Tanah, air, dan ruang angkasa yang terkandung di dalamnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa sekaligus sumber daya fundamental bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia. Hubungan antara manusia Indonesia dengan tanahnya bukan sekadar hubungan ekonomi, melainkan juga hubungan sosial, kultural, bahkan spiritual. Mengatur hubungan yang kompleks ini memerlukan sebuah fondasi hukum yang kokoh, berkeadilan, dan berpihak pada kepentingan nasional. Fondasi inilah yang dikenal sebagai hukum agraria nasional, yang jiwanya terangkum dalam serangkaian asas atau prinsip fundamental.
Asas-asas ini bukanlah sekadar rumusan teoretis, melainkan merupakan kristalisasi dari falsafah bangsa, cita-cita kemerdekaan, dan respons terhadap sejarah panjang ketidakadilan agraria di masa kolonial. Mereka berfungsi sebagai kompas yang mengarahkan pembentukan, penafsiran, dan pelaksanaan seluruh peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Memahami asas-asas ini secara mendalam berarti memahami esensi dari politik hukum pertanahan Indonesia yang bertujuan untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
1. Asas Kebangsaan: Tanah untuk Bangsa Indonesia
Asas kebangsaan adalah pilar pertama dan utama dalam bangunan hukum agraria nasional. Secara sederhana, asas ini menegaskan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional bangsa Indonesia. Ini bukan sekadar pernyataan kepemilikan, melainkan sebuah ikrar tentang hubungan abadi dan tak terpisahkan antara bangsa Indonesia dengan tanah airnya.
Makna Filosofis dan Yuridis
Secara filosofis, asas kebangsaan memutus rantai logika hukum kolonial yang memecah-belah subjek hukum berdasarkan ras dan golongan. Di masa lalu, hukum tanah yang berlaku bersifat dualistis dan diskriminatif, dengan hak-hak istimewa bagi golongan Eropa. Asas kebangsaan menyatukan seluruh rakyat Indonesia sebagai satu kesatuan subjek hukum yang memiliki hubungan primordial dengan tanah airnya. Landasan yuridisnya sangat kuat, berakar pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang kemudian dijabarkan secara rinci dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
UUPA, khususnya dalam Pasal 1, secara eksplisit menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Hubungan antara bangsa dan tanah ini bersifat abadi. Ini berarti, secara kolektif, bangsa Indonesialah yang memiliki hak tertinggi atas tanah di negerinya sendiri. Negara, dalam hal ini, bertindak sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, yang diberi wewenang untuk mengatur hubungan tersebut.
Implikasi Praktis
Implementasi paling nyata dari asas ini adalah ketentuan mengenai siapa yang dapat memiliki hak atas tanah dengan hubungan yang paling penuh dan kuat. UUPA secara tegas menyatakan bahwa hanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik dipandang sebagai hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pembatasan ini bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan sebuah mekanisme proteksi untuk menjaga kedaulatan bangsa atas sumber daya agraria yang paling vital.
Ini tidak berarti warga negara asing atau badan hukum asing sama sekali tidak dapat memanfaatkan tanah di Indonesia. Hukum agraria menyediakan instrumen hak lain yang bersifat sementara dan terbatas, seperti Hak Pakai, Hak Guna Bangunan (HGB), atau Hak Guna Usaha (HGU) dengan jangka waktu tertentu. Mekanisme ini dirancang untuk mengakomodasi kebutuhan investasi dan pembangunan ekonomi tanpa mengorbankan kedaulatan dan kepemilikan fundamental bangsa atas tanah airnya. Dengan demikian, asas kebangsaan menciptakan keseimbangan antara proteksi nasionalisme ekonomi dan keterbukaan terhadap dinamika global.
2. Asas Dikuasai oleh Negara: Regulator, Bukan Pemilik
Asas "dikuasai oleh Negara" seringkali disalahpahami sebagai "dimiliki oleh Negara". Ini adalah sebuah kekeliruan fundamental. Asas ini, yang tertuang dalam Pasal 2 UUPA, tidak menempatkan negara sebagai pemilik tanah (eigendom) seperti dalam konsep hukum perdata Barat. Sebaliknya, asas ini memberikan negara sebuah wewenang publik (publiekrechtelijk) untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.
