Mengupas Tuntas Asas-Asas Fundamental Hukum Adat di Nusantara
Pendahuluan: Memahami Jiwa Hukum Bangsa
Hukum adat merupakan salah satu pilar fundamental dalam sistem hukum di Nusantara. Ia adalah hukum yang hidup, bernapas, dan berkembang bersama denyut nadi masyarakat. Berbeda dari hukum negara yang tertulis dalam kitab undang-undang, hukum adat berakar dari kebiasaan, nilai-nilai, dan pandangan hidup yang diwariskan secara turun-temurun. Ia adalah cerminan dari kearifan lokal, sebuah sistem norma yang mengatur segala aspek kehidupan, mulai dari hubungan antarindividu, kepemilikan harta, penyelesaian sengketa, hingga hubungan manusia dengan alam dan Sang Pencipta. Untuk dapat memahami hukum adat secara mendalam, kita tidak bisa hanya melihat pada aturan-aturan konkretnya. Kita perlu menyelami "jiwa"-nya, yaitu asas-asas yang menjadi landasan filosofis di baliknya. Asas-asas ini adalah prinsip-prinsip dasar yang abstrak, yang menjiwai dan memberi arah pada setiap norma dan praktik hukum adat di berbagai pelosok kepulauan.
Mempelajari asas-asas hukum adat bukan sekadar sebuah latihan akademis. Ini adalah upaya untuk memahami cara pandang bangsa Indonesia dalam memaknai keadilan, kebenaran, dan keteraturan sosial. Asas-asas ini mengungkapkan bahwa hukum tidak pernah terpisah dari konteks sosial, budaya, dan spiritualnya. Ia adalah sebuah jaringan yang terjalin erat, di mana setiap simpulnya saling terhubung dan memengaruhi. Dengan memahami prinsip-prinsip ini, kita dapat melihat mengapa sebuah sanksi adat tidak selalu bersifat menghukum, melainkan sering kali bertujuan untuk memulihkan keharmonisan. Kita juga akan mengerti mengapa kepemilikan tanah tidak hanya dilihat dari aspek ekonomis, tetapi juga memiliki dimensi komunal dan spiritual yang kuat. Artikel ini akan membawa kita menyelami lautan kearifan tersebut, mengupas satu per satu asas fundamental yang menjadi fondasi dari bangunan megah bernama hukum adat.
Definisi dan Karakteristik Asas Hukum Adat
Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk menyamakan persepsi mengenai apa itu "asas hukum adat". Sebuah asas bukanlah peraturan hukum yang konkret. Jika peraturan hukum menjawab pertanyaan "bagaimana sesuatu harus dilakukan?", maka asas menjawab pertanyaan "mengapa sesuatu harus dilakukan dengan cara itu?". Asas adalah pikiran dasar yang bersifat umum, sebuah landasan fundamental yang menjadi latar belakang lahirnya peraturan-peraturan hukum yang lebih spesifik. Ia adalah jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh norma hukum adat, memberikan kehidupan dan makna.
Asas hukum adat memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dari asas-asas dalam sistem hukum lainnya:
- Tidak Tertulis: Sebagian besar asas hukum adat tidak dikodifikasikan dalam bentuk tulisan. Ia hidup dalam kesadaran kolektif masyarakat, diungkapkan melalui pepatah, petitih, mitos, dan dipraktikkan dalam upacara serta kehidupan sehari-hari.
- Dinamis dan Fleksibel: Karena tidak tertulis, asas ini memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi. Ia dapat berkembang dan ditafsirkan ulang sesuai dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat, tanpa harus melalui proses legislasi formal yang kaku.
- Bersifat Universal Lokal: Meskipun bentuk praktik hukum adat bisa sangat beragam antar daerah, asas-asas yang mendasarinya sering kali memiliki kesamaan. Asas kebersamaan, misalnya, dapat ditemukan dalam berbagai wujud di seluruh Nusantara, dari Sabang hingga Merauke.
- Menjunjung Tinggi Harmoni: Tujuan utama dari hukum adat bukanlah untuk mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah, melainkan untuk memulihkan keseimbangan dan harmoni yang terganggu akibat suatu peristiwa.
Asas-Asas Utama dalam Hukum Adat
Berikut adalah penjelajahan mendalam terhadap beberapa asas fundamental yang menjadi tulang punggung hukum adat di Indonesia.
