Panduan Komprehensif Asas Asas Hukum Perjanjian

Ilustrasi Asas Hukum Perjanjian Timbangan keadilan menyeimbangkan sebuah dokumen perjanjian dan jabat tangan, melambangkan fondasi hukum kontrak yang adil dan konsensual.

Hukum perjanjian merupakan jantung dari berbagai aktivitas sosial dan ekonomi. Setiap hari, individu maupun badan hukum terlibat dalam pembuatan perjanjian, baik secara lisan maupun tertulis, dari transaksi sederhana seperti membeli kopi hingga kontrak multinasional yang kompleks. Agar setiap perjanjian dapat berjalan dengan adil, tertib, dan memberikan kepastian hukum, ia harus berlandaskan pada pilar-pilar fundamental yang disebut asas asas hukum perjanjian. Asas-asas ini adalah jiwa dari peraturan, prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam penafsiran, pembentukan, dan pelaksanaan suatu kontrak.

Memahami asas-asas ini bukan hanya penting bagi para praktisi hukum, tetapi juga bagi siapa saja yang hendak mengikatkan diri dalam suatu perikatan. Dengan pemahaman yang mendalam, para pihak dapat menyusun perjanjian yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga mencerminkan kehendak sejati mereka, melindungi hak dan kewajiban masing-masing, serta mengantisipasi potensi sengketa di kemudian hari. Artikel ini akan mengupas secara komprehensif berbagai asas fundamental dalam hukum perjanjian, terutama yang berlaku dalam sistem hukum Indonesia yang bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)

Asas Kebebasan Berkontrak adalah salah satu asas paling fundamental dan sering dianggap sebagai pilar utama dalam hukum perjanjian modern. Asas ini memberikan keleluasaan penuh kepada para pihak yang cakap secara hukum untuk membuat perjanjian apa pun yang mereka kehendaki dan mengikatkan diri satu sama lain. Inti dari asas ini tertuang dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa, "Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya."

Frasa "berlaku sebagai undang-undang" menunjukkan betapa kuatnya daya ikat sebuah perjanjian. Para pihak, melalui kesepakatan mereka, seolah-olah menciptakan hukum privat yang hanya berlaku dan mengikat bagi diri mereka sendiri. Kebebasan ini mencakup beberapa aspek:

Batasan-batasan Asas Kebebasan Berkontrak

Meskipun memberikan keleluasaan yang sangat luas, kebebasan ini bukanlah kebebasan yang absolut. Hukum menetapkan koridor-koridor yang jelas untuk memastikan bahwa kebebasan tersebut tidak disalahgunakan untuk merugikan kepentingan yang lebih besar. Pasal 1337 KUHPerdata secara tegas menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dari pasal ini, kita dapat merinci tiga batasan utama:

1. Tidak Boleh Bertentangan dengan Undang-Undang (Peraturan Perundang-undangan)

Perjanjian yang isinya melanggar peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa (dwingend recht) secara otomatis menjadi batal demi hukum (nietig/null and void). Para pihak tidak bisa membuat kesepakatan untuk melakukan sesuatu yang secara eksplisit dilarang oleh hukum. Contohnya sangat beragam, seperti perjanjian jual beli narkotika, perjanjian untuk melakukan praktik monopoli yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli, atau perjanjian kerja yang menetapkan upah di bawah upah minimum regional yang telah ditetapkan pemerintah. Kebebasan berkontrak berhenti di mana larangan hukum dimulai.

2. Tidak Boleh Bertentangan dengan Kesusilaan Baik (Goede Zeden)

Kesusilaan baik adalah norma-norma moral dan etika yang hidup dan diakui dalam masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Konsep ini bersifat abstrak dan dinamis, berkembang seiring dengan perubahan nilai-nilai sosial. Perjanjian yang isinya dianggap melanggar kepatutan, moralitas, atau etika umum dapat dibatalkan. Contohnya adalah perjanjian untuk menceraikan pasangan dengan imbalan uang, perjanjian untuk menjadi "istri simpanan", atau kontrak yang mengeksploitasi tubuh manusia secara tidak pantas. Hakim memiliki peran penting dalam menafsirkan apakah suatu kontrak bertentangan dengan kesusilaan baik berdasarkan rasa keadilan yang hidup di masyarakat.

