Asas Akusator dan Inkisitor: Dua Jalan Menuju Kebenaran Hukum

Ilustrasi Perbandingan Sistem Akusator dan Inkisitor Di sisi kiri, model Akusator dengan dua pihak berhadapan dan hakim sebagai wasit. Di sisi kanan, model Inkisitor dengan hakim aktif mencari fakta dibantu pihak lain. Sistem Akusator Hakim (Wasit) Jaksa Pengacara Sistem Inkisitor Hakim (Penyidik) ?
Ilustrasi perbandingan sistem akusator dan inkisitor dalam hukum.

Dalam panggung besar peradilan, terdapat sebuah pertanyaan fundamental yang membentuk seluruh arsitektur proses hukum: Bagaimana cara terbaik untuk menemukan kebenaran? Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban tunggal. Sebaliknya, sejarah peradaban manusia telah melahirkan dua pendekatan utama, dua filosofi yang saling bertolak belakang dalam upaya mengungkap fakta dan menegakkan keadilan. Keduanya dikenal sebagai asas akusator (adversarial system) dan asas inkisitor (inquisitorial system). Keduanya bukan sekadar seperangkat aturan teknis, melainkan cerminan dari pandangan yang berbeda tentang peran negara, hak individu, dan esensi dari kebenaran itu sendiri.

Memahami kedua asas ini bukan hanya relevan bagi para praktisi hukum, tetapi juga bagi setiap warga negara yang mendambakan sistem peradilan yang adil dan transparan. Artikel ini akan membawa kita menyelami kedalaman kedua sistem tersebut, mengupas fondasi filosofisnya, menelusuri jejak historisnya, membedah anatomi dan karakteristik uniknya, hingga menganalisis bagaimana kedua asas ini berjalin kelindan dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia. Ini adalah perjalanan untuk memahami dua wajah pencarian keadilan yang telah dan terus membentuk dunia.

Fondasi Filosofis: Pertarungan Antara Kebenaran Formil dan Materiel

Sebelum membedah mekanisme teknis dari kedua sistem, kita harus terlebih dahulu memahami jiwa atau filosofi yang mendasarinya. Perbedaan paling mendasar antara sistem akusator dan inkisitor terletak pada konsepsi mereka tentang "kebenaran" yang hendak dicapai dalam proses peradilan.

Kebenaran Formil dalam Sistem Akusator

Sistem akusator, yang sering diidentikkan dengan tradisi hukum common law seperti di Inggris dan Amerika Serikat, tidak secara naif berasumsi bahwa pengadilan dapat mengungkap kebenaran absolut atau kebenaran yang sesungguhnya terjadi (kebenaran materiel). Sebaliknya, sistem ini mengejar apa yang disebut kebenaran formil (formal truth). Kebenaran formil adalah kebenaran yang terungkap dan terbukti di dalam persidangan berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang berseteru, sesuai dengan prosedur yang ketat.

Dalam pandangan akusator, pengadilan bukanlah forum investigasi, melainkan sebuah arena. Di arena ini, dua pihak yang berlawanan—penuntut umum (jaksa) yang mewakili negara dan terdakwa yang didampingi penasihat hukumnya—saling beradu argumen dan bukti.

Hakim berperan sebagai wasit yang netral dan pasif, memastikan pertarungan berjalan sesuai aturan main. Kebenaran dianggap akan muncul sebagai produk dari "benturan" dialektis antara dua narasi yang berlawanan ini. Asumsinya, jika kedua belah pihak diberikan kesempatan yang sama untuk menyajikan kasus mereka sekuat mungkin, maka versi yang paling mendekati kebenaranlah yang akan menang dan meyakinkan hakim atau juri. Dengan demikian, fokus utama sistem ini adalah pada keadilan prosedural (procedural justice). Selama prosedur diikuti dengan benar, maka hasil yang dicapai dianggap adil dan sah, meskipun mungkin tidak seratus persen mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi.