Konsep Hak Menguasai dari Negara (HMN)
Wewenang ini disebut Hak Menguasai dari Negara (HMN). HMN bersumber dari hak bangsa Indonesia atas tanah airnya, sebagaimana ditegaskan dalam asas kebangsaan. Negara, sebagai representasi organisasi kekuasaan seluruh rakyat, diberi mandat konstitusional untuk melaksanakan hak bangsa tersebut. Tujuannya tunggal dan mulia: untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Lingkup wewenang negara berdasarkan HMN mencakup beberapa hal krusial:
- Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan sumber daya agraria. Ini diwujudkan melalui kebijakan tata ruang (RTRW), penetapan kawasan lindung, kawasan budidaya, dan sebagainya.
- Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa. Negara menetapkan jenis-jenis hak atas tanah (Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai, dll.), syarat perolehannya, dan batasan-batasannya.
- Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai sumber daya agraria. Ini mencakup pengaturan jual-beli tanah, sewa-menyewa, hibah, pewarisan, dan pembebanan hak tanggungan (hipotek).
- Menyelenggarakan pendaftaran tanah (kadaster) di seluruh wilayah Indonesia untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak.
Tujuan dan Batasan
Penting untuk digarisbawahi bahwa kekuasaan negara ini tidaklah absolut. Pelaksanaannya dibatasi oleh tujuannya sendiri, yaitu "sebesar-besar kemakmuran rakyat". Setiap kebijakan agraria yang diambil oleh pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan secara publik dan harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat, bukan kepentingan segelintir elite atau korporasi. Oleh karena itu, tindakan negara seperti pengadaan tanah untuk kepentingan umum (misalnya, pembangunan infrastruktur) harus dilaksanakan dengan prosedur yang adil, transparan, dan dengan pemberian ganti kerugian yang layak kepada pemegang hak.
Asas ini menempatkan negara sebagai wasit dan regulator yang memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya agraria berjalan secara tertib, adil, dan berkelanjutan. Negara tidak bersaing dengan rakyat untuk memiliki tanah, melainkan menciptakan kerangka hukum agar rakyat dapat memperoleh dan memanfaatkan hak atas tanahnya secara aman dan produktif.
3. Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah: Kepemilikan yang Bertanggung Jawab
Hukum agraria nasional Indonesia menolak konsep kepemilikan absolut ala liberalisme klasik, di mana seorang pemilik bebas melakukan apa saja terhadap miliknya tanpa mempedulikan dampaknya terhadap lingkungan atau masyarakat sekitar. Sebaliknya, UUPA memperkenalkan asas fungsi sosial hak atas tanah, sebuah konsep revolusioner yang melekatkan tanggung jawab sosial pada setiap jengkal tanah yang dimiliki atau dikuasai.
Bukan Hak Absolut
Pasal 6 UUPA menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Pernyataan singkat ini memiliki makna yang sangat dalam. Ini berarti bahwa hak atas tanah, termasuk Hak Milik yang merupakan hak terkuat sekalipun, tidak boleh digunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi, apalagi jika hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Setiap pemegang hak wajib menggunakan tanahnya secara aktif dan produktif sesuai dengan keadaan dan sifat haknya, serta harus memperhatikan kepentingan masyarakat luas dan kelestarian lingkungan hidup.
"Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat, baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara."
Implementasi dan Konsekuensi
Asas fungsi sosial menjadi dasar bagi berbagai kebijakan agraria yang bertujuan untuk mencegah penelantaran dan spekulasi tanah. Beberapa implementasinya antara lain:
- Larangan Penelantaran Tanah: Pemerintah memiliki kewenangan untuk menertibkan tanah-tanah yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Tanah terlantar ini dapat diambil alih oleh negara untuk kemudian diredistribusikan kepada subjek yang lebih membutuhkan dan mampu mengelolanya secara produktif.
- Pembatasan Penguasaan Tanah (Landreform): Untuk mencegah penguasaan tanah secara berlebihan oleh segelintir pihak (latifundia), pemerintah menetapkan batas maksimum luas pemilikan tanah pertanian. Tujuannya adalah untuk mewujudkan pemerataan struktur penguasaan tanah.
- Larangan Pemilikan Tanah Absentee (Gadai): UUPA melarang kepemilikan tanah pertanian oleh orang yang tidak bertempat tinggal di kecamatan letak tanah tersebut. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa tanah pertanian digarap langsung oleh pemiliknya atau orang lokal, sehingga produktivitas terjaga dan hubungan sosial-ekonomi di pedesaan tetap sehat.