1. Asas Komunal (Kebersamaan atau Gotong Royong)
Ini adalah asas yang mungkin paling fundamental dan paling menonjol dalam hukum adat. Asas komunal atau kebersamaan menyatakan bahwa kepentingan bersama (komunitas) selalu ditempatkan di atas atau setidaknya sejajar dengan kepentingan individu. Individu tidak dilihat sebagai entitas yang terpisah, melainkan sebagai bagian tak terpisahkan dari suatu kesatuan masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap).
Filosofi di Baliknya: Pandangan ini lahir dari kesadaran bahwa kelangsungan hidup individu sangat bergantung pada komunitasnya. Keamanan, kesejahteraan, dan bahkan identitas seseorang melekat pada kelompoknya. Oleh karena itu, setiap tindakan individu selalu memiliki implikasi bagi seluruh komunitas. Konsep "aku" seringkali larut dalam konsep "kita".
Manifestasi dalam Praktik:
- Hak Ulayat: Contoh paling jelas dari asas komunal adalah konsep hak ulayat atas tanah. Tanah bukanlah milik individu secara absolut, melainkan milik bersama komunitas adat. Individu atau keluarga memiliki hak untuk menggarap, memanfaatkan, dan menikmati hasilnya, tetapi tidak dapat mengasingkan (menjual) tanah tersebut kepada pihak luar tanpa persetujuan dari seluruh komunitas atau pimpinannya. Komunitas memiliki wewenang tertinggi untuk mengatur peruntukan dan pemanfaatan tanah demi kesejahteraan bersama.
- Tanggung Jawab Renteng: Dalam beberapa masyarakat adat, jika seorang anggota melakukan pelanggaran yang merugikan pihak luar, maka seluruh keluarganya atau bahkan klannya ikut bertanggung jawab untuk membayar denda atau ganti rugi. Ini menunjukkan bahwa aib atau utang seorang individu adalah aib atau utang bagi seluruh kelompoknya.
- Gotong Royong: Praktik gotong royong dalam mendirikan rumah, mengerjakan sawah, atau mempersiapkan upacara adat adalah manifestasi nyata dari asas ini. Ini bukan sekadar bantuan sukarela, melainkan sebuah kewajiban sosial yang diatur oleh hukum adat. Siapa yang tidak berpartisipasi dapat dikenai sanksi sosial.
- Penyelesaian Sengketa: Dalam penyelesaian sengketa, tujuan utamanya bukan untuk menghukum pelaku, tetapi untuk mendamaikan para pihak dan memulihkan hubungan baik di dalam komunitas. Keputusan yang diambil selalu mempertimbangkan dampaknya terhadap keutuhan dan kerukunan masyarakat.
Dalam konteks modern, asas komunal sering berhadapan dengan konsep individualisme yang dibawa oleh hukum Barat, terutama dalam hal kepemilikan tanah. Namun, asas ini juga menawarkan kearifan yang sangat relevan untuk isu-isu kontemporer seperti pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan dan penguatan modal sosial.
2. Asas Religio-Magis (Ketuhanan dan Kegaiban)
Asas religio-magis atau Ketuhanan menyatakan bahwa ada hubungan yang tak terpisahkan antara dunia nyata (sekala) dengan dunia gaib (niskala). Hukum, alam, dan manusia adalah bagian dari tatanan kosmis yang diatur oleh kekuatan supranatural, baik itu Tuhan Yang Maha Esa, dewa-dewi, maupun roh leluhur. Pelanggaran terhadap hukum adat tidak hanya dianggap sebagai perbuatan yang merugikan sesama manusia, tetapi juga sebagai tindakan yang mengganggu keseimbangan kosmis dan dapat mendatangkan murka dari kekuatan gaib.
Filosofi di Baliknya: Masyarakat adat memandang alam semesta sebagai entitas yang hidup dan berjiwa. Gunung, hutan, sungai, dan batu besar diyakini memiliki "penunggu" atau kekuatan spiritual. Leluhur yang telah tiada diyakini masih mengawasi dan melindungi keturunannya. Oleh karena itu, setiap aktivitas penting dalam kehidupan harus didahului dengan ritual atau upacara untuk memohon izin dan restu dari kekuatan-kekuatan tersebut.