3. Tidak Boleh Bertentangan dengan Ketertiban Umum (Openbare Orde)

Ketertiban umum merujuk pada sendi-sendi pokok atau dasar-dasar fundamental dari tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ini mencakup kepentingan publik yang esensial, seperti keamanan, kesehatan, dan stabilitas negara. Perjanjian yang berpotensi mengganggu atau merusak tatanan dasar ini dianggap tidak sah. Sebagai contoh, perjanjian untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, perjanjian yang bertujuan untuk menipu kreditur dalam proses kepailitan, atau perjanjian yang membatasi hak-hak asasi fundamental seseorang secara tidak wajar. Batasan ini berfungsi sebagai jaring pengaman untuk melindungi fondasi negara dan masyarakat dari perjanjian privat yang destruktif.

Selain tiga batasan klasik tersebut, perkembangan hukum modern juga melahirkan batasan-batasan baru, terutama untuk melindungi pihak yang lemah. Misalnya, dalam hukum perlindungan konsumen, banyak klausula baku dalam perjanjian standar yang dilarang karena dianggap merugikan konsumen, meskipun konsumen tersebut telah "menyetujuinya". Ini menunjukkan pergeseran dari paradigma kebebasan absolut menuju kebebasan yang bertanggung jawab dan berkeadilan.

Asas Konsensualisme (Consensualism)

Asas konsensualisme menyatakan bahwa suatu perjanjian lahir atau dianggap sah sejak saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara para pihak mengenai pokok-pokok perjanjian. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan "sepakat mereka yang mengikatkan dirinya" sebagai syarat sah pertama dari suatu perjanjian. Ini berarti, pada prinsipnya, hukum tidak mensyaratkan formalitas tertentu untuk lahirnya sebuah perjanjian. Jabat tangan, kesepakatan lisan melalui telepon, atau bahkan persetujuan melalui email sudah cukup untuk melahirkan perikatan yang mengikat secara hukum, selama unsur "sepakat" telah terpenuhi.

Momen tercapainya "sepakat" ini terjadi ketika penawaran (offer) dari satu pihak diterima sepenuhnya (acceptance) oleh pihak lain tanpa ada perubahan. Jika pihak yang menerima penawaran mengajukan perubahan, maka hal itu dianggap sebagai penawaran baru (counter-offer) dan kesepakatan belum tercapai sampai penawaran baru tersebut diterima oleh pihak pertama.

Pengecualian Terhadap Asas Konsensualisme

Meskipun konsensualisme adalah prinsip utamanya, hukum mengakui adanya pengecualian di mana kesepakatan saja tidak cukup untuk melahirkan perjanjian. Pengecualian ini dibuat untuk melindungi kepentingan hukum yang lebih besar, memastikan kepastian hukum, atau melindungi pihak ketiga. Ada dua jenis perjanjian yang menjadi pengecualian utama:

1. Perjanjian Formil (Formal Contracts)

Perjanjian formil adalah perjanjian di mana undang-undang secara tegas mensyaratkan adanya formalitas tertentu agar perjanjian tersebut dianggap sah. Jika formalitas ini tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada atau batal demi hukum, meskipun para pihak telah mencapai kata sepakat. Tujuannya adalah untuk memastikan keseriusan para pihak, memberikan bukti yang kuat, dan melindungi kepentingan publik atau pihak ketiga. Contoh paling umum adalah:

2. Perjanjian Riil (Real Contracts)

Perjanjian riil adalah jenis perjanjian yang baru dianggap lahir dan mengikat tidak hanya setelah adanya kesepakatan, tetapi juga setelah dilakukannya penyerahan (levering) objek perjanjian. Dengan kata lain, kesepakatan hanya menciptakan hak untuk menuntut penyerahan, tetapi perjanjian itu sendiri baru sempurna setelah barang diserahkan. Contoh klasik dari perjanjian riil dalam KUHPerdata adalah:

Penting untuk dipahami bahwa dalam praktik bisnis modern, meskipun banyak perjanjian bersifat konsensual, para pihak sering kali memilih untuk menuangkannya dalam bentuk tertulis demi kepastian hukum dan kemudahan pembuktian jika terjadi sengketa di kemudian hari.

Asas Pacta Sunt Servanda (Agreements Must Be Kept)

Asas ini sering disebut sebagai asas kepastian hukum dalam kontrak. Pacta Sunt Servanda adalah adagium Latin yang berarti "janji harus ditepati". Asas ini merupakan konsekuensi logis dari asas kebebasan berkontrak. Jika para pihak diberi kebebasan untuk menciptakan "undang-undang" bagi mereka sendiri, maka mereka juga harus terikat dan tunduk pada "undang-undang" yang telah mereka ciptakan itu. Kekuatan mengikat ini ditegaskan kembali dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

Asas ini mengandung makna bahwa para pihak tidak dapat secara sepihak membatalkan atau mengubah isi perjanjian yang telah disepakati bersama. Perjanjian tersebut mengikat para pihak dengan kekuatan yang sama seperti undang-undang. Hakim pun pada prinsipnya terikat pada isi perjanjian para pihak dan tidak boleh melakukan intervensi atau mengubah isinya, kecuali jika isi perjanjian tersebut terbukti bertentangan dengan hukum, kesusilaan, atau ketertiban umum.

Konsekuensi dari pelanggaran asas ini adalah timbulnya keadaan yang disebut wanprestasi (breach of contract), yaitu ketika salah satu pihak (debitur) tidak melaksanakan prestasi yang telah dijanjikannya. Pihak yang dirugikan (kreditur) akibat wanprestasi tersebut berhak menuntut beberapa hal, antara lain:

Pengecualian dan Relativisasi Asas Pacta Sunt Servanda

Sama seperti asas kebebasan berkontrak, kekuatan mengikat dari asas Pacta Sunt Servanda juga tidak mutlak. Terdapat situasi-situasi tertentu di mana suatu pihak dapat dibebaskan dari kewajibannya atau isi perjanjian dapat diubah. Pengecualian yang paling utama adalah:

1. Keadaan Memaksa (Force Majeure atau Overmacht)

Diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, keadaan memaksa adalah suatu kejadian yang tidak dapat diduga pada saat kontrak dibuat, terjadi di luar kesalahan debitur, dan membuat debitur tidak mungkin untuk melaksanakan prestasinya. Jika terbukti ada force majeure, debitur dapat dibebaskan dari kewajiban untuk membayar ganti rugi. Unsur-unsur force majeure meliputi:

Contoh klasik dari force majeure adalah bencana alam (gempa bumi, banjir bandang, tsunami), perang, huru-hara, atau kebijakan pemerintah yang melarang pelaksanaan prestasi (misalnya, larangan ekspor-impor secara tiba-tiba).

2. Doktrin Rebus Sic Stantibus (Clausula Hardship)

Doktrin ini, meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam KUHPerdata, telah diakui dalam praktik peradilan dan hukum kontrak internasional. Rebus sic stantibus berarti "jika keadaan tetap sama". Doktrin ini memungkinkan hakim untuk mengubah atau bahkan mengakhiri suatu kontrak jika terjadi perubahan keadaan yang fundamental setelah kontrak dibuat. Perubahan tersebut haruslah bersifat luar biasa dan mengakibatkan pelaksanaan kontrak menjadi sangat memberatkan (excessively onerous) bagi salah satu pihak, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan yang ekstrem. Penerapan doktrin ini sangat hati-hati dan hanya dalam kondisi yang benar-benar luar biasa, agar tidak merusak asas kepastian hukum.