Kebenaran Materiel dalam Sistem Inkisitor

Di sisi lain, sistem inkisitor, yang dominan di negara-negara Eropa Kontinental dengan tradisi civil law, memiliki ambisi yang lebih besar. Tujuannya adalah untuk menemukan kebenaran materiel (substantive truth), yaitu kebenaran hakiki mengenai peristiwa pidana yang terjadi. Sistem ini tidak memandang pengadilan sebagai arena pertarungan, melainkan sebagai sebuah proses penyelidikan resmi yang dipimpin oleh negara untuk mengungkap fakta.

Dalam kerangka ini, hakim tidak berperan sebagai wasit pasif. Sebaliknya, hakim (terutama pada tahap investigasi) adalah figur sentral yang aktif mencari kebenaran. Ia memiliki wewenang untuk memerintahkan penyidikan, memanggil saksi, menunjuk ahli, dan secara aktif menggali bukti-bukti, terlepas dari apakah bukti tersebut menguntungkan atau merugikan terdakwa. Proses peradilan dilihat sebagai satu kesatuan investigasi yang berkesinambungan, dari tahap penyidikan oleh polisi dan jaksa, pemeriksaan oleh hakim investigasi, hingga puncaknya di persidangan.

Filosofi dasarnya adalah bahwa negara memiliki tanggung jawab utama untuk mengungkap kejahatan dan memastikan bahwa orang yang bersalah dihukum dan yang tidak bersalah dibebaskan. Oleh karena itu, pencarian kebenaran tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada kemampuan atau sumber daya para pihak yang berperkara.

Perbedaan filosofis ini melahirkan implikasi yang sangat luas pada seluruh aspek hukum acara, mulai dari peran hakim, jaksa, dan pengacara, hingga cara pengumpulan dan penyajian alat bukti di persidangan.

Jejak Sejarah: Evolusi Dua Tradisi Hukum

Asal-usul kedua sistem ini dapat ditelusuri kembali ke akar peradaban hukum yang berbeda, dibentuk oleh peristiwa sejarah, revolusi, dan pergeseran pemikiran selama berabad-abad.

Akar Sistem Akusator dalam Tradisi Common Law

Jejak sistem akusator dapat ditemukan dalam praktik hukum suku-suku Jermanik kuno, di mana sengketa diselesaikan melalui pertarungan atau sumpah. Namun, bentuk modernnya secara dominan berkembang di Inggris setelah Penaklukan Normandia. Sistem ini lahir dari ketidakpercayaan terhadap kekuasaan monarki yang absolut. Para bangsawan dan rakyat menuntut sebuah sistem di mana raja tidak bisa sewenang-wenang menuduh dan menghukum warganya.

Konsep persidangan oleh juri (trial by jury), yang terdiri dari orang-orang setara dengan terdakwa, menjadi benteng pertahanan terhadap tirani. Dalam sistem ini, negara (melalui penuntut) harus meyakinkan sekelompok warga negara biasa (juri) bahwa terdakwa bersalah tanpa keraguan. Ini memaksa proses pembuktian menjadi sebuah kontes terbuka. Peran hakim berevolusi menjadi pengawas prosedur, bukan penentu fakta. Tradisi ini kemudian diekspor ke seluruh koloni Inggris, termasuk Amerika Serikat, Kanada, dan Australia, dan menjadi ciri khas dari sistem hukum common law.

Kelahiran Sistem Inkisitor dari Hukum Romawi dan Revolusi

Sistem inkisitor memiliki akar yang lebih tua dalam tradisi hukum Romawi, terutama pada periode Kekaisaran akhir, di mana prosedur hukum mulai beralih dari sengketa privat menjadi investigasi publik yang dipimpin oleh pejabat negara. Namun, namanya yang sedikit "menyeramkan" berasal dari pengadilan gereja Abad Pertengahan, atau "Inkuisisi," yang bertugas memberantas bid'ah. Dalam proses tersebut, hakim gerejawi secara aktif menyelidiki, menginterogasi, dan mencari bukti kesalahan.