- Kewajiban Memelihara Tanah: Setiap pemegang hak berkewajiban untuk memelihara tanahnya, termasuk menjaga kesuburannya dan mencegah kerusakan lingkungan. Ini sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Asas fungsi sosial adalah penyeimbang antara hak individu dan kewajiban komunal. Ia memastikan bahwa tanah sebagai sumber daya terbatas dapat memberikan manfaat optimal bagi seluruh masyarakat, bukan hanya menjadi objek spekulasi yang menguntungkan segelintir orang.
4. Asas Persamaan dan Keadilan bagi Setiap Warga Negara
Sebagai antitesis langsung dari hukum agraria kolonial yang bersifat diskriminatif, UUPA dengan tegas mengedepankan asas persamaan. Asas ini menjamin bahwa setiap Warga Negara Indonesia, tanpa memandang suku, agama, ras, golongan, maupun jenis kelamin, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya.
Penghapusan Dualisme Hukum
Salah satu pencapaian terbesar UUPA adalah unifikasi hukum tanah. Sebelum UUPA, berlaku dualisme hukum: hukum tanah adat bagi penduduk pribumi dan hukum tanah Barat (berdasarkan Burgerlijk Wetboek) bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan. Sistem ini tidak hanya rumit tetapi juga sangat tidak adil, sering kali menempatkan hak-hak masyarakat adat pada posisi yang lemah. UUPA menghapus dualisme ini dan menciptakan satu sistem hukum agraria nasional yang berlaku bagi semua WNI.
Prinsip persamaan ini memastikan bahwa akses terhadap tanah tidak lagi ditentukan oleh status sosial atau latar belakang seseorang, melainkan oleh kemampuannya untuk memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan secara objektif oleh undang-undang. Ini membuka jalan bagi demokratisasi penguasaan tanah dan memberikan landasan hukum yang kuat untuk melawan segala bentuk praktik diskriminatif dalam administrasi pertanahan.
Tantangan dalam Praktik
Meskipun secara normatif asas persamaan ini sudah sangat ideal, implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan. Ketimpangan ekonomi seringkali menjadi penghalang utama bagi masyarakat miskin untuk mengakses tanah. Selain itu, dalam beberapa konteks sosial budaya, masih terdapat bias gender di mana perempuan mengalami kesulitan dalam memperoleh hak waris atas tanah. Oleh karena itu, penegakan asas persamaan ini memerlukan tidak hanya kerangka hukum yang kuat, tetapi juga kebijakan afirmatif dan program pemberdayaan yang menyasar kelompok-kelompok rentan untuk memastikan bahwa kesempatan yang sama di atas kertas dapat terwujud menjadi akses yang nyata.
5. Asas Pengakuan terhadap Hukum Adat
Hukum agraria nasional tidaklah lahir dari ruang hampa. Ia dibangun di atas fondasi realitas sosial-hukum yang telah hidup dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia selama berabad-abad, yaitu hukum adat. UUPA secara bijaksana tidak memberangus hukum adat, melainkan memberinya tempat yang terhormat sebagai salah satu sumber utama dalam pembangunan hukum agraria nasional.
Hukum Adat sebagai Sumber Hukum
Pasal 5 UUPA menjadi jembatan antara hukum negara modern dan hukum rakyat yang hidup (living law). Pasal ini menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, "sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama."
Pengakuan ini sangat fundamental. Ini berarti konsep-konsep, lembaga-lembaga, dan asas-asas dari hukum adat, seperti gotong royong, fungsi sosial, dan pengakuan hak komunal (hak ulayat), diadopsi dan diangkat menjadi bagian dari hukum nasional. UUPA sendiri pada dasarnya adalah upaya untuk mengkodifikasi dan memodernisasi nilai-nilai terbaik dari hukum adat agar sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan negara kesatuan.
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Salah satu manifestasi terpenting dari pengakuan hukum adat adalah pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat. Hak ulayat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warganya. Hak ini mencakup wewenang untuk mengatur pemanfaatan sumber daya alam di dalam wilayah ulayatnya dan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul.
UUPA mengakui hak ulayat selama masyarakat hukum adatnya masih ada dan eksistensinya nyata. Namun, pelaksanaannya harus disesuaikan dengan kepentingan nasional dan tidak boleh menghambat pembangunan. Di sinilah seringkali terjadi titik singgung dan konflik antara klaim hak ulayat masyarakat adat dengan izin-izin usaha (pertambangan, perkebunan) atau proyek-proyek pembangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Penyelesaian konflik ini memerlukan proses identifikasi, verifikasi, dan pemetaan wilayah adat yang transparan dan partisipatif, sebuah tugas besar yang masih terus berjalan hingga kini.