Manifestasi dalam Praktik:
- Upacara Adat dalam Transaksi Hukum: Banyak perbuatan hukum yang baru dianggap sah jika disertai dengan upacara adat. Misalnya, pembukaan lahan baru harus didahului dengan ritual untuk meminta izin kepada "penunggu" hutan. Perjanjian penting sering kali dikukuhkan dengan sumpah yang diucapkan di tempat keramat, dengan keyakinan bahwa kutukan akan menimpa siapa pun yang melanggar sumpah tersebut.
- Sanksi Adat Bersifat Spiritual: Sanksi atas pelanggaran berat tidak hanya berupa denda material, tetapi juga kewajiban untuk melaksanakan upacara pembersihan atau tolak bala. Tujuannya adalah untuk membersihkan desa atau komunitas dari "panas" atau energi negatif yang timbul akibat pelanggaran tersebut dan memulihkan kembali hubungan baik dengan dunia gaib.
- Tanah dan Tempat Keramat: Ada area-area tertentu (hutan larangan, mata air keramat) yang tidak boleh dimasuki atau dieksploitasi sembarangan karena dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh atau kekuatan suci. Aturan ini, selain memiliki makna spiritual, secara tidak langsung juga berfungsi sebagai mekanisme konservasi alam yang efektif.
- Peran Pemimpin Adat: Pemimpin adat seringkali tidak hanya berfungsi sebagai hakim atau administrator, tetapi juga sebagai perantara antara dunia manusia dengan dunia roh. Mereka dianggap memiliki pengetahuan dan kekuatan spiritual untuk menjaga keseimbangan kosmis.
Asas ini menunjukkan bahwa bagi masyarakat adat, hukum bukanlah ciptaan manusia semata, melainkan memiliki sanksi dan legitimasi yang lebih tinggi, yaitu dari tatanan supranatural. Ini membuat hukum adat ditaati bukan hanya karena takut pada sanksi sosial, tetapi juga karena takut pada akibat gaib yang bisa menimpa diri, keluarga, dan komunitas.
3. Asas Kontan (Terang dan Tunai)
Asas ini merupakan salah satu asas paling fundamental dalam hukum perikatan dan transaksi adat. "Kontan" di sini memiliki dua makna yang saling melengkapi: terang dan tunai.
Terang berarti setiap perbuatan hukum, terutama yang berkaitan dengan pemindahan hak (seperti jual beli, hibah, atau perkawinan), harus dilakukan secara terbuka, di hadapan banyak orang, atau setidaknya diketahui oleh pejabat adat dan para saksi. Tujuannya adalah untuk menciptakan publisitas, agar seluruh komunitas mengetahui bahwa telah terjadi suatu peralihan hak. Transaksi yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dianggap tidak sah atau setidaknya mencurigakan.
Tunai berarti bahwa prestasi dan kontra-prestasi dilakukan pada saat yang bersamaan. Ketika suatu hak dialihkan, maka kewajiban yang menyertainya harus langsung dipenuhi saat itu juga. Tidak ada konsep penundaan pembayaran atau penyerahan barang di kemudian hari seperti dalam konsep akad kredit modern. Perbuatan hukum dianggap selesai dan tuntas pada saat itu juga.
Filosofi di Baliknya: Dalam masyarakat yang budayanya lisan dan tidak mengenal sistem pencatatan tertulis, publisitas dan ketuntasan transaksi adalah cara untuk menjamin kepastian hukum. Dengan disaksikan banyak orang, ingatan kolektif masyarakat menjadi "dokumen" hidup yang membuktikan keabsahan transaksi tersebut. Sifat tunai mencegah timbulnya sengketa di kemudian hari akibat janji yang tidak ditepati.
Manifestasi dalam Praktik:
- Jual Beli Tanah Adat: Proses jual beli tanah adat seringkali melibatkan upacara kecil yang dihadiri oleh kepala adat, tetua, dan para tetangga. Pembayaran harga tanah dilakukan di lokasi, dan pada saat yang sama, penjual secara simbolis menyerahkan segenggam tanah kepada pembeli sebagai tanda penyerahan hak. Peristiwa ini menjadi ingatan bagi semua yang hadir.