Meskipun demikian, sistem inkisitor modern yang sekuler dan rasional adalah produk dari Pencerahan dan Revolusi Prancis. Para pemikir reformis seperti Montesquieu dan Beccaria mengkritik sistem peradilan lama yang penuh dengan penyiksaan dan kerahasiaan. Mereka menginginkan sebuah sistem yang rasional, efisien, dan profesional. Hasilnya adalah kodifikasi hukum besar-besaran di bawah Napoleon Bonaparte, yang dikenal sebagai Code d'instruction criminelle. Kode ini melembagakan peran hakim investigasi (juge d'instruction) sebagai figur profesional yang bertugas mencari kebenaran secara objektif. Model ini kemudian diadopsi secara luas di seluruh Eropa Kontinental, seperti Jerman, Belanda, Italia, dan Spanyol, dan disebarkan ke koloni-koloni mereka, termasuk Hindia Belanda (Indonesia).

Anatomi Sistem Akusator: Pertarungan di Arena Hukum

Untuk memahami sistem akusator secara mendalam, kita perlu membedah komponen-komponen utamanya dan melihat bagaimana mereka berinteraksi dalam menciptakan sebuah drama persidangan.

Peran Pasif dan Netral Sang Hakim

Ciri paling menonjol dari sistem akusator adalah peran hakim sebagai wasit yang imparsial. Hakim tidak terlibat dalam pengumpulan bukti atau investigasi kasus. Tugas utamanya adalah memastikan bahwa "pertandingan" antara jaksa dan pengacara berjalan adil sesuai dengan aturan hukum acara (rules of evidence and procedure). Hakim memutuskan keberatan (objection) yang diajukan para pihak, menentukan bukti mana yang boleh dan tidak boleh disajikan kepada juri, dan memberikan instruksi hukum kepada juri sebelum mereka berdeliberasi. Hakim tidak boleh bertanya kepada saksi untuk menggali fakta baru; pertanyaannya terbatas pada klarifikasi. Di akhir persidangan, jika terdakwa dinyatakan bersalah oleh juri, hakimlah yang menentukan berat ringannya hukuman.

Jaksa dan Pengacara sebagai Gladiator Hukum

Dalam sistem ini, jaksa penuntut umum dan pengacara pembela adalah motor penggerak proses peradilan. Merekalah yang bertanggung jawab penuh untuk menginvestigasi kasus, mencari saksi, mengumpulkan bukti, dan menyajikannya di persidangan. Jaksa memiliki beban pembuktian (burden of proof), artinya ia harus membuktikan semua unsur tindak pidana hingga melampaui keraguan yang beralasan (beyond a reasonable doubt). Sementara itu, pengacara pembela tidak memiliki kewajiban untuk membuktikan kliennya tidak bersalah. Tugasnya adalah untuk menciptakan keraguan dalam kasus yang dibangun oleh jaksa, dengan cara menantang bukti, menyajikan alibi, atau menunjukkan kelemahan dalam narasi penuntutan.

Pemeriksaan Silang (Cross-Examination) sebagai Senjata Utama

Mekanisme sentral untuk menguji kebenaran dalam sistem akusator adalah melalui pemeriksaan saksi, yang terbagi menjadi dua tahap utama: pemeriksaan langsung (direct examination) dan pemeriksaan silang (cross-examination). Pada pemeriksaan langsung, pihak yang memanggil saksi akan mengajukan pertanyaan non-sugestif untuk membangun narasi mereka. Puncaknya adalah pemeriksaan silang, di mana pihak lawan mendapatkan kesempatan untuk menginterogasi saksi tersebut. Di sinilah kredibilitas saksi diuji habis-habisan. Pengacara dapat menggunakan pertanyaan sugestif (leading questions) untuk mengekspos inkonsistensi, kebohongan, atau bias dari keterangan saksi. Proses ini seringkali digambarkan sebagai momen paling dramatis dalam persidangan.