Asas Itikad Baik (Good Faith / Te Goeder Trouw)

Asas itikad baik adalah asas yang menuntut adanya kejujuran, kepatutan, dan kewajaran dalam seluruh tahapan hubungan kontraktual. Asas ini menjadi landasan moral bagi hukum perjanjian dan diatur secara eksplisit dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menyatakan, "Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik."

Makna "itikad baik" dalam pasal ini ditafsirkan oleh para ahli hukum dalam dua pengertian:

1. Itikad Baik Subjektif

Itikad baik dalam pengertian subjektif merujuk pada sikap batin atau kejujuran seseorang pada saat melakukan suatu perbuatan hukum, dalam hal ini pada saat pembuatan perjanjian. Ini berarti para pihak tidak boleh memiliki niat tersembunyi untuk menipu, menyesatkan, atau merugikan pihak lainnya. Mereka harus transparan dan jujur mengenai fakta-fakta material yang relevan dengan perjanjian tersebut. Adanya cacat kehendak seperti paksaan (dwang), penipuan (bedrog), atau kesesatan (dwaling) menunjukkan tidak adanya itikad baik subjektif pada tahap pra-kontraktual.

2. Itikad Baik Objektif

Itikad baik dalam pengertian objektif berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian. Pelaksanaan tersebut harus didasarkan pada norma-norma kepatutan, kewajaran, dan keadilan. Ini berarti, meskipun suatu hak atau kewajiban tertulis secara harfiah dalam kontrak, pelaksanaannya tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang atau dengan cara yang merugikan pihak lain secara tidak wajar. Asas ini memberikan kewenangan kepada hakim untuk mengawasi pelaksanaan kontrak dan memastikan bahwa tidak ada pihak yang menyalahgunakan haknya. Hakim dapat menambah atau mengurangi kewajiban para pihak berdasarkan kepatutan demi tercapainya keadilan.

Sebagai contoh, seorang penyewa yang terlambat membayar sewa beberapa jam karena terjebak macet total akibat bencana tidak bisa serta-merta diusir oleh pemilik properti, meskipun kontrak menyatakan keterlambatan pembayaran dapat mengakibatkan pengakhiran sewa seketika. Menuntut pengusiran dalam kasus seperti itu dianggap sebagai pelaksanaan hak yang bertentangan dengan itikad baik objektif.

Asas Kepribadian (Privity of Contract)

Asas kepribadian menegaskan bahwa suatu perjanjian pada dasarnya hanya menciptakan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian tidak dapat memberikan keuntungan atau membebankan kerugian kepada pihak ketiga yang tidak terlibat dalam pembuatannya. Prinsip ini terkandung dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang menyatakan, "Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri." Dipertegas lagi dalam Pasal 1340 KUHPerdata, "Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya."

Artinya, jika A dan B membuat perjanjian jual beli, maka hanya A dan B yang terikat. Pihak C, yang merupakan tetangga A, tidak bisa menuntut B untuk menyerahkan barang atau menuntut A untuk membayar harga, karena C adalah pihak ketiga. Asas ini memberikan batasan yang jelas mengenai lingkup keberlakuan suatu kontrak.

Pengecualian Terhadap Asas Kepribadian

Sama seperti asas-asas lainnya, asas kepribadian juga memiliki beberapa pengecualian yang diatur oleh undang-undang, di mana perjanjian dapat memberikan hak atau membebankan kewajiban kepada pihak ketiga.