- Perkawinan Adat: Pembayaran mahar atau belis (jujur) oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan seringkali menjadi puncak dari prosesi perkawinan. Penyerahan mahar ini dilakukan secara terang-terangan dan menandai sahnya perpindahan status perempuan dari keluarganya ke keluarga suaminya. Perkawinan dianggap sah dan tuntas setelah mahar diserahkan dan diterima.
- Jual Beli Lepas: Dalam transaksi di pasar tradisional, prosesnya sangat kontan. Barang diserahkan, uang diterima, dan transaksi selesai. Tidak ada konsep "bon" atau utang. Semuanya harus lunas pada saat itu juga.
Asas kontan menunjukkan betapa hukum adat sangat mengutamakan kepastian hukum yang bersifat langsung dan dapat diverifikasi secara sosial, sebagai ganti dari ketiadaan bukti-bukti tertulis seperti akta dan sertifikat.
4. Asas Konkret (Nyata dan Visual)
Asas konkret atau nyata berjalan seiring dengan asas kontan. Asas ini menyatakan bahwa setiap hubungan hukum atau perbuatan hukum harus diwujudkan dalam bentuk tanda atau tindakan yang nyata, yang dapat dilihat, dirasakan, dan dipahami secara indrawi. Hukum adat tidak menyukai hal-hal yang bersifat abstrak atau hanya berada dalam angan-angan. Semua harus dibuat menjadi konkret.
Filosofi di Baliknya: Sama seperti asas kontan, asas konkret lahir dari kebutuhan akan kepastian dalam budaya lisan. Sesuatu yang dapat dilihat atau disentuh lebih mudah diingat dan dibuktikan daripada janji atau kesepakatan verbal semata. Tanda yang nyata berfungsi sebagai "jangkar" ingatan bagi para pihak dan masyarakat.
Manifestasi dalam Praktik:
- Tanda Jadi (Panjar): Ketika seseorang hendak membeli sesuatu tetapi belum bisa membayar lunas, ia akan memberikan panjar atau uang muka. Pemberian panjar ini bukan sekadar cicilan, melainkan tanda konkret bahwa telah ada ikatan hukum antara penjual dan pembeli. Ikatan ini menjadi nyata dan dapat dilihat melalui uang panjar tersebut.
- Simbol dalam Pemindahan Hak: Dalam hibah atau waris, penyerahan hak seringkali disimbolkan dengan penyerahan benda pusaka atau benda lain yang mewakili harta tersebut. Misalnya, penyerahan sebilah keris dapat melambangkan penyerahan seluruh harta warisan. Tindakan fisik ini membuat pemindahan hak yang abstrak menjadi sangat konkret.
- Penentuan Batas Tanah: Batas-batas tanah adat tidak ditentukan oleh koordinat GPS atau sertifikat, melainkan oleh tanda-tanda fisik yang nyata di alam, seperti pohon besar, batu, sungai, atau gundukan tanah. Tanda-tanda ini adalah wujud konkret dari batas kepemilikan.
- Simbol Perkawinan: Pertukaran cincin, sirih pinang, atau benda-benda lainnya dalam upacara perkawinan adalah tanda konkret dari ikatan yang terjalin antara dua keluarga. Benda-benda ini menjadi bukti nyata dari adanya hubungan hukum baru.
Asas konkret mengajarkan bahwa dalam hukum adat, "melihat adalah percaya". Keabsahan sebuah tindakan hukum sangat bergantung pada kemampuannya untuk dimanifestasikan dalam dunia nyata melalui simbol dan tindakan yang kasat mata.
5. Asas Musyawarah untuk Mufakat
Berbeda dengan sistem hukum negara yang seringkali bersifat adversial (mencari pemenang melalui perdebatan di pengadilan), hukum adat mengedepankan asas musyawarah untuk mencapai mufakat. Ini adalah proses pengambilan keputusan atau penyelesaian sengketa yang melibatkan semua pihak terkait untuk berunding, berdialog, dan mencari solusi yang dapat diterima oleh semua orang (konsensus), bukan berdasarkan suara mayoritas.
Filosofi di Baliknya: Asas ini berakar kuat pada asas komunal. Tujuan utama bukanlah untuk membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah secara absolut, melainkan untuk menjaga keutuhan dan kerukunan komunitas. Keputusan yang dipaksakan oleh mayoritas dianggap akan meninggalkan luka dan potensi konflik di kemudian hari. Mufakat atau konsensus memastikan bahwa tidak ada pihak yang merasa kalah atau direndahkan, sehingga harmoni sosial tetap terjaga.