Kelebihan dan Kekurangan Sistem Akusator

Sistem ini memiliki beberapa kelebihan yang diakui. Pertama, sistem ini memberikan perlindungan yang kuat terhadap hak-hak individu. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) benar-benar ditegakkan, dan negara dibebani tugas berat untuk membuktikan kesalahan seseorang. Kedua, proses yang terbuka dan adversarial dianggap lebih transparan dan akuntabel. Publik dapat menyaksikan langsung bagaimana kebenaran diperdebatkan. Ketiga, pemisahan fungsi yang jelas antara penyelidik (polisi), penuntut (jaksa), dan adjudikator (hakim/juri) dianggap sebagai penyeimbang kekuasaan yang penting.

Namun, sistem ini juga tidak luput dari kekurangan. Kritik utama adalah bahwa sistem ini dapat berubah menjadi "pertarungan antar pengacara" ketimbang pencarian kebenaran. Pihak yang memiliki pengacara lebih terampil atau sumber daya lebih besar seringkali memiliki peluang menang yang lebih baik, terlepas dari fakta yang sebenarnya. Selain itu, sistem ini sangat mahal dan memakan waktu. Ketergantungan pada tawar-menawar pembelaan (plea bargaining), di mana terdakwa mengaku bersalah untuk mendapatkan hukuman lebih ringan, juga menjadi sorotan karena berpotensi menghukum orang yang tidak bersalah atau memberikan hukuman yang tidak setimpal bagi yang bersalah.

Anatomi Sistem Inkisitor: Hakim sebagai Pencari Fakta

Berbeda dengan drama di ruang sidang akusator, proses dalam sistem inkisitor lebih menyerupai sebuah penyelidikan metodis yang dipimpin oleh seorang profesional hukum.

Peran Sentral dan Aktif Sang Hakim

Di jantung sistem inkisitor, terutama dalam model klasiknya (seperti di Prancis), terdapat figur hakim investigasi (juge d'instruction) atau hakim pemeriksa. Hakim ini adalah pejabat yudisial independen yang bertanggung jawab atas tahap pra-persidangan. Ia memimpin penyelidikan, memiliki wewenang untuk memerintahkan penggeledahan, penyitaan, penyadapan, dan penahanan. Ia memeriksa saksi, terdakwa, dan korban untuk membangun sebuah berkas perkara (dossier) yang komprehensif. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan semua bukti yang relevan, baik yang memberatkan (à charge) maupun yang meringankan (à décharge) tersangka. Hakim harus bertindak secara netral, bukan sebagai bagian dari tim penuntut.

Di persidangan pun, hakim tetap memegang peran aktif. Hakim ketua majelislah yang pertama kali dan paling banyak bertanya kepada terdakwa dan saksi-saksi, berdasarkan berkas perkara yang telah disiapkan. Jaksa dan pengacara kemudian dapat mengajukan pertanyaan tambahan, tetapi dominasi tetap berada di tangan hakim.

Berkas Perkara (Dossier) sebagai Pusat Gravitasi

Alih-alih kejutan di persidangan, sistem inkisitor berpusat pada dossier atau berkas perkara. Ini adalah kumpulan dokumen tertulis yang berisi semua hasil penyelidikan: laporan polisi, transkrip interogasi, laporan ahli, foto, dan bukti-bukti lainnya. Berkas ini disusun secara cermat selama fase pra-persidangan dan dapat diakses oleh pihak pembela. Persidangan pada dasarnya adalah proses verifikasi dan peninjauan publik atas temuan-temuan yang ada di dalam dossier. Hal ini membuat prosesnya lebih dapat diprediksi dan mengurangi elemen "teater" yang sering terlihat dalam sistem akusator.