1. Perjanjian untuk Kepentingan Pihak Ketiga (Derdenbeding)

Diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata, ini adalah suatu janji dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, di mana salah satu pihak (stipulator) meminta pihak lainnya (promissor) untuk melaksanakan suatu prestasi demi kepentingan pihak ketiga (beneficiary). Contoh paling umum adalah perjanjian asuransi jiwa. Seseorang (tertanggung) membuat perjanjian dengan perusahaan asuransi, di mana jika tertanggung meninggal dunia, perusahaan asuransi akan membayarkan sejumlah uang pertanggungan kepada ahli warisnya (pihak ketiga). Ahli waris tersebut, meskipun bukan pihak dalam kontrak asuransi, berhak menuntut pemenuhan janji tersebut.

2. Garansi oleh Pihak Ketiga (Porte-Fort)

Diatur dalam Pasal 1316 KUHPerdata, ini adalah situasi di mana seseorang (penjamin) berjanji kepada pihak lain bahwa seorang pihak ketiga akan menyetujui atau melaksanakan suatu perikatan. Penjamin ini tidak mengikat pihak ketiga, tetapi ia mengikat dirinya sendiri. Jika pihak ketiga tersebut menolak untuk memenuhi janji, maka si penjamin-lah yang bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi.

3. Akibat Hukum bagi Ahli Waris

Pasal 1315 dan 1340 KUHPerdata juga menyatakan bahwa hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian akan beralih kepada para ahli waris dari para pihak. Ketika seseorang meninggal dunia, posisinya sebagai subjek hukum dalam suatu kontrak (kecuali kontrak yang bersifat sangat pribadi, seperti kontrak kerja) akan digantikan oleh ahli warisnya. Dengan demikian, ahli waris menjadi terikat pada perjanjian yang dibuat oleh pewarisnya.

Asas-Asas Pelengkap Lainnya

Selain lima asas utama di atas, terdapat beberapa asas lain yang juga memegang peranan penting dalam melengkapi kerangka hukum perjanjian.

Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki agar hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam posisi yang seimbang. Meskipun tidak selalu berarti seimbang secara matematis, asas ini menentang adanya perjanjian di mana salah satu pihak memiliki posisi yang sangat dominan dan pihak lainnya sangat lemah sehingga terjadi eksploitasi. Hakim dapat menggunakan asas ini untuk menafsirkan ulang atau bahkan membatalkan klausula-klausula yang dianggap sangat tidak adil dan tidak seimbang, terutama dalam konteks perjanjian baku atau standar.

Asas Kepastian Hukum

Asas ini sangat erat kaitannya dengan asas Pacta Sunt Servanda. Suatu perjanjian harus memberikan kepastian mengenai apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Kepastian hukum ini penting untuk dunia usaha karena memungkinkan para pihak untuk merencanakan masa depan, mengalokasikan sumber daya, dan mengukur risiko dengan lebih baik. Perjanjian yang jelas, tegas, dan tidak ambigu akan menciptakan kepastian hukum.

Asas Kepercayaan

Setiap perjanjian didasari oleh kepercayaan (trust) bahwa masing-masing pihak akan memenuhi janjinya sesuai dengan kesepakatan. Tanpa adanya unsur kepercayaan, lalu lintas ekonomi dan sosial akan terhambat. Asas ini menuntut para pihak untuk menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh mitranya dengan melaksanakan kewajiban secara jujur dan bertanggung jawab.


Sebagai penutup, asas asas hukum perjanjian bukanlah konsep-konsep yang berdiri sendiri. Mereka saling terkait, saling melengkapi, dan terkadang saling membatasi untuk menciptakan sebuah sistem hukum kontrak yang adil, seimbang, dan dapat diandalkan. Kebebasan berkontrak dibatasi oleh itikad baik dan ketertiban umum. Kekuatan mengikat dari Pacta Sunt Servanda dilunakkan oleh doktrin force majeure. Konsensualisme sebagai dasar lahirnya perjanjian dilengkapi dengan syarat formalitas untuk perlindungan hukum. Memahami dinamika hubungan antar asas ini adalah kunci untuk menguasai esensi hukum perjanjian dan menerapkannya secara bijaksana dalam setiap interaksi hukum.

🏠 Homepage