Manifestasi dalam Praktik:
- Peradilan Adat: Ketika terjadi sengketa, para pihak akan dipanggil untuk duduk bersama di hadapan kepala adat atau dewan tetua. Setiap pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangannya tanpa interupsi. Para tetua kemudian tidak bertindak sebagai hakim yang memvonis, melainkan sebagai fasilitator atau penengah yang membimbing para pihak untuk menemukan titik temu. Proses ini bisa berlangsung lama, tetapi akan terus diupayakan hingga tercapai kesepakatan yang memuaskan semua.
- Pengambilan Keputusan Komunitas: Dalam memutuskan hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama, seperti pembangunan irigasi desa atau penyelenggaraan upacara besar, akan diadakan rapat seluruh warga. Dalam rapat ini, semua suara didengarkan. Keputusan baru diambil setelah semua keberatan ditampung dan dicarikan solusinya hingga semua orang setuju.
- Pembagian Waris: Pembagian harta warisan dalam hukum adat seringkali tidak mengikuti rumus matematis yang kaku. Para ahli waris akan bermusyawarah untuk menentukan bagian masing-masing berdasarkan kebutuhan, peran, dan tanggung jawab mereka dalam keluarga, dengan tujuan agar semua merasa adil dan ikhlas.
Asas musyawarah untuk mufakat adalah jantung dari demokrasi ala Nusantara. Ia mengajarkan pentingnya dialog, empati, dan kebijaksanaan dalam mengelola perbedaan demi mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu keharmonisan hidup bersama.
6. Asas Keseimbangan Kosmis
Asas ini berkaitan erat dengan asas religio-magis. Ia memandang bahwa setiap peristiwa di dunia, termasuk pelanggaran hukum, adalah sebuah gangguan terhadap keseimbangan alam semesta (kosmos). Keseimbangan ini mencakup harmoni antara sesama manusia, antara manusia dengan alam, dan antara manusia dengan dunia gaib. Oleh karena itu, tujuan utama dari penegakan hukum adat adalah untuk memulihkan kembali keseimbangan yang terganggu tersebut.
Filosofi di Baliknya: Pelanggaran seperti pencurian, perzinahan, atau pembunuhan tidak hanya merugikan korban secara pribadi, tetapi juga dianggap "mengotori" atau "memanaskan" desa dan alam sekitarnya. "Kotoran" atau "panas" ini, jika tidak dibersihkan, diyakini dapat mendatangkan bencana bagi seluruh komunitas, seperti gagal panen, wabah penyakit, atau bencana alam.
Manifestasi dalam Praktik:
- Sanksi Pemulihan (Restorative Justice): Sanksi adat jarang yang bersifat penjara (retributif). Fokusnya adalah pada pemulihan. Pelaku diwajibkan untuk memberikan ganti rugi kepada korban (pemulihan hubungan antarmanusia) dan sekaligus melaksanakan upacara adat tertentu (pemulihan hubungan dengan alam dan dunia gaib).
- Upacara Tolak Bala: Untuk pelanggaran yang sangat berat (misalnya, inses atau pembunuhan), sanksi utamanya bisa berupa upacara adat besar-besaran yang melibatkan pengorbanan hewan. Darah hewan kurban seringkali dianggap sebagai medium untuk membersihkan "kotoran" spiritual yang melekat pada tanah dan komunitas.
- Pengucilan (Ekskomunikasi): Dalam kasus yang ekstrem, jika pelaku tidak mau melakukan proses pemulihan, sanksi terberatnya adalah diusir dari komunitas. Pengucilan ini dianggap sebagai cara terakhir untuk "membuang" sumber ketidakseimbangan dari tengah-tengah masyarakat.
Asas keseimbangan kosmis menunjukkan pandangan holistik masyarakat adat terhadap hukum. Hukum tidak hanya mengatur hubungan sosial, tetapi juga merupakan bagian dari upaya manusia untuk hidup selaras dengan seluruh alam semesta.