Peran Jaksa dan Pengacara yang Lebih Kolaboratif

Meskipun tetap memiliki peran yang berbeda, hubungan antara jaksa dan pengacara dalam sistem inkisitor cenderung tidak sekonfrontatif sistem akusator. Jaksa, sebagai bagian dari aparatur negara, juga terikat pada tujuan mencari kebenaran materiel, bukan sekadar "memenangkan" kasus. Pengacara pembela memiliki peran penting sejak awal tahap investigasi, memastikan hak-hak kliennya terlindungi selama pemeriksaan oleh hakim investigasi dan memiliki akses penuh terhadap dossier untuk mempersiapkan pembelaan. Peran mereka lebih kepada membantu hakim memastikan semua sudut pandang telah dipertimbangkan, ketimbang terlibat dalam pertempuran retorika.

Kelebihan dan Kekurangan Sistem Inkisitor

Kelebihan utama dari sistem ini adalah fokusnya yang kuat pada pencarian kebenaran materiel. Dengan hakim yang aktif dan netral memimpin investigasi, diharapkan hasilnya lebih objektif dan tidak terlalu dipengaruhi oleh ketimpangan sumber daya antara penuntut dan terdakwa. Prosesnya juga dianggap lebih efisien karena banyak isu yang sudah diselesaikan pada tahap pra-persidangan, sehingga persidangan bisa lebih singkat dan fokus.

Namun, sistem ini juga memiliki kelemahan yang signifikan. Risiko terbesar adalah potensi bias konfirmasi (confirmation bias) pada diri hakim. Jika seorang hakim investigasi telah membentuk opini awal bahwa tersangka bersalah, ia mungkin secara tidak sadar akan lebih fokus mencari bukti yang memberatkan dan mengabaikan bukti yang meringankan. Konsentrasi kekuasaan yang besar di tangan satu orang hakim juga menimbulkan kekhawatiran, meskipun ada mekanisme banding dan pengawasan. Selain itu, fase investigasi yang seringkali bersifat tertutup dapat mengurangi transparansi dan akuntabilitas publik jika dibandingkan dengan persidangan terbuka dalam sistem akusator.

Indonesia di Persimpangan Jalan: Hibridisasi Sistem Hukum

Sistem hukum acara pidana Indonesia merupakan contoh menarik dari perpaduan atau hibridisasi antara kedua sistem besar ini. Sebagai negara bekas jajahan Belanda, Indonesia mewarisi tradisi hukum Eropa Kontinental (civil law) yang kental dengan asas inkisitor. Namun, seiring dengan perkembangan demokrasi dan penekanan pada hak asasi manusia, banyak elemen dari sistem akusator yang diadopsi, terutama melalui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Warisan Inkisitor dari Zaman Kolonial

Sebelum KUHAP, hukum acara pidana di Indonesia diatur oleh Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Sistem ini sangat kental nuansa inkisitornya. Hakim memiliki peran yang sangat dominan, sementara peran penasihat hukum sangat terbatas. Proses pemeriksaan cenderung tertutup dan terdakwa berada dalam posisi yang lemah. Warisan ini masih terasa dalam beberapa aspek, misalnya kewenangan penyidik (polisi dan jaksa) yang sangat luas dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Hakim di persidangan juga masih sering mengambil peran yang sangat aktif dalam bertanya dan menggali fakta, jauh lebih aktif daripada hakim dalam sistem common law murni.

Adopsi Elemen Akusator dalam KUHAP

Lahirnya KUHAP merupakan sebuah reformasi besar yang secara sadar memasukkan prinsip-prinsip akusator untuk menyeimbangkan sistem yang ada. Beberapa elemen kunci yang diadopsi antara lain:

  1. Asas Praduga Tak Bersalah: Pasal 8 ayat (1) KUHAP secara eksplisit menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di muka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
  2. Pemisahan Fungsi: KUHAP memisahkan secara lebih tegas fungsi penyidikan (polisi), penuntutan (jaksa), dan mengadili (hakim). Meskipun dalam praktik koordinasi masih sangat erat, secara konseptual ini adalah pergeseran ke arah model akusator.
  3. Hak atas Bantuan Hukum: KUHAP memberikan hak yang kuat kepada tersangka/terdakwa untuk didampingi oleh penasihat hukum pada setiap tingkat pemeriksaan. Ini adalah pilar penting dalam sistem adversarial untuk memastikan kesetaraan senjata (equality of arms).
  4. Persidangan Terbuka untuk Umum: Prinsip ini menjamin transparansi dan kontrol publik terhadap proses peradilan, sebuah ciri khas dari sistem akusator.
  5. Pemeriksaan di Muka Sidang: Beban pembuktian dialihkan ke penuntut umum. Jaksa harus membuktikan dakwaannya dengan alat-alat bukti yang sah di muka persidangan yang dihadiri oleh terdakwa dan penasihat hukumnya, yang memiliki hak untuk menanyai saksi.

Tantangan dalam Praktik

Meskipun di atas kertas Indonesia bergerak menuju model yang lebih seimbang, praktiknya seringkali menunjukkan adanya ketegangan antara kedua asas ini. Di satu sisi, hakim diharapkan untuk bersikap pasif dan hanya menilai bukti yang diajukan para pihak. Namun di sisi lain, hakim juga memiliki kewajiban untuk mencari kebenaran materiel, yang mendorong mereka untuk bersikap aktif. Seringkali kita melihat hakim di Indonesia mengambil alih jalannya pemeriksaan dengan mengajukan pertanyaan mendalam kepada saksi dan terdakwa, sebuah praktik yang lebih mencerminkan tradisi inkisitor.

Penyelenggaraan sistem peradilan pidana Indonesia dapat digambarkan sebagai sebuah sistem yang unik: proses pra-persidangannya (penyidikan dan penuntutan) masih sangat kental dengan nuansa inkisitor, di mana negara melalui aparaturnya secara aktif mengumpulkan bukti dalam sebuah berkas perkara. Namun, proses persidangannya mengadopsi banyak mekanisme dari sistem akusator, di mana terjadi "pertarungan" bukti antara jaksa dan penasihat hukum di hadapan majelis hakim yang, meskipun aktif, tetap diharapkan bertindak sebagai penengah yang adil.

Kesimpulan: Sebuah Spektrum, Bukan Dikotomi

Perdebatan antara superioritas sistem akusator atau inkisitor adalah perdebatan yang tak akan pernah usai. Keduanya bukanlah sistem yang sempurna; masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan inheren. Sistem akusator unggul dalam melindungi hak-hak individu dan menjunjung tinggi keadilan prosedural, namun berisiko mengorbankan kebenaran materiel demi kemenangan dalam "pertarungan". Sebaliknya, sistem inkisitor berupaya keras menemukan kebenaran materiel, namun berisiko mengesampingkan hak-hak individu dan rentan terhadap bias jika tidak diawasi dengan ketat.

Pada akhirnya, tidak ada negara di dunia yang menerapkan salah satu sistem ini dalam bentuknya yang paling murni. Sebagian besar sistem hukum modern berada di dalam sebuah spektrum, meminjam elemen dari kedua tradisi untuk menciptakan model yang dianggap paling sesuai dengan nilai-nilai dan sejarah bangsa mereka. Indonesia adalah contoh nyata dari upaya dinamis ini, sebuah laboratorium hukum yang terus mencari titik keseimbangan ideal antara kewenangan negara dalam memberantas kejahatan dan kewajiban negara untuk melindungi hak setiap warganya.

Memahami asas akusator dan inkisitor memberi kita lensa untuk melihat lebih dalam bagaimana keadilan bekerja. Ini bukan hanya tentang aturan dan prosedur, tetapi tentang pilihan-pilihan filosofis yang mendasar mengenai bagaimana sebuah masyarakat memutuskan untuk mencari kebenaran, menyeimbangkan kekuasaan, dan pada akhirnya, mendefinisikan makna dari keadilan itu sendiri.

🏠 Homepage