6. Asas Pendaftaran Tanah untuk Kepastian Hukum
Ketidakpastian hak atas tanah adalah sumber dari banyak sengketa dan konflik agraria. Untuk mengatasi masalah ini, UUPA mengamanatkan sebuah asas yang krusial, yaitu asas pendaftaran tanah. Pasal 19 UUPA mewajibkan pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Tujuan dan Manfaat Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah memiliki tujuan ganda yang sangat penting:
- Memberikan Kepastian Hukum: Dengan mendaftarkan tanah, hak seseorang atas sebidang tanah akan tercatat secara resmi dalam buku tanah dan diterbitkan sertipikat sebagai surat tanda buktinya. Sertipikat ini berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik (letak, batas, luas) dan data yuridis (jenis hak, nama pemegang hak, dan beban-beban lain yang ada di atasnya).
- Memberikan Perlindungan Hukum: Bagi pemegang hak yang telah mendaftarkan tanahnya, negara memberikan perlindungan hukum. Siapapun yang merasa haknya dilanggar dapat menggunakan sertipikat sebagai dasar untuk mempertahankan haknya di pengadilan.
- Menyediakan Informasi bagi Pihak Ketiga: Sistem pendaftaran tanah yang terbuka untuk umum memungkinkan calon pembeli, kreditur, atau investor untuk mengetahui status hukum suatu bidang tanah sebelum melakukan transaksi, sehingga mengurangi risiko penipuan.
- Mendukung Tertib Administrasi Pertanahan: Data yang terkumpul dari pendaftaran tanah menjadi basis bagi pemerintah untuk perencanaan tata ruang, penetapan pajak (PBB), dan implementasi berbagai kebijakan pertanahan lainnya.
Sistem Publikasi Negatif Berunsur Positif
Sistem pendaftaran tanah yang dianut Indonesia adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif. "Negatif" berarti data yang disajikan dalam sertipikat dianggap benar selama tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya di pengadilan. Artinya, sertipikat bukanlah jaminan mutlak yang tidak bisa diganggu gugat. Namun, "mengandung unsur positif" berarti negara secara aktif berupaya menjamin kebenaran data tersebut melalui prosedur pengukuran dan pemeriksaan yang cermat. Sertipikat yang telah diterbitkan selama jangka waktu tertentu dengan itikad baik tidak dapat lagi digugat, sehingga pada akhirnya memberikan kepastian yang kuat kepada pemegangnya.
Program-program percepatan seperti Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan upaya masif pemerintah untuk mewujudkan amanat UUPA ini, yaitu mendaftarkan seluruh bidang tanah di Indonesia demi tercapainya kepastian hukum dan keadilan agraria bagi seluruh rakyat.
Kesimpulan: Harmoni dalam Sistem Agraria Nasional
Asas-asas hukum agraria yang terkandung dalam UUPA bukanlah prinsip-prinsip yang berdiri sendiri. Mereka saling terkait, saling menguatkan, dan membentuk sebuah sistem filosofis dan yuridis yang utuh. Asas kebangsaan meletakkan fondasi kedaulatan, yang pelaksanaannya dimandatkan kepada negara melalui asas dikuasai oleh negara. Kekuasaan negara ini dibatasi oleh tujuan kemakmuran rakyat dan diimbangi oleh asas fungsi sosial yang melekat pada setiap hak. Semua ini harus dijalankan dalam kerangka asas persamaan di hadapan hukum, sambil tetap menghargai kearifan lokal melalui asas pengakuan hukum adat. Akhirnya, seluruh hubungan hukum yang tercipta diamankan dan dijamin melalui asas pendaftaran tanah.
Memahami dan mengimplementasikan asas-asas ini secara konsisten adalah kunci untuk mengatasi berbagai permasalahan agraria kontemporer, mulai dari ketimpangan penguasaan tanah, konflik agraria, hingga tantangan pembangunan berkelanjutan. Asas-asas ini adalah jiwa dari hukum pertanahan nasional, sebuah warisan pemikiran para pendiri bangsa yang akan selalu relevan dalam upaya tiada henti untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui sektor agraria.