Interkoneksi Antar Asas: Sebuah Jaringan yang Hidup
Penting untuk dipahami bahwa asas-asas yang telah diuraikan di atas tidak berdiri sendiri. Mereka bekerja bersama, saling terkait, dan membentuk sebuah jaringan pemikiran yang koheren. Sebuah perbuatan hukum adat hampir selalu mencerminkan beberapa asas sekaligus. Mari kita lihat contoh konkretnya:
Misalnya, dalam proses penyelesaian sengketa batas tanah antar dua keluarga. Proses ini akan dimulai dengan musyawarah yang dipimpin oleh kepala adat. Tujuannya bukan untuk menentukan siapa pemilik absolut, melainkan untuk mencari mufakat yang menjaga kerukunan (asas komunal). Mungkin akan dihadirkan saksi-saksi tua yang ingatannya menjadi bukti (menekankan aspek terang). Keputusan akhir bisa jadi tidak hanya berupa penentuan batas, tetapi juga disertai dengan ritual kecil di lokasi, seperti menanam pohon atau meletakkan batu, untuk menandai kesepakatan secara fisik (asas konkret). Ritual ini juga bertujuan untuk memohon restu leluhur dan "penunggu" tanah agar keputusan tersebut membawa berkah dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari (asas religio-magis), sehingga pada akhirnya tercapai kedamaian dan harmoni (asas keseimbangan).
Dari contoh singkat tersebut, terlihat bagaimana enam asas yang berbeda saling menopang dan mewarnai satu peristiwa hukum. Inilah yang membuat hukum adat menjadi sistem yang kaya, kompleks, dan terintegrasi secara mendalam dengan seluruh aspek kehidupan masyarakatnya.
Dinamika Asas Hukum Adat di Era Modern
Keberadaan asas-asas hukum adat menghadapi tantangan sekaligus peluang di era modern. Di satu sisi, arus globalisasi, individualisme, dan positivisme hukum negara seringkali menggerus relevansi hukum adat. Konsep sertifikat tanah dari negara, misalnya, seringkali berbenturan dengan konsep hak ulayat komunal. Proses peradilan negara yang adversial juga berbeda secara diametral dengan semangat musyawarah untuk mufakat.
Namun, di sisi lain, kearifan yang terkandung dalam asas-asas hukum adat kini semakin diakui memiliki relevansi untuk menjawab krisis modern. Asas komunal dan keseimbangan kosmis menawarkan perspektif yang kuat untuk isu-isu lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. Konsep musyawarah dan keadilan restoratif yang ada dalam hukum adat kini banyak diadopsi dalam mekanisme alternatif penyelesaian sengketa (ADR) di luar pengadilan. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dalam konstitusi negara juga membuka ruang bagi revitalisasi dan penguatan kembali hukum adat sebagai bagian yang sah dari sistem hukum nasional.
Dinamika ini menunjukkan bahwa hukum adat bukanlah peninggalan masa lalu yang statis. Asas-asasnya yang fleksibel memungkinkannya untuk terus beradaptasi dan berdialog dengan perubahan zaman. Tantangannya adalah bagaimana menjaga jiwa dan filosofi dasarnya agar tidak hilang ditelan arus modernisasi, sambil tetap mampu menjawab kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.
Kesimpulan: Relevansi Abadi Jiwa Hukum Adat
Asas-asas hukum adat—komunal, religio-magis, kontan, konkret, musyawarah, dan keseimbangan—adalah benang-benang emas yang menenun permadani hukum Nusantara. Mereka adalah kristalisasi dari kearifan, pengalaman, dan pandangan hidup yang telah teruji oleh waktu selama berabad-abad. Memahami asas-asas ini berarti memahami cara berpikir dan merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Mereka bukan sekadar teori, melainkan jiwa yang hidup, yang memberikan makna pada setiap aturan, legitimasi pada setiap keputusan, dan arah pada setiap interaksi sosial dalam masyarakat adat.
Meskipun zaman terus berubah, nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam asas-asas ini tetap abadi. Semangat kebersamaan, pencarian harmoni, penghormatan terhadap alam, dan penyelesaian masalah melalui dialog adalah nilai-nilai universal yang akan selalu relevan. Oleh karena itu, mempelajari dan melestarikan asas-asas hukum adat bukan hanya tugas untuk menjaga warisan budaya, tetapi juga sebuah upaya untuk menemukan kembali sumber kearifan yang dapat membimbing kita dalam menghadapi tantangan masa kini dan masa depan.