam rumah pun memiliki pembagian yang jelas, mencerminkan struktur sosial dan nilai-nilai keluarga. Area depan biasanya digunakan untuk menerima tamu, sementara bagian tengah untuk aktivitas keluarga, dan bagian belakang untuk kegiatan yang lebih privat.
Selain itu, pembangunan rumah di Kampung Naga memiliki aturan yang ketat dan melibatkan musyawarah adat. Terdapat larangan keras untuk menggunakan material modern seperti semen, beton, atau seng. Perubahan atau penambahan bangunan baru harus sesuai dengan kaidah dan tradisi yang telah ditetapkan oleh sesepuh adat. Hal ini memastikan bahwa identitas arsitektur Kampung Naga tetap terjaga lestari, menjadi cerminan dari keberlangsungan tradisi dan budaya.
Lingkungan Kampung Naga dikelilingi oleh hutan lebat dan sungai. Arsitekturnya dirancang untuk berintegrasi secara sempurna dengan lanskap alam tersebut. Hutan berfungsi sebagai paru-paru desa dan sumber material, sementara sungai menjadi sumber air dan elemen estetika yang menenangkan. Bangunan-bangunan tidak dibangun secara sporadis, melainkan ditempatkan pada titik-titik yang tidak mengganggu keseimbangan ekosistem.
Keberadaan pohon-pohon besar di sekitar rumah menambah keteduhan dan keasrian. Tidak ada bangunan tinggi yang mendominasi, sehingga pandangan mata bebas menikmati bentangan alam. Konsep "mapag kahanan, mapag jagad" (menyambut keadaan, menyambut dunia) tercermin di sini, di mana arsitektur adalah perpanjangan dari penghargaan terhadap alam semesta.
Upaya pelestarian arsitektur kampung naga menjadi sangat penting. Meskipun dunia terus berkembang dengan gaya arsitektur modern, Kampung Naga teguh pada pendiriannya untuk mempertahankan warisan leluhur. Penolakan terhadap material asing dan keterikatan pada tradisi menjadikan desa ini laboratorium hidup bagi studi arsitektur vernakular dan budaya.
Pemerintah dan berbagai pihak terkait terus berupaya mendukung pelestarian Kampung Naga, baik dari sisi fisik maupun non-fisik. Namun, kunci utama keberhasilan pelestarian ini terletak pada kesadaran dan komitmen masyarakat Kampung Naga itu sendiri untuk terus menjaga dan mewariskan nilai-nilai arsitektural dan filosofis yang terkandung di dalamnya. Arsitektur Kampung Naga bukan hanya sekadar tumpukan bambu dan kayu, melainkan cerminan jiwa dan identitas masyarakat yang hidup selaras dengan alam dan tradisi.
Simbol kesederhanaan dan keteraturan arsitektur.