Hukum Peradilan Agama merupakan bagian integral dari sistem hukum nasional Indonesia yang berfungsi untuk menegakkan keadilan bagi umat Islam, terutama dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum keluarga, hukum waris, dan wakaf. Keberadaannya didasarkan pada prinsip-prinsip syariat Islam yang diakui dan dilestarikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk menjalankan fungsinya secara efektif, Peradilan Agama berpegang teguh pada serangkaian asas yang menjadi landasan filosofis, yuridis, dan sosiologisnya. Memahami asas-asas ini krusial untuk memahami hakikat dan tujuan dari lembaga peradilan ini.
Asas-asas hukum peradilan agama dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori utama yang saling terkait dan memperkuat. Berikut adalah beberapa asas yang paling fundamental:
Ini adalah asas yang paling mendasar dan universal dalam setiap sistem peradilan. Bagi Peradilan Agama, asas keadilan diartikan sebagai upaya untuk memberikan putusan yang adil dan merata bagi semua pihak yang berperkara, sesuai dengan ajaran Islam. Keadilan di sini tidak hanya berarti kesamaan di hadapan hukum, tetapi juga mencakup keadilan substantif yang memperhatikan aspek kemaslahatan, kemanfaatan, dan pencegahan mudarat, selaras dengan prinsip-prinsip syariah seperti maslahah (kemaslahatan), adil (adil), dan ihsan (berbuat baik).
Sebagai negara yang berasaskan Pancasila, terutama sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa", seluruh lembaga negara termasuk peradilan, harus berlandaskan nilai-nilai ketuhanan. Dalam konteks Peradilan Agama, asas ini menekankan bahwa setiap proses peradilan harus senantiasa dilandasi keyakinan dan penghayatan terhadap nilai-nilai ilahi. Putusan pengadilan diharapkan mencerminkan kehendak Tuhan dan membawa berkah bagi masyarakat. Hal ini juga tercermin dalam terminologi dan praktik peradilan yang seringkali mengacu pada ayat-ayat Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Prinsip ini menegaskan bahwa setiap orang, tanpa memandang status sosial, ekonomi, agama (dalam lingkup sesama umat Islam yang menjadi ranah peradilan agama), atau latar belakang lainnya, memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Tidak ada diskriminasi dalam proses pemeriksaan, pembuktian, maupun putusan. Hakim wajib memperlakukan semua pihak dengan adil dan objektif.
Berbeda dengan equality before the law yang lebih menekankan pada kesamaan hak, asas kesaksamaan lebih kepada perlakuan yang sama dalam proses hukum. Ini berarti bahwa semua pihak dalam perkara yang sama harus diperlakukan dengan cara yang sama oleh pengadilan, tanpa adanya preferensi atau prasangka. Semua bukti, argumen, dan kesempatan untuk membela diri harus diberikan secara setara.
Salah satu tujuan penting dari pembentukan Peradilan Agama adalah untuk memberikan akses yang lebih mudah dan terjangkau bagi masyarakat, terutama kalangan ekonomi lemah, untuk mencari keadilan. Oleh karena itu, asas ini bertujuan agar proses peradilan tidak membebani para pihak dengan biaya yang memberatkan. Perkara-perkara tertentu, seperti isbat nikah atau permohonan nafkah, seringkali mendapatkan keringanan biaya atau bahkan pembebasan biaya perkara.
Asas ini merupakan manifestasi dari prinsip efisiensi dalam administrasi peradilan. Proses persidangan diharapkan dapat berjalan dengan lancar, tidak berbelit-belit, dan diselesaikan dalam jangka waktu yang wajar. Tujuannya adalah agar para pencari keadilan dapat segera memperoleh kepastian hukum dan mengakhiri perselisihan yang dihadapi. Efisiensi ini tidak boleh mengorbankan kualitas putusan dan hak-hak para pihak.
Dalam perkara-perkara yang melibatkan anak, seperti perceraian yang mengakibatkan hak asuh anak, asas ini menjadi sangat penting. Peradilan Agama berkewajiban untuk mendahulukan dan melindungi kepentingan terbaik bagi anak. Hal ini mencakup penentuan hak asuh, nafkah anak, dan segala hal yang berkaitan dengan kesejahteraan serta perkembangan anak.
Peradilan Agama harus berupaya untuk mencari dan mengungkap kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang sesungguhnya terjadi. Ini berarti hakim tidak hanya terikat pada kebenaran formal yang disajikan oleh para pihak dan alat bukti yang diajukan, tetapi juga harus aktif mencari fakta yang sebenarnya di lapangan melalui pemeriksaan yang mendalam, termasuk jika diperlukan, pemeriksaan saksi-saksi ahli atau kunjungan lapangan.
Sebagai peradilan yang khusus menangani perkara umat Islam, asas ini menegaskan bahwa sumber hukum utama yang dirujuk adalah Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Dalam penerapannya, asas ini juga mempertimbangkan ijtihad para ulama dan hasil kesepakatan forum-forum ilmiah keislaman, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Penerapan asas-asas ini tidak hanya sekadar teori, tetapi menjadi panduan konkret bagi hakim dan seluruh aparatur peradilan agama dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Misalnya, dalam mediasi yang diwajibkan sebelum persidangan perceraian, asas keadilan dan kemaslahatan diwujudkan melalui upaya penyelesaian damai yang mengedepankan kerukunan keluarga. Demikian pula, pembebasan biaya perkara bagi yang tidak mampu merupakan bukti nyata dari asas beracara dengan biaya ringan.
Secara keseluruhan, asas-asas hukum peradilan agama berfungsi sebagai kompas moral dan yuridis yang mengarahkan lembaga ini untuk mewujudkan cita-cita keadilan yang berakar pada nilai-nilai luhur Islam dan Pancasila. Dengan berpegang teguh pada asas-asas ini, Peradilan Agama terus berupaya menjadi garda terdepan dalam memberikan perlindungan hukum dan pelayanan terbaik bagi masyarakat pencari keadilan di bidang perkawinan, waris, dan wakaf.